Aturan Islam Dalam Berinteraksi Dengan Lawan Jenis (Ikhtilath)
Oleh Shodiq Abdurrahman (Mahasantri Ma’had Aly An-Nuur)
Islam sangat memperhatikan dan menjunjung tinggi perlindungan atas hak dan kebaikan manusia. Maka setiap perintah dan larangan yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya pasti mengandung hikmah.
Baik hikmah berupa adanya kebaikan di dalamnya maupun agar seorang hamba tidak terjerumus ke dalam lembah kebinasaan.
Inilah bukti perhatian yang diberikan oleh As-Syari’, yakni Allah ﷻ bagi setiap hamba-Nya atas aturan yang ditetapkan oleh-Nya.
Seperti perintah Allah kepada hamba-Nya agar menjauhi zina, perbuatan yang keji dan jalan yang dibenci. Allah ﷻ berfirman
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Dalam hal ini, Allah tidak sekedar melarang hamba-Nya dari melakukan zina. Akan tetapi juga menjauhi segala hal yang dapat mengantarkan seseorang kepada perbuatan tersebut. Maka semua pintu menuju perzinaan harus ditutup rapat.
Salah satu jalan tersebut adalah ikhtilath[1] yang sering kita jumpai di sekitar kita. Mulai dari mall, pasar, sekolah, tempat kerja, fasilitas umum, dan lain sebagainya.
Fenomena yang sering dijumpai itu ternyata juga bisa kita saksikan dampak buruknya. Banyak sekali berita yang mengabarkan berbagai kejadian miris seperti kejahatan, pelecehan, perzinaan, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh ikhilath antara laki-laki dan perempuan.
Maka merebaklah berbagai macam tindak kejahatan dan perzinaan diakibatkan tidak pedulinya manusia terhadap aturan Allah.
Di tempat umum sekalipun tidak menjamin seseorang terbebas dari kerusakan yang disebabkan oleh ikhtilath.
Sebuah studi kuantitatif yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 5 dari 7 orang pernah mengalami kekerasan seksual dan kebanyakan kasus pelecehan seksual terjadi di tempat umum.
Masih banyak kasus-kasus serupa yang terjadi di masyarakat Indonesia. Kasus-kasus yang diberitakan mungkin saja hanya sekian dari banyaknya kasus-kasus lainnya.
Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui batasan ikhtilath karena fenomena ini sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat Indonesia.
File PDF bisa didownload di sini.
Definisi Ikhtilath
Ikhtilath berasal dari kata khalatha (خلط) yang berarti bercampur.[2] Dikatakan “khalatha asy-syai’ bisy syai’’ (خلط الشيء باالشيء) ketika dua benda bercampur.[3]
Adapun sesuatu yang dicampurkan disebut al-khilthu [4] (الخلط). Maka ikhtalatha (اختلط) adalah kondisi saat kedua benda saling bercampur.[5]
Sedangkan pengertian ikhtilath secara istilah menurut DR. Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani adalah, “Berkumpulnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram pada satu tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi antara mereka; baik dengan melihat, memberi isyarat, berbicara, atau kontak fisik tanpa ada penghalang yang mencegah timbulnya fitnah dan kerusakan.”[6]
Perbedaan Ikhtilath dengan Khalwat
Letak perbedaan antara ikhtilath dengan khalwat ada pada kondisi ketika antar lawan jenis bertemu. Ikhtilath terjadi antara dua laki-laki dan perempuan atau lebih di satu tempat dalam kondisi ramai.
Adapun khalwat adalah berduaannya seorang laki-laki dan perempuan di tempat yang sepi.
Kata khalwat berasal dari kata khala (خلا) yang bermakna kosong.[7] Dikatakan khala al-makanu (خلا المكان) jika di tempat tersebut tidak terdapat sesuatu atau seorang pun.[8]
Atau bisa juga dimaknai dengan berduaan, sebagaimana disebutkan (خلا الرجل بصاحبه) ketika lelaki tersebut berduaan dengan temannya di tempat yang sepi.[9]
Sehingga dapat dipahami bahwa istilah khalwat berarti berduaannya seorang lelaki dengan seorang perempuan di tempat yang sepi.[10] Sedangkan ikhtilath terjadi di tempat yang ramai.
Larangan Ikhtilath
1. Dalil Al-Qur’an
Secara khusus, Allah melarang ikhtilath karena merupakan salah satu jalan yang mendekatkan seseorang kepada perbuatan zina. Allah ﷻ berfirman
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah melarang hamba-Nya berbuat zina, mendekatinya, serta ikut dalam sebab-sebab yang menuntun kepadanya.”[11]
Telah diketahui bahwasanya ikhtilath merupakan satu sebab terbesar yang dapat mengantarkan seseorang kepada perbuatan zina. Adapun hukum asal sebuah larangan adalah sebuah pengharaman.[12]
2. Dalil As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَصَلَّى، ثُمَّ خَطَبَ، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ، فَوَعَظَهُنَّ، وَذَكَّرَهُنَّ، وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ
“Aku keluar bersama Nabi ﷺ pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Beliau shalat, kemudian berkhutbah, lalu mendatangi kaum wanita dan memberi mereka nasihat, peringatan, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah.” (HR. Bukhari)[13]
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengomentari kalimat ‘ثم اتى النساء’, bahwa hadits di atas menunjukkan keadaan kaum wanita yang dipisahkan dari lelaki dan tidak bercampur baur dengan mereka.[14]
Berkata Al-Qadhi ‘Iyadh, “Keluarnya seorang perempuan dari rumah untuk shalat di masjid hukumnya mubah.” Akan tetapi beliau mensyaratkan beberapa hal, salah satunya adalah agar tidak memakai parfum, memakai perhiasan, dan tidak bercampur baur dengan kaum lelaki.”[15]
Penjelasan para ulama mengenai hadits tersebut menunjukkan bahwa termasuk dari tujuan Allah melarang ikhtilath -bahkan di dalam masjid sekalipun- adalah agar para hamba-Nya terhindar dari fitnah.
Seperti memandang, membayangkan, bersentuhan, dan perbuatan lain yang dapat menjadi wasilah atau perantara yang mendorong pada perbuatan zina.
Kriteria Ikhtilath
Terdapat beberapa kaidah dasar yang dapat diaplikasikan untuk menyimpulkan apakah ikhtilath yang terjadi dibolehkan atau dilarang oleh syariat.
1. Ikhtilath yang diharamkan
Dr. Muhammad Abdullah al-Musaimiri dan Dr. Muhammad bin Abdullah al-Hamdani menyebutkan definisi ikhtilath yang dilarang.
اللقاء المباشر المقصود بين الجنسين غير المحارم مع إمكان التحرز منه
“Yaitu bertemunya antara dua orang lawan jenis atau lebih yang bukan mahram secara langsung untuk suatu tujuan sedangkan mereka memiliki kemampuan untuk menghindarinya.”
Adapun penjabaran dari definisi tersebut sebagai berikut;
a. Secara langsung (المباشر), maka tidak termasuk di dalamnya pertemuan yang dilakukan dengan adanya pembatas (hijab).
b. Adanya tujuan (المقصود), seperti untuk bekerja, mengajar, menghadiri pertemuan dan perayaan-perayaan yang terdapat ikhtilath di dalamnya.
c. Dengan lawan jenis yang bukan mahram (الجنسين غير المحارم), tidak termasuk di dalamnya proses khitbah[19] dan nadzhar[20] secara syar’i.
d. Memiliki kemampuan (مع امكان التحرز منه) untuk menghindarinya.[21]
Sedangkan contoh ikhtilath yang diharamkan yaitu;
a. Ikhtilath antara anak laki-laki dan anak perempuan mumayyiz[22] walaupun ada hubungan saudara, dalam satu tempat tidur.
b. Mempekerjakan pembantu laki-laki atau perempuan, lalu pembantu itu bercampur baur dengan orang lain yang bukan mahramnya di rumah tersebut sehingga terjadi khalwat.
c. Laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan dan berakrab-akrab dengannya, dengan alasan agar lebih mengenal calon pasangannya. Perbuatan seperti ini menyebabkan terjadinya khalwat dan hal-hal yang tidak pantas.
d. Seorang istri menerima tamu yang itu adalah kerabat laki-laki atau teman suaminya ketika suaminya tidak berada di rumah dan duduk bersama mereka.
e. Ikhtilath di tempat kerja dan tempat perkumpulan seperti sekolah, kampus, pasar, rumah sakit, juga di pesta pernikahan dan perayaan-perayaan lainnya.
f. Termasuk ikhtilath yang diharamkan yaitu berkumpulnya laki-laki dan perempuan walaupun di tempat umum jika dapat mengundang fitnah.[23]
2. Ikhtilath ketika darurat
Darurat berasal dari kata dharra (ضر) yang artinya keburukan atau kerusakan, yaitu lawan kata dari an-naf’u (النفع) yang artinya kebaikan atau manfaat.
Adapun ad-dharurah (الضرورة) bermakna kebutuhan akan sesuatu. Dalam istilah syar’i, darurat dimaknai dengan,
تلك الحالة التي يتعرض فيها الإنسان إلى الخطر في دينه أو نفسه أو عقله أو عرضه أو ماله فيلجأ (لكي يخلص نفسه من هذا الخطر) إلى مخالفة الدليل الشرعي الثابت
”Kondisi ketika seseorang sedang menghadapi bahaya yang mengancam agama, jiwa, akal, kehormatan, dan hartanya, lalu ia terpaksa (agar terlepas dari bahaya tersebut) menyelisihi dalil yang telah ditetapkan oleh syariat.”
Asalnya, hukum ikhtilath adalah haram. Akan tetapi, dikecualikan ketika dalam kondisi darurat yang memaksanya untuk berikhtilath.
Juga dalam kondisi yang sangat mendesak dan di tempat-tempat ibadah seperti ikhtilath di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Termasuk dalam kondisi darurat ketika ingin menolong orang yang tenggelam, atau mengobati orang sakit jika tidak ada orang lain yang sejenis.
Disebutkan di dalam fatwa Lajnah Dai’mah,
لا يدخل في الاختلاط: ما تدعو إليه الضرورة وتشتد الحاجة إليه ويكون في مواضع العبادة، كما يقع في الحرم المكي والحرم المدني
“Tidak termasuk ikhtilath (yang diharamkan); (ikhtilath) yang disebabkan karena kondisi darurat dan kebutuhan yang sangat mendesak serta dalam tempat-tempat ibadah. Sebagaimana yang terjadi di Tanah Suci Makkah dan Madinah.”[24]
Rambu-Rambu Syariat Dalam Permasalahan Ikhtilath
Allah ﷻ telah menetapkan rambu-rambu syariat yang harus ditaati ketika seseorang terpaksa berikhtilath atau dalam keadaan darurat. Diantaranya yaitu;
1. Menjaga pandangan
Allah ﷻ berfirman
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menundukan pandangannya, serta memelihara kemaluannya; yang demikian itu tentu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, serta menjaga kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30-31)
Laki-laki diperintahkan untuk menjaga pandangannya dari kaum perempuan, begitu pula sebaliknya. Karena memandang lawan jenis mendorong seseorang kepada dua hal; keinginan untuk memenuhi syahwat dan hajat biologisnya.[25]
2. Tidak melembutkan suara bagi wanita
Allah ﷻ berfirman,
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَد مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَض وَقُلۡنَ قَوۡلا مَّعۡرُوفا
“Wahai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”[26]
Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah para wanita hendaknya berbicara kepada laki-laki tanpa melembutkan suara, atau janganlah seorang perempuan berbicara kepada lelaki ajnabi dengan cara seperti ia berbicara kepada suaminya. [27]
Perempuan ketika melembutkan suara sejatinya telah membuka pintu zina telinga.
3. Tidak ber-tabarruj
Syariat melarang perempuan bertabarruj sebagaimana firman Allah,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.“[28]
Tabarruj yaitu menampakkan perhiasan dan keindahan tubuh, seperti kepala, wajah, leher, dada, hasta, betis, dan anggota badan lainnya yang bisa menimbulkan fitnah berupa bangkitnya syahwat lelaki ketika melihatnya.
Maka dari itu, Allah memerintahkan kepada setiap wanita untuk mengenakan jilbab yang menutupi rambut, wajah, dan lainnya. Sehingga dengan itu mereka terjaga dari fitnah dan tidak menjadi fitnah bagi orang lain.[29]
4. Menjauhi khalwat dengan lawan jenis
Khalwat yaitu berduaannya laki-laki dan perempuan ajnabi (bukan mahram) di tempat tertutup. Khalwat merupakan perbuatan orang jahiliyah dan termasuk dosa besar.[30] Rasulullah ﷺ bersabda,
لا يخلون رجل بامرأة إلا أن يكون الشيطان ثالثهما
“Tidaklah seorang laki-laki berduaan bersama wanita yang bukan mahramnya melainkan pasti yang ketiganya adalah setan” [31]
Faedah dari hadits ini adalah bahwasanya setan akan mengajak mereka untuk melakukan kemaksiatan saat sedang berkhalwat.
Akan tetapi ketika ada orang lain bersama pihak perempuan yang mengawasi, maka akan menepis bisikan tersebut.[32] Hadits diatas berisi larangan khalwat bagi setiap laki-laki dan perempuan baik muda maupun tua.[33]
Kesimpulan
1. Ikhtilath merupakan perantara perbuatan zina. Zina adalah tindakan yang Allah haramkan dan setiap wasilah atau perantara kepada keharaman hukumnya pun haram.
2. Ikhtilath diharamkan ketika melanggar batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan. Seperti berbicara tanpa ada keperluan, terkadang dengan melembutkan suara, dan memandang tanpa ada batasan.
Juga yang di dalamnya terdapat hal-hal yang diharamkan, membuka peluang untuk khalwat, dan terjadi saling berdesakan antara laki-laki dan perempuan.
3. Ikhtilath dibolehkan jika dikarenakan adanya hajat (kebutuhan) dan sulitnya menghindari ikhtilath di tempat itu. Seperti ikhtilath yang terjadi di pasar dengan tujuan memenuhi hajat seperti membeli peralatan yang dibutuhkan.
4. Asalnya, hukum ikhtilath adalah haram. Kecuali ketika dalam kondisi darurat yang memaksanya untuk berikhtilath.
Juga dalam kondisi yang sangat mendesak dan juga di tempat ibadah seperti ikhtilath di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Termasuk dalam kondisi darurat ketika ingin menolong orang yang tenggelam, atau mengobati orang sakit jika tidak ada orang lain yang sejenis.
5. Rambu-rambu syariat yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak yaitu; menjaga pandangan, tidak melemah-lembutkan suara (bagi wanita), tidak ber-tabarruj, dan menjauhi khalwat dengan lawan jenis.
Referensi
[1] Campur baur antara laki-laki dengan perempuan di tempat umum seperti pasar,sekolah, kantor, dan lain-lain (penj.)
[2] Jamaluddin Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Sadr, 1414 H), jilid 7, hal. 291
[3] Ibid.
[4] Fairuz Abadi, Al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2005), hal. 665
[5] Isma’il bin Abid bin Abbas at-Thaliqani, Al-Muhith fi al-Lughah, 1431 H, jilid 1, hal. 352
[6] Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Al-Ikhtilath baina Ar-Rijal wa An-Nisa’; Mafhumuhu, wa Anwa’uhu, wa Aqsamumu, wa Ahkamuhu, wa Adhraruhu, hal.7
[7] Jamaluddin Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Sadr, 1414 H), jilid 14, hal.237
[8] Ibid.
[9] Ibid, hal. 265
[10] Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, ‘Audatul Hijab, (Iskandariah: Dar al-Qimmah, 2003), jilid 3, hal.49
[11] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzhim, (Dar Thayyibah, 1999), jilid 5, hal. 72
[12] Ali bin Fahd bin Abdullah Aba Bathin, Adillatu tahrimi al-Ikhtilath wa Kasyfu Syubahi Du’atihi (Riyadh: Muassasah Khalid bin al-Walid, 2010), hal. 12
[13] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Mathba’ah al-Kubra al-Amiriah), jilid 2, hal. 21
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1379H), jilid 2, hal. 466
[15] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim bi Fawaid Muslim, (Dar al-Wafa’, 1998), jilid 2, hal. 353
[16] Jamaluddin Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Sadr, 1414 H), jilid 7, hal. 340
[17] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. III, hal. 810
[18] Mausu’ah al-Fiqh al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Dar as-Salasil, 1431 H), cet.I, jilid 7, hal.10
[19] Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
[20] Melihat wanita yang hendak dinikahi
[21] Dr. Muhammad Abdullah al-Musaimiri, Dr. Muhammad bin Abdullah al-Hamdani, Al-Ikhtilath baina al-Jinsain Ahkamuhu wa Atsaruhu, (Dar Ibnul Jauzi), hal.14
[22] Mumayyiz merupakan seorang anak yang sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk
[23] Syahatah Muhammad Ali Saqr, Al-Ikhtilath Baina ar-Rijal wa an-Nisa’; Ahkamun wa Fatawa (Kairo: Dar al-Yusr, 2010), hal. 66-67
[24] Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 1, 1431 H, Idaroh al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’, jilid.2, hal. 93, fatwa no. 2234.
[25] Abu Al-Hasan bin Al-Qathan, Ihkamu An-Nadhar fi Ahkami An-Nadhar Bihasati Al-Bashar, (Dar Al-Qalam, Damaskus, 1433 H, 2012 M), hal. 363
[26] QS.Al-Ahzab:32
[27] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzhim, (Dar Thayyibah, 1420 H/1999M), Jilid 6, hal.409
[28] QS. Al-Ahzab (33) :33
[29] Ibid, hal.8
[30] Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Al-Ikhtilath baina Ar-Rijal wa An-Nisa’; Mafhumuhu, wa Anwa’uhu, wa Aqsamuhu, wa Ahkamuhu, wa Adharuhu, (Muassasah Al-Juraisiy, Riyadh, 1433 H), hal. 62
[31] HR. Tirmidzi dengan sanad yang shahih
[32] Abu Muhammad Abdul Wahab bin Ali At-Tsa’labi, Al-Mu’awwanah ‘Ala Madzhab ‘Alim Al-Madinah, (Al-Maktabah At-Tijariyah, Makkah, 1435 H)
[33] Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Al-Ikhtilath baina Ar-Rijal wa An-Nisa’; Mafhumuhu, wa Anwa’uhu, wa Aqsamuhu, wa Ahkamuhu, wa Adharuhu, (Muassasah Al-Juraisiy, Riyadh, 1433 H), hal. 63