Tentang erangan rasa sakit yang ditahan seorang ibu kala hendak memperjuangkan hidup kita, mempertaruhkan jiwa raganya; mengandung sembilan bulan lamanya lalu kemudian melahirkan kita. Tak hanya itu pengorbanannya, dengan sepenuh kelembutan nan kasih sayang, ibu dengan teliti menjaga nan merawat. Mengupayakan segala hal agar anak yang ia gadang-gadang bisa tumbuh sehat nan bahagia nantinya. Dialah ibu yang rela kedinginan, memberikan selimut hangat pada anaknya agar dapat tidur nyenyak dan bangun dengan nyaman di pagi harinya.
Maka tak pelak bila ada seorang salaf yang mengabadikan sebuah kisah zaman dahulu tentang seorang anak yang ingin membalas jasa ibunya. Ialah Adz-Dzahabi dalam sebuah literatur ia menuliskan, bahwa dahulu sahabat Ibnu Umar pernah melihat seorang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah, lalu orang itu berkata pada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar pun dengan tegas menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu”.
Belum lagi kala kita merenungkan bagaimana pengorbanan seorang ayah demi keberlangsungan hidup kita. Seorang ayah yang dengan tulus mendidik dan mengajarkan tentang banyak hal pada kita, rela banting tulang bekerja siang nan malam demi sesuap nasi yang kita makan setiap hari, ia ikhlas mengeluarkan keringatnya agar kita dapat menikmati hidup dengan layak.
Maka, mari kita renungkan perihal ini. Sejauh mana pengabdian kita pada mereka? Pernahkah kita bertanya pada keduanya atau salah satunya tentang keridhaan mereka terhadap kita? Pernahkah kita bertanya, “Wahai ibu apakah kau telah ridho dengan anakmu ini?” Atau kepada sang ayahanda, “Wahai ayahku, apakah dengan semua yang aku abdikan kepadamu telah membuatmu ridho terhadapku? Duhai Rabb semesta alam, Sang pemilik jagad raya ini, jika memang ridho-Mu terletak pada ridho keduanya maka jadikan kami anak-anak yang selalu berbakti sampai mereka ridho pada kami ya Rabb.
Jika kita hendak menengok bagaimana para salaf mengabdi nan berbakti pada kedua orang tua mereka, maka tiada alasan lagi untuk kita menunda segala yang diperintahkan keduanya selama itu dalam kebenaran. Beliaulah Muhammad bin Al-Munkadir dengan sebuah pengabdian, yang selalu mengisi malam-malamnya dengan menemani sang ibunda tercinta. Bahkan ia tak pernah iri terhadap adiknya ‘Umar yang selalu bisa melaksanakan qiyamul lail. Saat sang adik sibuk dengan kesenduan sujud dalamnya, kakanda dengan tulus menemani sang ibu di kamar, memijiti kakinya. “Dan aku tidaklah ingin malamku itu diganti dengan malamnya ‘Umar.” Kata beliau Al-Munkadir dengan sepenuh ketulusan.
Semoga Allah selalu mengampuni dosa-dosa kita, lagi dosa kedua orang tua kita. Merahmati keduanya, menjaga keduanya dari api neraka. Dan jika di hari-hari yang lalu kita belum sempat mengupayakan bakti nan pengabdian kita pada orang tua, maka mari hari ini lalu esok kemudian sampai suatu masa nanti kita perbaiki lagi bakti kita pada keduanya. Sebab, dengan apalagi kita meraih ridho Allah jika tidak melalui perantara ridho keduanya. Karna itulah kita akan terus mengabdi nan berbakti sepenuh cinta, sampai tutup usia. Wallahu a’lam bishawab. [Ayyub al-Hawariy]