Akhir Hayat Sang Hujjatul Islam
Oleh Muhammad Faishal Fadhli
Imam al-Ghazali adalah ulama terkemuka sepanjang masa. Karyanya yang berjudul Ihya’u Ulumiddin, merupakan salah satu kitab terbaik yang membuatnya melegenda.
Selain pakar dalam bidang tasawuf, al-Ghazali juga menguasai ilmu-ilmu Islam lainnya seperti akidah, filsafat, fikih, dan ushul fikih. Kehebatannya itu ditandai dengan gelar yang disematkan kepadanya, Hujjatul Islam.
Mazhab akidah yang dianutnya adalah Asy’ariyah sedangkan mazhab fikih yang dianutnya adalah Syafi’iyah.
Ada beberapa faktor yang mendukung tersalurkannya bakat intelektual al-Ghazali.
Pertama, ia dilahirkan ketika Bani Saljuq berkuasa, tepatnya pada 450-505 H / 1058-1111 M. Pemerintahan Islam ketika itu sangat menghargai ulama.
Kedua, sejak kecil, ia memang dicetak oleh ayahnya untuk menjadi ulama. Kelak setelah dewasa, ia menjadi ulama yang bersinergi dengan umara (penguasa) dalam menjaga agama dan negara.
Ketiga, daerah asalnya merupakan pusat keilmuan, yakni Ghazalah; sebuah desa di pinggiran kota Thus di Naisabur. Itulah kenapa ia sering disebut Abu Hamid Muhammad al-Ghazali ath-Thusi an-Naisaburi.
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, baik yang semazhab atau berbeda mazhab, para ulama mengakui betapa luasnya ilmu yang dimiliki Imam al-Ghazali.
Bahkan Imam al-Juwaini, gurunya sendiri, merasa bangga akan kecerdasan al-Ghazali dan menyebutnya sebagai lautan yang dalam. (Lihat: Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyyah, 6/195-201)
Ibnul Jauzi, ulama kharismatik mazhab Hambali, mengritik Ihya Ulumiddin karya al-Ghazali dengan membuat tulisan berjudul I’lamul Ahya bi Aghlathi al-Ihya’, berisi pemberitahuan tentang kesalahan-kesalahan dalam buku Ihya.
Namun demikian, Ibnul Jauzi tidak ragu untuk menunjukkan pujian dan rasa hormatnya kepada al-Ghazali sebagaimana ia cantumkan di dalam kitab al-Muntadzham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, jilid 14.
Ketika berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 505 H, beliau mengatakan bahwa al-Ghazali adalah orang yang brilian dalam mencari dan mengajarkan ilmu.
Setidaknya, ada 70 karya yang berhasil ditulis oleh Imam al-Ghazali.
Selain al-‘Ihya, di antara karyanya yang sangat masyhur ialah Tahafut al-Falasifah berisi kritik keras terhadap filsafat, Bidayatul Hidayah, Ayyuhal Walad, Minhajul Abidin, dan Faishal at-Tafriqah Baynal Islam wa az-Zandaqah.
Tidak diragukan lagi bahwa al-Ghazali adalah pengembara intelektual sejati.
Namun, dengan alasan bahwa dalam kitab Ihya terdapat banyak hadits dha’if, beberapa orang menunjukkan sikap kurang hormat kepada Sang Hujjatul Islam lantaran dinilai lemah dalam bidang hadits.
Padahal, setelah sekian lama menekuni berbagai disiplin keilmuan, di akhir hayatnya al-Ghazali mencurahkan perhatian terhadap hadits-hadits nabi.
Ada beberapa petunjuk yang menyatakan bahwa menjelang masa-masa terakhir dalam hidupnya, al-Ghazali mulai mengkritisi konsep sufi yang dipaparkan olehnya dalam kita al-Munqidz min adh-Dhalal dan mulai mengontrolnya dengan Sunah.
Namun, ajal keburu menjemputnya pada tahap ini.
Ketika meninggal, didapati kitab Shahih Bukhari tergelatak di atas dadanya, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Taimiyah dan sejarawan lainnya.
“Sekiranya umur al-Ghazali sedikit lebih panjang dari itu.” kata Majid Irsan al-Kilani dalam kitabnya Hakadza Dzhahara Jayl Shalahuddin, “Niscaya akan muncul sebuah aliran pemikiran salafi baru.”
“Al-Ghazali meninggal ketika berusia 55 tahun pada suatu periode ketika seseorang mencapai puncak kematangan pemikiran dan mulai melahirkan gagasan yang matang pula. Allah Ta’ala memiliki segala urusan dan hikmah atas setiap makhluk-Nya.” lanjutnya.
Al-Kilani berpesan, “Hal terpenting sepanjang petualangan intelektualnya, al-Ghazali telah melakukan ijtihad yang tidak lepas dari kebenaran dan kesalahan.
Namun baik benar maupun salah, dia tetap mendapat pahala. Al-Ghazali adalah seorang yang tulus dan berani untuk mencari kebenaran. Melakukan ishlah (perbaikan) terhadap kondisi umat Islam serta memperbarui perjalanannya dalam percaturan sejarah, dan telah melakukan banyak pengorbanan untuk mencapai semua itu.
Fakta ini membuat Ibnu Taimiyah begitu menghormati al-Ghazali, selalu berusaha menepis berbagai tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Jika menemukan suatu kesalahan, maka dia segera mencari dalih dari kondisi sekelilingnya. Jika sedang membicarakan al-Ghazali, maka Ibnu Taimiyah menyebut panggilan kehormatannya yaitu, “Abu Hamid.”
Jika mengritik pemikiran Ghazali, maka Ibnu Taimiyah memaklumi perkara-perkara yang ditemui Sang Hujjatul Islam selama menjelajahi terminal filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf.”
Demikianlah sepenggal kisah tentang akhir hayat sang Hujjatul Islam dan penghormatan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah kepada beliau.
Mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi para penuntut ilmu hari ini. Amin.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.