sebelumnya… Gagasan Islam Nusantara Dalam Tinjauan Syar’i (bag. 1)
Pandangan Islam Terhadap Adat Istiadat Lokal
1. Dalam konsep ushul dan furu’
Pada dasarnya, agama Islam tersusun dari dua komponen, bagian pertama berupa keyakinan dan bagian kedua berupa aturan perbuatan[1]. Bagian pertama berbicara masalah mengimani dan mengkufuri (ushul), sedangkan bagian kedua berbicara mana yang harus dikerjakan, mana yang sebaiknya dilakukan, mana yang boleh-boleh saja dan mana pula yang seharusnya tidak dikerjakan(furu’). Secara konkrit memang tidak pernah disebutkan pembagian ini secara literal dalam al-Qur’an, karena dalam al-Qur’an perkara-perkara ushul dan furu’ disebut dengan iman dan amal shalih/syari’at[2].
Permasalahan ushul berdiri diatas landasan dalil-dalil yang qath’iy. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam as-Syafi’i “Semua permasalahan yang telah Allah tegakkan hujjahnya dengan jelas di KitabNya atau melalui lisan Rasul-Nya dengan dengan nash-nash yang jelas, maka tidak boleh ada perselisihan didalamnya”[3]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebut perkara ushul dengan istilah syar’u al-munazzal, mengikutinya adalah kewajiban dan keluar darinya harus diperangi[4].
Yang kedua adalah permasalahan yang bersifat furu’, adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan, seperti hukum dan tatacara shalat, puasa, haji, transaksi muamalah dan macam-macam hukum persaksian. Dalil-dalil yang dipakai masih bersifat zhanni sehingga dalam penafsirannya akan ada perbedaan pendapat antara satu mujtahid dengan yang lainnya, dan perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak termasuk perbedaan yang dilarang[5]. Ibnu Taimiyyah menamakannya dengan syar’u al-muawwal (perkara yang boleh ditakwil), namun syaratnya mujtahid yang berijtihad itu tidak boleh mengatakan bahwa pendapatnya adalah pendapat Allah dan RasulNya, dan tidak memaksa orang untuk sepakat dengannya[6]
Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq berpendapat; bahwa secara umum ilmu-ilmu keislaman itu terbagi menjadi dua, bagian pertama adalah bagian yang tsabit/tetap yang tidak akan pernah berubah seiring perubahan zaman, mencakup perkara-perkara keimanan, ibadah dan permasalahan akhlaq. Ini adalah perkara-perkara tetap dalam agama dan tidak boleh memberlakukannya sebagaimana perkara-perkara ijtihadi. Seperti pada masalah sifat-sifat Allah, malaikat, surga dan neraka, hari akhir, siksa kubur dan masalah-masalah ghaib lainnya[7].
Tiga persoalan inilah yang termasuk hal yang tetap dalam agama, setiap penambahan disampingnya masuk pada wilayah ibtida’ (bid’ah), kalaupun ada perbedaan maka itu pada permasalahan yang tidak disengaja atau dalam keadaan darurat ketika melanggarnya. Secara tabi’at, manusia adalah makhluk sosial yang butuh berhubungan dengan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dalam Islam masalah ini tetap diatur oleh nash-nash syar’i. Hanya saja, nash-nash itu fungsinya sebagai patokan yang berhubungan dengan perkara prinsip, sehingga boleh menggunakannya sesuai dengan konteks persoalan, waktu dan tempat yang dibutuhkan, medan ijtihadnya luas. Yang terpenting dalam perkara ini adalah tidak menyalahi kaidah-kaidah prinsip. Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq menyebut perkara ini dengan sebutan mutaghayyirat[8].
Yang dapat kita pahami dari argumen diatas adalah adat istiadat tidak masuk kedalam pembahasan ushul, karena adat (kebiasaan) adalah perkara muamalat yang masuk kedalam ruang lingkup furu’. Namun masalahnya, jika pada prakteknya adat istiadat mengandung berbagai macam ritual kesyirikan. Maka, ia masuk kedalam perkara ushul dan ini dilarang oleh syari’at. Maka, adat istiadat sendiri sebenarnya perlu diperinci lagi, menabrak syari’at atau tidak. Jika adat istiadat dimanapun itu, bertentangan dengan kaidah-kaidah ushul maka jelas ini dilarang dan pelakunya dihukumi kufur sesuai dengan keterangan diatas.
2. Prinsipالعادة محكمة (adat istiadat bisa dijadikan sebagai hukum) dalam kaidah fiqih
Dalam ilmu fiqih kaidah ini merupakan salah satu kaidah penting, karena menunjukkan kemudahan dan penjagaan syari’at terhadap manusia untuk menghilangkan kesusahan-kesusahan dalam bermuamalah. Pengertian adat secara bahasa; berasal dari kata العود atau المعاودة yang bermakna, pengulangan. Menurut para ahli ushul, adat bermakna pengulangan berkali-kali namun tidak berhubungan dengan nalar manusia. Contohnya seperti, gerakan pada cincin disebabkan oleh gerakan jari-jemari, gerakan dedaunan karena hembusan angin, dan semua berpindah tempatnya sesuatu karena ada gerakan. Sedangkan menurut para fuqaha’ adat adalah sebuah ibarat berulang yang membekas didalam jiwa yang masuk akal sesuai dengan tabi’at normal manusia[9].
Salah Landasan dalil bahwa adat bisa digunakan untuk memutuskan hukum syar’i dasarnya adalah sebuah hadits yang berbunyi: مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ artinya, “ Sesuatu yang baik dalam pandangan kaum muslimin itu juga baik dalam pandangan Allah”. Semua permasalahan dalam adat dan urfi dalam fiqih dikembalikan kepada kaidah ini sehingga kaidah ini dijadikan sebagai salah satu kaidah asli[10].
Ada sebuah istilah lagi dalam pembahasanan adat, yaitu urf. Urf dan adat adalah dua lafadz yang maknanya sama, titik perbedaannya ada pada sisi bahasa saja. Urf terbagi dua, yang tidak bertentangan dan yang bertentangan dengan syar’i.
Menurut muhadditsin istilah adat digunakan untuk individu maupun kelompok, sedangkan urf hanya untuk kelompok saja[11]. Pembagian urf berdasar umum dan khususnya ada tiga; pertama, urf ‘aamah (kebiasaan yang umum), adalah kebiasaan yang berlangsung tanpa terikat oleh masa tertentu, yang dikerjakan disetiap negri. Contohnya apabila seseorang bersumpah untuk tidak masuk kesuatu daerah tertentu, tapi suatu hari dia menginjakkan kaki didaerah itu, maka dia dianggap melanggar sumpah meskipun satu kakinya masih berada diluar daerah itu. Kedua, urf khass (kebiasaan khusus), adalah kebiasaan sekelompok atau suatu jama’ah tertentu ditempat tertentu. Contohnya adalah penggunaan istilah-istilah yang berbeda disetiap negara. Ketiga, urf syar’i (kebisaan yang merupakan syari’at) contoh, sholat puasa, zakat, haji dsb.
Menurut jumhur fuqaha’, urf khass tidak bisa dianggap untuk menentukan hukum secara khusus dan meninggalkan qiyas, akan tetapi para fuqaha’ dari kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah membolehkannya[12]. Sedangkan sebab dari yang tidak membolehkan mengkhususkan nash atau qiyas dengan urf karena adanya perbedaan disetiap daerah, ditakutkan ada sebuah daerah yang tidak masuk dalam kekhususan daerah itu[13].
Lalu bagimana kedudukan urf ini atas nash-nash syar’i?, ada dua keadaan yang harus dipahami[14]:
a. Apabila urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i, maka wajib beramal dengannya, karena posisi mengamalkannya sama dengan mengamalkan dalil itu sendiri
b. Jika urf bertentangan dengan dalil syar’i maka: 1) Jika pertentangannya dari semua sisi maka, nash didahulukan dengan 3 sebab, tidak ada hak hamba dalam merubah nash, nash lebih kuat dari urf, dan urf terkadang mengandung sesuatu yang bathil. 2) Jika pertentangannya tidak pada semua dan dalil penentangnya adalah dalil khusus atau qiyas, sedangkan urfnya adalah umum, dalam posisi ini didahulukan urf demi kemaslahatan umum. 3) Jika bertentangan dengan sebuah dalil, yang dalil itu landasannya adalah urf, maka menurut para ulama nash ditinggalkan dan wajib mengamalkan urf. 4) Apabila bertentangan dengan pendapat para mujtahid, yang para mujtahid dizaman itu melandaskan ijtihadnya diatas urf, kemudian muncul permasalahan baru, maka didahulukan urf meskipun bertentangan dengan pendapat sebelumnya.
Dhawabit yang disebutkan adalah syarat berlakunya adat istiadat sesuai dengan syari’at Islam.
Islam Nusantara Antara Metode Dakwah Dan Propoganda Musuh
Islam Nusantara Sebagai Metode Dakwah
Sebuah metode tidak terlepas dari sebuah kondisi, ini yang harus dipahami oleh setiap da’i, untuk menetapkan sebuah metode atau sebuah konsep pada sebuah masyarakat harus ada mapping (pemetaan), mapping itu sendiri mencakup SWOT[15] (Strength = Potensi, Weakness = Kelemahan, Opportunity = Peluang dan Threath = Ancaman) dari sini baru kemudian melahirkan sebuah metode yang bisa diterapkan. Atau dalam kaidah fiqih dakwahnya disebut, inzalunnas manazilahum[16] (mendakwahi manusia sesuai dengan kapasitasnya), artinya metode dakwah harus diselaraskan dengan pekembangan manusia[17]. Ini juga yang harus kita perhatikan dari metode dakwah Walisongo, sehingga jika benar dakwah walisongo dengan melestarikan adat istiadat lokal kita bisa tahu apa alasannya.
Di Jawa, pengajaran Islam dihadapkan pada dua jenis lingkungan budaya Kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme dan dinamisme[18] yang hanya lapisan luarnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme. Dari perjalanan sejarah proses Islamisasi di Jawa, tampak, bahwa Islam sangat sulit diterima dilingkungan budaya Jawa istana, karena agama Islam ditolak oleh raja.[19] Waktu itu jawa sepenuhnya dikuasai oleh kerajaan Syiwo-Budho Padjajaran Jawa Barat, sedangkan di Jawa Timur kerajaan Singosari dan Mojopahit [20]. Kerajaan Mojopahit mencapai masa kejayaannya pada masa Prabu Hayam Wuruk (1350-1389M) dengan Mahapatihnya yang terkenal, Gadjah Mada (1313-1364M). Wilayah kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dan sebagian Filiphina[21], setelah masa kejayaan itu, mulailah kerajaan Mojopahit mengalami kemunduran, terutama setelah terjadi pertempuran di masa Prabu Wikromo Wardhono di Mojopahit Barat dengan saudara iparnya, Bhre Wirobumi di Mojopahit Timur, yang dinamakan perang Paregreg (1401-1405M). Perang ini bukan satu-satunya perang yang terjadi, namun perang Paregreg adalah awal rentetan dari peperangan-peperangan selanjutnya yang menyebabkan lemahnya Mojopahit[22]. Disini awal masuknya Walisongo ke Tanah Jawa Ketika itu. Saat itu, khilafah Utsmaniyah di Turki dipimpin oleh Sultan Muhammad I, Sultan diberitahu oleh para pedagang Gujarat yang beragama Islam bahwa di Jawa sedang terjadi perang saudara, lalu sultan mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur tengah untuk meminta dikirimkan beberapa ulama yang mempunyai keahlian khusus. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I kemudian dibentuk sebuah tim yang berintikan Sembilan orang yang ditugaskan untuk menjadi penyebar agama Islam dipulau Jawa. Kemudian tim ini berangkat pada tahun 1404M diketuai oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Turki, beliau adalah seorang ahli irigasi yang dianggap piawai dan pintar dalam mengatur Negara[23]. Namun pengiriman ini bukanlah satu-satunya pengiriman, terhitung ada 6 angkatan setelah itu[24].
Metode adat digunakan oleh sunan Ampel atas permintaan dari kerajaan Majapahit atas dasar kerusakan parah yang terjadi dimasyarakat. Metode sebenarnya ini adalah hasil pandangan dari Sunan Kalijogo. Awalnya Sunan Ampel menolak ide ini, karena adat istiadat Jawa sarat akan ajaran Hindu Syiwo Budho seperti, selametan, sesajen dan sejenisnya. Sunan Ampel tidak dapat menerimanya, kata Sunan Ampel “Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari? Bahwa adat istiadat dan upacara-upacara lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sebab kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadi bid’ah?”. Tetapi pendapat Sunan Kalijogo itu disetejui oleh Sunan Kudus, karena Sunan Kudus mempunyai keyakinan bahwa dikemudian hari akan ada pendakwah lain yang akan menyempurnakannya[25]
Itulah sebabnya Sunan Kalijogo memilih adat sebagai metode dakwah, sebab tantangan terberat dakwah masa itu adalah kehidupan masyarakat Jawa yang masih kuat dipengaruhi kepercayaan, tradisi, budaya, ritual, dan adat warisan nenek moyang dari agama Hindu Syiwo dan Budho maupun sisa kepercayaan animisme dan dinamisme. Menentang secara frontal pasti akan berakibat pada kegagalan dakwah, maka solusinya perlahan-lahan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam adat istiadat dengan tujuan menggeser kebudayaan itu sendiri.
Lalu, jika dikatakan Islam Nusantara adalah sebagai metode dakwah walisongo yang mengakomodir adat istiadat, itu benar adanya, tapi bukan dengan tujuan melestarikan budayanya. Itu hanya metode yang dipakai untuk menghantarkan masyarakat kepada pemahamam Islam yang sesungguhnya. Walaupun pada akhirnya kekhawatiran Sunan Ampel benar-benar terjadi hari ini.
Islam Nusantara Sebagai Propaganda Musuh
Definsi “musuh” disini adalah kaum Yahudi dan Nashrani (al-Baqarah:120). Kaum Yahudi dengan gerakan politiknya yang bernama Zionisme, adalah gerakan yang mempunyai peran sangat besar pada kerusakan berskala internasional. Dengan ideologi “The New World Order” yang digerakkan oleh gerakan klandestin Freemasonry, Yahudi berambisi untuk menaklukkan dunia, rival beratnya adalah ideologi khilafah Islamiyah.
Menurut seorang peneliti Barat, Ralp Epperson, secara umum Ideologi The New World Order akan merusak tatanan keluarga, ekonomi dan agama[26]. Faktanya hari ini kita mendapati kerusakan pada keluarga seperti banyaknya maraknya penyakit LGBT, legalisasi bagi tempat-tempat hiburan/pelacuran, tingginya angka perceraian, dan sebagainya. Dibidang ekonomi, ekplorasi sumberdaya di negri-negri kaum muslimin dilakukan secara terang-terangan. Ketiga, agama-agama akan dihapus.
Semua rencana mereka untuk menguasai dunia tertuang dalam sebuah dokumen yang disebut “the protocol”, sebuah dokumen yang didalamnya terdapat 24 butir program kerja jangka panjang yang disahkan pada tanggal 29-31 Agustus 1897 di Basel Switzerland di kongres Zionis Internasional-1, sebagai acuan utama gerakan Zionis seluruh dunia[27]. Diketahui oleh publik karena dokumen bocor, melalui tangan pendeta ortodoks Rusia Sergey Nylos, lalu diterjemahkan dan dipublikasikan secara umum di Rusia.
Salah satu protokol yang dianggap penting dan memiliki pengaruh pada kondisi agama di dunia adalah protokol yang ke-14, berisi rencana penghapusan agama didunia[28]. Meskipun pada prakteknya musuh terbesar bagi mereka adalah ummat Islam, karena Islam dengan ideologi khilafahnya adalah ancaman bagi mereka. Lembagai yang menjadi pionir digarda terdepan dalam rencana ini adalah PBB dan Amerika Serikat dengan ’’war on terrorism”nya. Terbukti pada tanggal 15 Januari 2016 didepan Majlis umum PBB dipersentasikan sebuah agenda plan of action oleh Ban-Ki Moon, Sekjen PPB. Meskipun sebenarnya ini sudah lama menjadi agenda kebijakan AS sebuah agenda untuk mencegah ekstrimisme dan kekerasan, disebut dengan PVE (Prevent Violent Extremism). Dan pada tanggal 12 Februari 2016, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang “menerima inisatif Sekjen PBB, dan memberi perhatian pada Plan of Action to Prevent Violent Extremism.” Beberapa negara anggota diundang dalam forum tersebut, termasuk Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Amerika, Serikat, Denmark, dll. [29]
Melihat latar belakang dan beberapa pengertian Islam Nusantara, terlihat ada benang merah dengan war on terrorism/Crusade yang diprakarsai oleh G. Walker Bush pasca runtuhnya WTC 11 September 2001. Sejak Bush mendeklarasikan Perang Melawan Teror, upaya untuk mereformasi Islam semakin digalakkan. Teori mereka, segala kekacauan di dunia ini sumbernya adalah paham keislaman. Itulah kenapa, mulai dikampanyekan bentuk Islam moderat. Mereka mulai masuk ke dalam ranah pendefinisian Islam. Apa itu Islam, bagaimana Islam dipraktikkan di dunia modern, dan bagaimana Islam yang kompatibel dengan Barat dan kepentingannya. Narasinya dikemas dalam bahasa yang indah; toleran, cinta damai, bhinneka, dll. Namun, arti yang sebenarnya adalah kemauan untuk tunduk dalam hegemoni Barat. Jangan melawan apalagi memberontak, jika tidak ingin disebut teroris dan radikal[30]
Bush memberi dua pilihan kepada dunia “with us or with teroris” dan Indonesia memilih untuk ikut Bush. Melaui BNPT dibuatlah program deradikalisasi. Dalam menjalankan tugasnya BNPT menggalang dukungan dari para tokoh-tokoh terkemuka termasuk kyai pondok pesantren. Narasi yang dibangun BNPT adalah “Nasionalisme/Cinta Tanah Air” yang diaplikasikan dengan melestarikan budaya dan adat istiadat, demi tercapainya makna “islam rahmatan lil ‘alamin” dan anti kekerasan[31]. Disini titik temunya dengan wacana Islam Nusantara. Wallahu a’lam.
—————————————–
[1] Ahmad bin Salim as-Safarini, Lawami’ul Anwar, (Mu’assah al-khafiqin wa maktabatuha: Damaskus, 1402H/1982M), hlm.4, vol.1
[2] Sayyid Sabiq, al-‘aqaid al-Islamiyah, (Dar al-Kitab al-Arabi: Beirut, tt), hlm.9, vol.I
[3] Imam asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Maktabah al-Halabi: Mesir, 1358H/1940M), hlm. 560, vol.1, ditahqiq oleh Ahmad Syakir
[4] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Mamlakah as-Su’udiyah: Madinah an-Nabawiyah, 1416H/1995M), hlm.395, vol. 35, tahqiq oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim
[5] Imam as-Syafi’i, ar-Risalah…hlm. 560, vol. 1
[6] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa…hlm. 395, vol. 35
[7] Abdurrahman bin Abdul Khaliq Yusuf, as-Salafiyun wal a’imah al-arba’ah, (Dar as-Salafiyah: Kuwait, 1398H/1978M), hlm. 24
[8] Ibid, hlm.27
[9] Al-Burnu, al-Wajiz fi idhahi qawa’id al-Fiqhi al-Kulliyah, (Muassasah ar-Risalah: Beirut, 1416H/1996M), hlm. 274
[10] Ibid, hlm. 79
[11] al-Burnu, al-Wajiz fi idhahi qawa’id al-Fiqhi al-Kulliyah…hlm.276-278
[12] Ibid, hlm. 278
[13] Ibid, hlm. 279
[14] Ibid, hlm. 282-
[15] Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500, sebagai sebuah metode evaluasi/rencana (Wikipedia)
[16] Sa’id al-Qahthani, al-hikmah fi ad-dakwah ilallah, (Maktabah al-mulk Fahd al-wahtaniyah: Riyadh, 1424 H), hlm. 531
[17] Ibid, hal. 807
[18] Suatu kepercayaan masyarakat bahwa tiap benda mempunyai ruh dan kekuatan ghaib
[19] K.Subroto, Kesultanan Demak, Negara Berdasar Syari’at Islam di Tanah Jawa, dalam LKS Syamina, Vol. II, Januari 2016, hlm. 14
[20] Rachmad Abdullah, Walisongo, Gelora Jihad dan Dakwah di Tanah Jawa, (al-Wafi:Solo, 2015), hlm. 52
[21] Ibid, hlm. 56
[22] Ibid, hlm. 58
[23] K. Subroto, Kesultanan Demak…hlm. 15
[24] Ibid, hlm. 16
[25] Rachmad Abdullah, Walisongo, Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa…hlm. 180
[26] A. Ralph Epperson, The New world order,tt, hlm. 18
[27] Z.A Maulani, Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia, (Daseta: Jakarta, April 2002), hlm. 85
[28] Sergey A. Nilus, Protocol of Zion, blueprint Zionis untuk menaklukkan dunia, alih bahasa:Indriani Grantika, (Jakarta Selatan: Change, 2014), hlm. 151
[29] K. Mustarom, Narasi Tunggal PBB, dalam LKS Syamina, vol. 06 April 2016, hlm. 13
[30] https://www.seraamedia.org/2018/07/07/good-muslim-vs-bad-muslim/, diakses 12 Juli 2018
[31] Sa’id Aqil Siradj, Mendahulukan Cinta Tanah Air, dalam buku; Nasionalisme dan Islam Nusantara, hlm. 3