Islam adalah agama yang memiliki aturan hukum yang totalitas. karena Islam menyentuh berbagai aspek kehidupan, dari urusan pribadi manusia, rumah tangga, sampai kepada urusan negara. Islam mempunyai aturan yang mengikat.
Dalam berhukum, Islam mengacu pada dua hal yaitu Al-Quran dan Hadist. Dalam menjalankan kehidupan dunia, umat muslim harus mengikuti dua sumber ajaran Islam ini.
Kehidupan manusia yang dinamis tentu akan melahirkan berbagai persoalan yang tiada pernah berhenti muncul, salah satunya adalah masalah barang temuan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering kita sering menjumpai barang temuan (luqathah), baik menemukan barang yang bernilai rendah (sepele) maupun yang bernilai tinggi (berharga).
Permasalahan tersebut sering dianggap sepele. Diketahui selama ini etika dan pemahaman tentang barang temuan sering diabaikan oleh masyarakat pada umumnya, seolah-olah barang yang ditemukan adalah rezeki yang jatuh dari langit yang tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya.[1]
Seperti contoh kasus ditengah masyarakat di daerah Palangkaraya pada 27 Maret 2018 yang diliput oleh Borneo News. Yaitu seorang pemuda yang berinisial AN, 19, warga kota Palangkaraya. Dia harus berurusan dengan hukum setelah menemukan ponsel warga yang tercecer di jalan. Namun, Ia malah mengubah nomor ponsel dengan nomor pribadi dengan maksud menguasainya.[2]
Peristiwa tersebut menjadi bukti ,ternyata hukum dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam persoalan barang temuan masih banyak yang tidak memahaminya. Karena itulah penulis tergerak untuk mengkaji persoalan barang temuan. agar dapat menjadi salah satu solusi dalam menangani persoalan barang temuan.
Mengingat bahwa Imam Nawawi merupakan ulama kalangan madzhab syafi’i yang menjadi qoul mu’tamad rujukan dalam madzabnya.[3] Sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti pandangan Imam Nawawi dalam persoalan barang temuan atau luqathah, karena madzab syafi’i adalah madzhab yang termasuk paling banyak dianut oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia. Kami di sini membatasi pembahasan kami pada barang temuan yaitu benda mati dan hewan saja.
Biografi Imam Nawawi
Beliau dikenal sebagai ulama yang tidak sempat menikah atau membujang sampai akhir hayat. Nama lengkap beliau adalah Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam. Beliau biasa di kenal dengan sebutan An-Nawawi atau Al-Haurani, yang diambil dari asal kelahiran beliau di wilayah Damaskus tepatnya di desa Nawa atau Hauran. Sedangkan Al-Hizami adalah nisbat beliau kepada kakeknya Hizam.[1] Para ahli sejarah bersepakat bahwa beliau dilahirkan pada bulan 631 H.
Di umur sekitar 19 tahun beliau menimba ilmu di madrasah Ar-Rawahiyyah. Beliau menghafalkan At-Tanbih sekitar empat setengah bulan. Setiap harinya beliau dapat membaca 12 pelajaran di hadapan syaikhnya,[2] sehingga Allah telah memberkahi umurnya yang sedikit dan memberikan kepadanya ilmu yang banyak.
Diantara guru-guru beliau : Ibrahim bin Isa al-Muradi, Tajudin al Fazari, Ibnu Malik, Abdul Aziz bin Muhammad. Sedangkan diantara murid-murid beliau : Ibnu al-Aththar. Beliau termasuk ulama yang produktif dalam menulis, terbukti dari karya-karya beliau yang melimpah : Minhaj Ath-Thalibin, Raudhah Ath-Thalibin, al-Adzkar, Riyadus Shalihin, kitab al-Arbai’n, At-Thibyan fil Adab Hamalah Al-Qur’an dan masih banyak lagi.
Sedangkan kedudukan beliau dalam madzhab syafi’iyah adalah termasuk mu’tamad. Sebagaimana keterangan Qadhi Shafad Muhammad bin Abdurrahman dalam biografi Imam Nawawi dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra, “Dia adalah syaikhul Islam, keberkahan bagi golongan asy-Syafi’iyah, penghidup madzhab dan pemilihnya, serta orang yang diakui di kalangan ulama bahwa pendapat-pendapat yang dikuatkannya agar diamalkan”. [3]
Beliau banyak mendapat pujian salah satunya datang dari Quthbudin Musa. Ia mengatakan, “Bahwasannya beliau adalah orang yang tidak ada duanya di zamannya dalam hal ilmu, zuhud, wara’, ibadah, berhati-hati terhadap dunia, dan khusyu”.[4] Beliau wafat dan dikuburkan di tempat kelahiran beliau di Nawa Rajab tahun 677 H. [5]
Definisi Luqathah
Luqathah (لُّقْطةُ) secara Bahasa berasal dari kata لقط yang bermakna أَخْذُ الشيء من الأَرض yaitu mengambil / menemukan sesuatu dari tanah atau jalan.[1] الشيء الذي تجده ملقى فتأخذه atau sesuatu yang kamu temukan tergeletak lalu kamu mengambilnya.[1] المال الملقوط yaitu barang temuan (isim maf’ul)[2]
Definisi secara syar’i, Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan barang temuan atau luqathah yaitu barang yang hilang dari pemiliknya dikarenakan terjatuh, kelalaian pemiliknya, atau sejenisnya yang ditemukan di tempat umum dan berada di darul Islam atau di darul harbi yang terdapat di dalamnya kaum muslimin.[3]
Rukun Luqathah
Rukun pertama: Penemuan atau Mengambil Barang Temuan [الإلتقاط]
a. Hukum Mengambil Barang Temuan
Imam Nawawi berpendapat tentang pengambilan barang temuan:
يستحب الإلتقاط لواثق بأمانة نفسه ولا يستحب لغير واثق و يجوز في الأصح ويكره لفاسق[1]
“Dianjurkan untuk mengambil bagi orang yang amanah, boleh bagi orang selainya, dan makruh bagi orang fasiq.
Karena Allah berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, Sebagian mereka menjadi penolong bagi Sebagian yang lain.”[2]
Tidak boleh bagi (wali) penolong, untuk meninggalkan atau membiarkan dari menjaga harta seorang muslim lainya karena ia termasuk dengan maksud menghilangkanya, karena ia termasuk kehormatan seorang muslim (hurmah).[3]
Imam Ghazali menambahkan bahwa hukumnya haram bagi si penemu untuk mengambilnya, jika benar-benar diketahui ia akan berkhianat terhadap barang temuan tersebut.[4]
Pendapat Imam Nawawi selaras dengan pendapat jumhur (terkecuali Hanabilah) yaitu tergantung dari dari keadaan orang yang menemukan barang temuan. Apabila yang menemukan adalah orang yang amanah maka afdhal baginya untuk mengambilnya. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa yang lebih utama adalah meninggalkan dan membiarkan barang tersebut karena membiarkannya lebih selamat dan utama.[1].
b. Saksi Dalam Penemuan Barang Temuan
Imam Nawawi berpendapat bahwa saksi dalam penemuan barang adalah tidak mewajibkan sebagaimana beliau menuturkan:
والمذهب أنه لا يجب الإشهاد على الإلتقاط [1]
“Menurut madzhab kami bahwa tidak wajib adanya persaksian dalam menemukan atau mengambil barang temuan.”
Dalam karyanya yang lain, Beliau hanya mensunnahkan saja dan tidak mewajibkannya:
في الوجوب الإشهاد على اللقطة أصحهما : لا يجب لكن يستحب[2]
“Dalam permasalahan wajib tidaknya saksi dalam mengambil barang temuan, yang paling shahih di antara keduannya adalah tidak wajib tapi hanya disunnahkan.”
Pendapat Imam Nawawi adalah pendapat yang selaras dengan pendapat jumhur (kecuali Hanafiyah), sehingga dengan adanya persaksian ini bagi si penemu akan terhindar dari tamak dan menyembunyikannya dari ahli warisnya apabila ia meninggal dunia.[3]
Sedangkan dari kalangan hanafiyah berpendapat bahwa wajib baginya menghadirkan saksi ketika menemukan barang temuan. Beliau berpendapat dengan hadist yang diriwayatkan oleh Muthrif bin Syukhair dari ‘Iyadh bin Himar, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
من التقط لقطة فليشهد ذوي عدل عليها ولا يكتم ولا يعنت فإن جاء صاحبها فهو أحق بها. وإلا فهو مال الله يؤتيه من يشاء
“Barangsiapa yang menemukan barang temuan maka hendaklah ia disaksikan oleh dua orang yang adil atas barang temuan tersebut, dan janganlah ia menyembunyikannya atau berkhianat terhadapnya, dan apabila pemilik barang datang untuk mengambilnya maka ia lebih berhak atasnya. Apabila tidak datang maka ia termasuk harta/ hak Allah yang diberikan kepada yang dikehendaki.”[4]
Adapun yang disaksikan oleh para saksi dalam barang temuan menurut Imam Nawawi adalah menyebutkan sebagian dari ciri-ciri barang temuan tersebut, tidak semua ciri-ciri barang temuan tersebut disaksikan oleh para saksi agar kesaksian tersebut menjadi faidah.[1]
Pendapat lain datang dari kalangan Syafi’iyah yaitu Imam Al-Baghawi yang berpandapat bahwa yang disaksikan oleh para saksi adalah sumber atau tempat ia menemukan atau jenis barang bukan sifat-sifat / ciri-ciri barang temuan tersebut agar tidak diketahui oleh saksi sehingga saksi tersebut mengaku-ngaku bahwa dia yang menemukanya.
Rukun kedua: orang yang menemukan [الملتقط]
Imam Nawawi berpendapat :
وأنه يصح التقاط الفاسق و الصبي والذمي في دار الإسلام[1]
“Bahwa sah atau boleh bagi orang fasik, anak kecil, dan ahlu dzimmah mengambil barang temuan di negara Islam”.
Dari pendapat beliau terdapat perincian sebagai berikut:
a. Orang Fasik
Imam Nawawi berpendapat bahwa orang fasik yang menemukan barang temuan, maka sah atau boleh baginya untuk mengambilnya. Akan tetapi harta tersebut harus dipindahkan kepada orang lain yang adil :
لا يقر في يده بل ينزع من يده, ويوضع عند عدل, لأن اللقطة في مدة التعريف أمانة, والملتقط في حفظه كالولي في حق الصغير, والفاسق ليس من أهل الأمانة ولا الولاية[1]
“Barang temuan tersebut harus dipindahkan kepada orang yang adil tidak boleh berada di tangannya, karena barang temuan selama masa pengumuman adalah amanah yang harus di tunaikan, dan orang yang menemukannya harus menjaganya seperti halnya wali dari anak kecil yang menjaga hak anak tersebut. Sedangkan orang fasik bukan dari ahli amanah maupun ahli wilayah”.
Beliau menambahkan bahwa dalam pelaksanaan pengumuman barang temuan harus diawasi oleh orang yang terpercaya atau orang lain[2].
Karena status orang fasik ada kemungkinan untuk berkhianat dalam mengumumkan barang temuan tersebut. Maka apabila telah habis masa pengumuman maka ia berhak memiliki.
b. Anak Kecil
Menurut Imam Nawawi bahwa ketika anak kecil menemukan barang temuan maka ia sah atau boleh mengambilnya. Akan tetapi wali dari anak kecil tersebut tidak boleh meninggalkannya dan harus mengawasinya. Sehingga barang tersebut diserahkan kepada wali dari anak tersebut, dan jika barang tersebut rusak dengan sendirinya di tangan anak kecil maka, tidak ada dhaman baginya karena barang temuan adalah amanah Ketika masa pengumuman[1].
Jika barang temuan tadi menjadi rusak oleh anak kecil tersebut dikarenakan kelalaian dari pengawasan wali, maka dhaman atas wali tersebut.
Kemudian wali dari anak kecil tersebut mengumumkan barang temuan tersebut selama setahun. Ketika telah habis masa pengumuman, maka anak tersebut berhak memilikinya.[2]
c. Ahlu Dzimmah
Imam Nawawi berpendapat tentang sahnya atau bolehnya ia mengambil barang temuan :
وأنه يصح التقاط الفاسق و الصبي والذمي في دار الإسلام[1]
“ Bahwa sah atau boleh bagi orang fasik, anak kecil, dan ahlu dzimmah mengambil barang temuan di negara islam”.
Imam Nawawi memberikan keterangan lebih lanjut yaitu disyaratkan bagi Ahlu dzimmah ia adalah orang adil atau terpercaya.
Ulama syafiiyah lain berpendapat tidak dibolehkan baginya mengambil barang temuan tersebut karena didalamnya adanya hak wilayah dan tidak ada wilayah ahlu dzimah atas orang muslim, maka imam berkak untuk mengambilnya dan menjaga.[2]
Rukun ketiga: Barang Temuan
Imam Nawawi membagi barang temuan menjadi dua bagian, yaitu; Harta dan selain harta
Dari harta terbagi lagi menjadi dua, yaitu makhluk hidup dan benda mati.[1] Lalu dari mahluk hidup terbagi lagi menjadi dua lagi; manusia (laqith) dan selain manusia.
Adapun pembagian selain manusia terbagi lagi menjadi dua. Pertama, hewan yang kuat, yang mampu menjaga dirinya dari binatang buas dengan kekuatanya, misalnya unta, kerbau, kuda, dan keledai atau hewan yang biasa berlari kencang misalnya rusa dan kelinci atau burung seperti burung merpati. Kedua, hewan yang lemah, yang tak mampu mejaga dirinya dari hewan buas. Misalnya kambing, domba, dan anak sapi.
Adapun pembagian dari benda mati yaitu benda yang dapat bertahan atau awet, baik dengan usaha seperti kurma basah yang dikeringkan atau selainya seperti emas dan perak. Kedua benda yang tak dapat bertahan lama atau awet seperti makanan, tepung, dan buah-buahan. Sedangkan pembagian terakhir yaitu selain harta, beliau mencontohkan seperti anjing liar.[1]
Kewajiban Bagi Si Penemu
1. Menjaga Barang Temuan
Seseorang yang menemukan luqathah maka wajib baginya menjaga barang tersebut. karena itu adalah amanah dan berkaitan dengan yang namanya dhaman atau ganti rugi. Sedangkan ganti rugi sendiri erat kaitaannya dengan niat dan maksud dari si penemu dengan barang tersebut. Jika seseorang mengambil dengan niat menjaga barang tersebut selamanya maka baginya amanah dan tidak ada dhaman baginya, jika barang itu rusak dengan sendirinya. Adapun jika ia menyerahkannya kepada hakim maka ia wajib menerimanya.[1]
Sebaliknya ketika seeorang mengambil barang temuan dengan maksud khianat dan ingin mengusainya maka baginya dhaman seperti hukumnya ia mengghosob barang orang lain, dan orang tersebut tidak bisa memilikinya walaupun ia mengumumkannya.[2] Si penemu akan terlepas dari ganti ruginya dengan menyerahkan barang temuan tersebut kepada hakim.
Adapun jika seseorang ingin mengambilnya dengan maksud untuk memilikinya maka menjadi amanah pada masa pengumuman. [3] Setelah habis masa pengumuman maka ia memilikinya. Akan tetapi jika si empunya datang untuk meminta barang tersebut, ia wajib mengembalikannya.
2. Mengenali dan Mengumumkan Barang Tersebut
Kewajiban selanjutnya adalah bagi si penemu adalah mengenali barang temuan tersebut dan mengumumkannya ia harus mengetahui ‘ifash (tutup yang terbuat dari kulit atau selainya) dan wika’ (tali pengikatnya), jenisnya (emas/ perak), kadarnya (timbangan / jumlah), dan sifat-sifatnya. Ini semua harus diketahui agar
tidak bercampur dengan hartanya dan mengetahui kebenaran orang yang datang mengaku orang yang mempunyainya.[1]
Imam Nawawi tidak membedakan dalam masalah mengumumkan barang temuan dengan maksud memiliknya maupun menjaga selamanya, hukumnya bagi mereka semua adalah wajib mengumumkannya karena dengan pengumuman tersebut akan terhindar dari menyembunyikan barang tersebut dari sang pemilik. [2]
Diwajibkan mengumumkan di waktu-waktu dimana manusia berkumpul (siang hari) dan di tempat banyaknya manusia berkumpul seperti di pasar , dipintu-pintu masjid (dilarang di dalam masjid) selama satu tahun.[3] terutama di tempat di mana ia menemukan barang itu dan sekitarnya.
Adapun teknisnya Imam Nawawi menjelaskan:
Satu tahun masa pengumuman barang temuan, diumumkan secara bertahap yaitu dua kali sehari di setiap permulaaan (pagi dan sore) lalu sehari sekali, lalu seminggu sekali, lalu sebulan sekali.[4]
Imam Nawawi berpendapat bahwa hendaklah si penemu ketika mengumumkan barang tersebut maka disertai beberapa sifat dari barang tersebut, tapi tidak semuanya karena itu akan lebih memudahkan bagi sang pemilik barang untuk mendapatinya.[5]Adapun biaya dalam pengurusan ketika mengumumkan barang temuan tersebut di ambil dari baitul mal atau si penemu meminjamkan kepada si pemilik barang ketika seseorang mengambilnya dengan maksud menjaga tanpa niat memiliki. Sedangkan biaya dibebankan kepada orang tersebut ketika ia bermaksud ingin memilikinya.[6]
Kewajiban untuk mengumumkan barang temuan selama satu tahun ketika terpenuhi 2 sifat pada barang :
a. Banyak dan berharga
Apabila yang ditemukan itu sedikit atau sesuatu yang kebanyakan orang ketika kehilangan barang tersebut tidak mencarinya seperti sebutir kurma atau gandum, maka tidak mengharuskan untuk mengumumkan. Tapi jika barang tersebut sedikit tapi berharga, Imam Nawawi berpendapat :
والأصح لا يعرف سنة بل زمنا يظن أن فاقذه يعرض عنه غالبا[1]
“Hendaknya ia mengumumkan barang tersebut dalam jangka di mana ia pastikan bahwa orang yang memiliknya telah membiarkannya.”
Selanjutnya ulama berbeda pendapat mengenai batasan di mana harta di sebut sedikit. Imam Nawawi mengambil pendapat yang di shahihkan oleh Al-Ghazali yaitu:
أصحها لايتقدر ما غلب على الظن أن فاقذه لايكثر أسفه عليه ولا يطول طلبه غالبا
“Pendapat yang paling shahih adalah tak ada batasan yang pasti. Tapi, dengan sangkaan pasti bahwa si pemilik barang tidak merasa terlalu sedih dan terus mencari-cari barang tersebut yang hilang”.
Pendapat beliau sama dengan pendapat dari kalangan Hanabilah, yaitu tidak memberikan batasan harta karena penetapan dan batasan kadar barang tersebut harus berdasarkan nash dan tidak ada nash yang jelas menetapkan batasan tersebut.[1] Berbeda dengan pendapat dari kalangan Hanafiyah mereka memberikan batasan harga yang disebut sedikit adalah 10 dirham, maka apa-apa yang diatas 10 dirham maka itu harta yang banyak wajib di umumkan selama setahun.[2]
b. Barang Tersebut Mampu Bertahan Lama
Karena dalam masa pengumuman membutuhkan waktu yang tidak sedikit. maka barang setidaknya mampu bertahan.[1]
3. Mengembalikan Kepada Pemilik
Ketika sang pemilik barang datang meminta barangnya sebelum si penemu memilikinya. maka barang tersebut diserahkan kepadanya dengan apa yang menyertainya atau apa yang berkembang dari barang tersebut.[1]
Jika sang pemilik barang datang dan meminta barang tersebut sedangkan barang tersebut sudah menjadi miliknya. Maka apabila keduanya sepakat dengan mengembalikan barang aslinya maka dikembalikan[2]. Tapi jika si pemilik dan si penemu sama-sama menginginkan barang tersebut, maka tidak boleh bagi si penemu memaksa untuk mengambil barang lain yang semisalnya sebagai gantinya.[3]
Jika ada seseorang yang mengaku-ngaku bahwa dia yang memiliki barang tersebut dan memintanya tanpa menyebutkan sifat dan ciri-cirinya maka tidak boleh bagi sang penemu untuk memberikan kepada orang tersebut. Kecuali si penemu benar-benar mengetahui bahwa benda tersebut memang kepunyaanya. Adapun apabila ada orang yang membawa bukti-buktinya maka ia harus menyerahkanya.
Adapun apabila ada orang datang menyebutkan ciri-cirinya, maka bagi si penemu haruslah memperhatikan dan menimbang. Apabila dipastikan bahwa dia jujur maka boleh baginya untuk menyerahkan kepadanya. [1]
Hukum Memiliki Barang Temuan
Telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya tentang pembagian barang temuan, Adapun hukum memiliki barang temuan adalah berbeda-beda yaitu sesuai dengan jenisnya:
a. Hewan
Imam Nawawi menyebut istilah barang temuan yang berupa binatang dengan sebutan dhalah dan beliau membagi binatang itu terbagi menjadi dua :
Pertama, Hewan yang kuat, yang mampu menjaga dirinya dari binatang buas dengan kekuatanya, misalnya unta, kerbau, kuda, dan keledai atau hewan yang biasa berlari kencang misalnya rusa dan kelinci atau burung seperti burung merpati. Apabila ia menemukannya di hutan belantara atau di gurun maka haram baginya untuk mengambilnya dengan maksud memiliki.
الحيوان الممتنع من صغار السباع, إن وجد بمفازة يحرم التقاطه[1]
“Adapun hewan yang kuat apabila ditemukan di hutan atau di gurun maka diharamkan untuk diambil”
Jika seandainya ia mengambilnya ia dikenakan dhaman [ganti rugi] sampai ia serahkan hewan tersebut kepada qadhi atau imam. Maka ia terlapas dari dhaman [ganti rugi][2]Sebagaimana jawaban Nabi ketika ditanya tentang unta yang hilang:
ما لك ولها معها حذاؤها وسقاؤها حتى يأتيها ربه[3]ا
“Apakah ( belum jelas ) milikmu dan miliknya ?” sedangkan pada unta itu tedapat sepatu dan kantung air kepunyaanya ,(simpanlah) hingga datang pemiliknya”
Lalu apabila mengambil hewan tersebut dengan tujuan untuk menjaganya tanpa maksud untuk memilikinya. maka hukumnya tidak boleh jika yang mengambil adalah rakyat, maka ia harus menyerahkannya kepada imam. Adapun jika imam menemukan hewan tersebut maka ia berhak mengambilnya karena ia mempunyai hak wilayah untuk menjaga barang orang lain dan ia mejadi tempat
Imam Nawawi menyebut istilah barang temuan yang berupa binatang dengan sebutan dhalah dan beliau membagi binatang itu terbagi menjadi dua :
Pertama, hewan yang kuat, yang mampu menjaga dirinya dari binatang buas dengan kekuatanya, misalnya unta, kerbau, kuda, dan keledai atau hewan yang biasa berlari kencang misalnya rusa dan kelinci atau burung seperti burung merpati. Apabila ia menemukannya di hutan belantara atau di gurun maka haram baginya untuk mengambilnya dengan maksud memiliki.
الحيوان الممتنع من صغار السباع, إن وجد بمفازة يحرم التقاطه[1]
“Adapun hewan yang kuat apabila ditemukan di hutan atau di gurun maka diharamkan untuk diambil”
Jika seandainya ia mengambilnya ia dikenakan dhaman [ganti rugi] sampai ia serahkan hewan tersebut kepada qadhi atau imam. Maka ia terlapas dari dhaman [ganti rugi][2]
Sebagaimana jawaban Nabi ketika ditanya tentang unta yang hilang:
ما لك ولها معها حذاؤها وسقاؤها حتى يأتيها ربه[3]ا
“Apakah ( belum jelas ) milikmu dan miliknya ?” sedangkan pada unta itu tedapat sepatu dan kantung air kepunyaanya ,(simpanlah) hingga datang pemiliknya”
Lalu apabila mengambil hewan tersebut dengan tujuan untuk menjaganya tanpa maksud untuk memilikinya. maka hukumnya tidak boleh jika yang mengambil adalah rakyat, maka ia harus menyerahkannya kepada imam.
Adapun jika imam menemukan hewan tersebut maka ia berhak mengambilnya karena ia mempunyai hak wilayah untuk menjaga barang orang lain dan ia mejadi tempat mencari barang yang hilang bagi orang yang kehilangan. Sebagaimana yang Diriwayatkan bahwa khalifah Umar mempunyai tempat atau kandang khusus untuk menjaga hewan-hewan yang hilang tersebut.[1]
Adapun ketika seseorang menemukan hewan yang kuat di wilayah yang berpenduduk, Imam Nawawi berpendapat:
وإن وجد بقرية فالأصح جواز الإلتقاط للتملك[1]
“Apabila ditemukan di wilayah berpenduduk seperti desa ia boleh mengambilnya untuk dimiliki”
Imam Nawawi di sini membedakan hewan yang ditemukan di hutan dan di wilayah yang berpenduduk, beliau membedakan hewan yang ditemukan di hutan atau gurun karena ia hewan yang kuat tersebut tidak dikhawatirkan karena bisa mencari makan sendiri dan mempunyai cadangan air [punuk] dan hewan yang lemah dikhwatirkan mati karena ia tidak mempunyai cadangan air sedangkan kedua hewan tersebut ketika di temukan di wilayah yang berpenduduk maka sama dikhawatirkan.[2]Karena di wilayah ini ada kemungkinan akan diambil oleh orang yang yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, yaitu Hewan yang lemah, yang tak mampu mejaga dirinya dari hewan buas. Misalnya kambing, domba, dan anak sapi dibolehkan bagi yang menemukan hewan tersebut untuk mengambilnya.[3] Sebagaimana sabda Nabi:
خذها فإنما هى لك أو لأخيك أو للذئب
“Ambilah karena sesungguhnya dia milikmu ,atau berikanlah untuk saudaramu atau untuk serigala.”
Imam Nawawi memberikan pilihan ketika seseorang mendapatkan hewan tersebut di hutan atau di gurun ia harus memilih salah satu dari tiga opsi:
ويتخير أخذه من مفازة فإن شاء عرفه وتملكه أو باعه وحفظ ثمنه وعرفها ثم تملكه أو أكله وغرم قيمته إن ظهر ماكه[4]
“Yaitu pertama, ia mengambil hewan tersebut untuk dimiliki yaitu menjaganya sekaligus mengumumkannya. Kedua, menjual hewan tersebut menjaga harganya kemudian mengumumkan dan memilikinya. Ketiga, memakannya [jika hewan bisa dimakan] dan siap dengan ganti yang semisal dengannya jika pemilik dari hewan tersebut datang.”
Opsi pertama lebih didahulukan daripada opsi kedua dan opsi kedua lebih didahulukan daripada opsi yang terakhir. Adapun ketika seseorang menemukan hewan tersebut di wilayah yang berpenduduk, Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak boleh memakannya.
فإن أخذه في العمران فله الخصلتان الأوليان لا الثالثة في الأصح[1]
“Apabila ia mengambilnya di wilayah berpenduduk, maka baginya 2 pilihan pertama (menjaga atau menjualnya) dan tidak boleh pada pilihan ketiga.”
Karena menjualnya lebih memungkinkan untuk laku karena berada di wilayah yang berpenduduk. Sedangkan ketika seseorang menemukannya di hutan atau di gurun maka kemungkinan kecil untuk laku dan ada kesulitan jika di bawa ke wilayah yang berpenduduk maka kami membolehkan untuk memakannya.[2]
b. Benda Mati
Adapun terkait dengan hukum barang temuan yang berupa benda mati sebagai berikut:
Pertama, benda Yang Tahan Lama, sebagai contoh barang yang dapat disimpan dalam masa yang panjang minimal 1 tahun, misalnya uang, dirham (perak), dinar (emas).[1] Dibolehkan untuk memilikinya setelah mengumumkan barang tersebut selama 1 tahun baik orang kaya maupun orang miskin.[2]
Kedua, benda Yang Tahan Lama Dengan Usaha, Imam Nawawi berpendapat:
إن أمكن بقاؤه بعلاج كرطب يتجفف فإن كانت الغبطة في بيعه بيع أو في تجفيفه و تبرع به الواجد جففه وإلا بيع بعضه لتجفيف الباقي[3]
“Jika memungkinkan barang temuan tersebut untuk bertahan dengan usaha seperti kurma basah. Maka hendaknya ia mengeringkannya[dengan suka rela] atau ia menjualnya atau ia menjual sebagian dari barang temuan tersebut untuk biaya perawatan atau pengeringan sisa dari barang temuan tadi.”
Maka orang yang menemukan hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi pemilik barang tersebut.
Ketiga, benda Yang Tidak Tahan Lama, Imam Nawawi berpendapat:
فإن كان يسرع فساده كهريسة فإن شاء باعه وعرفه ليتملك ثمنه[1] وإن شاء أكله وغرم قيمته[2]
“Adapun Barang-barang ini akan rusak sebelum masa setahun bahkan lebih singkat lagi, misalnya makanan, tepung, dan buah-buahan. Entah ia menjualnya dan memiliki harganya atau ia makan dan siap mengganti yang semisalnya.”
Adapun Orang yang mengambil barang-barang ini boleh ia mengambilnya untuk dimakan supaya tidak tidak mejadi sia-sia dengan syarat ia sanggup mengganti uang harga barang tersebut jika pemiliknya datang atau ia menjualnya lalu mengambil harganya lalu mengumumkannya.[3]
Berkaitan dengan ini terdapat hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik:
حدثنا أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم مر بتمرة بالطريق فقال لولا أن تكون من الصدقة لأكلتها[4]
“Dari Anas r.a., ia berkata; “Rasulullah Saw lewat dan menemukan sebuah tamr (kurma kering) di tengah jalan, kemudian beliau bersabda, “Kalau aku tidak khawatir bahwa tamar itu sebagian dari sedekah orang, maka aku akan makan tamar tersebut”
Sebagian ulama Syafi’iyah lainya menambahkan bahwa tidak boleh baginya untuk memakannya apabila barang tersebut mungkin untuk dijual dan layak.[5] maka wajib baginya untuk menjualnya terlebih lagi jika ia menemukanya di daerah yang banyak penduduknya misalnya kota atau desa[6]
Setelah dijelaskan tentang hukum memiliki barang temuan dengan pembagiannya menurut Imam Nawawi, mana dari barang tersebut yang boleh dimiliki dan mana yang tidak boleh dimiliki. Adapun bagi barang yang boleh dimiliki terdapat perbedaaan pendapat mengenai hukum memiliki barang temuan tersebut bagi orang kaya dan orang miskin apakah mereka sama-sama boleh memilikinya.
Imam Nawawi berpendapat tidak ada perbedaan mereka berpendapat dengan mengambil keumuman dari sabda Nabi SAW. [فإن جاء صاحبها وإلا فشأنك بها ] maka ini menunjukan persamaan antara orang kaya dan orang miskin mereka sama-sama boleh memilikinya.[7] dan juga hadist yang diriwayatkan bahwa Ubay bin Ka’ab menemukan bungkusan yang didalamnya ada 80 sampai 100 dinar kemudian menyuruhnya untuk mengumumkan selama setahun lalu dilanjut [فإن جاء صاحبها و إلا فاستمتع به] maka bagi orang kaya ia tidak dilarang untuk memilikinya.
Terdapat penjelasan tambahan didalam kitab Al-Majmu’ sebagai berikut :
كل مال استباح الفقيراتلافه بشرط الضمان استباح الغني اتلافه بشرط الضمان كالقرض
“Karena semua harta yang dibolehkan bagi fakir yang dimana ketika rusak ada ganti rugi di sana maka hukumnya sama untuk orang kaya sebagaimana pinjam meminjam”.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa barang temuan hanya boleh di miliki oleh orang miskin saja. Barang temuan tersebut tidak boleh bagi orang kaya untuk memilikinya sebagaimana orang kaya tidak boleh menerima zakat. maka baginya ada dua opsi. Pertama, ia menjaganya selamanya atau ia menyedakahkanya. Apabila telah berlalu setahun maka tidak ada dhaman baginya. Jika belum berlalu setahun maka ada dhaman. Beliau menyamakan seperti zakat.[1]
Pendapat Imam Nawawi adalah pendapat yang selaras dengan pendapat jumhur kecuali Imam Abu Hanifah. Penulis disini lebih menguatkan pendapat Imam Nawawi yang mengambil keumuman nash.
Barang Temuan di Tanah Haram
Barang yang ditemukan di tanah haram memiliki hukum tersendiri. Imam Nawawi berpendapat wajib bagi si penemu untuk mengumumkannya dan tidak halal baginya untuk mengambilnya dengan maksud memilikinya.[1]
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Bahwa Rasulullah bersabda di hari fathul makkah:
إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَوْكُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلاَ يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهَا إِلاَّ مَنْ عَرَّفَهَا[1]
“Sesungguhnya Allah mengharamkan Makkah sejak hari di mana diciptakannya langit dan bumi sampai hari kiamat. Maka tidak boleh dipotong ilalangnya, tidak di tebang pohonnya, tidak diusir buruannya dan tidak diambil luqathahnya kecuali bagi orang yang mengumumkannya.”
Hadist ini merupakan keutamaan yang khusus bagi tanah haram sebagaimana haram untuk berburu dan memotong pohon disana. Karena merupakan tempat berkumpulnya manusia dari berbagai penjuru, yang mungkin diantara mereka ada yang datang untuk mencari barangnya.[1] Pendapat Imam Nawawi berbeda dengan pendapat yang diambil jumhur yaitu bolehnya mengambil barang temuan, tidak ada perbedaan antara barang yang ditemukan di tanah haram maupun barang yang ditemukan diselain tanah haram.[1]
Kesimpulan
Imam Nawawi berpendapat bahwa luqathah atau barang temuan itu boleh di miliki oleh orang kaya maupun orang miskin. Status barang tersebut menjadi amanah seperti wadi’ah pada masa pengumuman bagi si penemu dan baginya dhaman Apabila pemilik barang datang maka ia wajib mengembalikannya sebagaimana ia meminjam barang.
Pendapat Imam Nawawi tentang bolehnya memiliki barang temuan bagi orang kaya maupun miskin adalah pendapat yang sama dengan pendapat jumhur kecuali Imam Abu Hanifah. Penulis disini lebih menguatkan pendapat Imam Nawawi yang mengambil keumuman nash.
Jika seseorang mengambil dengan niat menjaga barang tersebut selamanya, maka baginya amanah dan tidak ada dhaman baginya jika barang itu rusak dengan sendirinya.
Adapun jika seseorang ingin mengambilnya dengan maksud untuk memilikinya maka menjadi amanah pada masa pengumuman dan setelah habis masa setahun maka secara otomatis ia masuk dalam penguasaaanya dan baginya ada dhaman. Wallahu a’lam bisshawab. [Syamil Robbani]
***
[1] Wuzarah Islamiyah, Al-Mausuah Al-Islamiyah Al-kuwaitiyah,… jld.35, hlm. 308.
[1] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafii,… jld.4, hlm. 553.
[1] Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, [Majlis Dairah] cet. 1, jld. 2, hlm.346
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,…hlm. 290.
[1] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab,[ Dar fikr] jld.15,hlm. 265.
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,… hlm. 288
[2] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’i,… jld.4, hlm. 558
[3] Ibid hlm. 558.
[4] Muslim, Shahih Muslim, [Beirut : Dar Ihya Turast] jld. 2 hlm. 756 . no. 1071
[5] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’i,…jld.4, hlm. 559
[6] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,…hlm. 288
[7] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm.476
[1] Ibid hlm. 252.
[2] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm.476.
[3] Ibid 288
[1] ibid 288
[2] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’i… jld.4, hlm. 557.
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,… hlm. 288
[2] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, [Dar fikr] jld.15, hlm. 273.
[3] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, [Dar fikr] jld.15, hlm. 272.
[4] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,…hlm. 288
[1] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafii …jld.4, hlm. 555.
[1] Ibid 288
[2] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm.465.
[3] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, [Beirut: dar Kutub Al-arabi] jld. 2 hlm. 63 no. 1706
[1] Ibid 288
[2] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm.465.
[3] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, [Beirut: dar Kutub Al-arabi] jld. 2 hlm. 63 no. 1706
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,… hlm. 290.
[1] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, …jld. 4 hlm.478.
[2] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,… hlm. 289
[3] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm.478.
[1] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm.475.
[1] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, [Beirut : Dar-Fikr] cet. 1, jld. 6, hlm.351
[2] ‘Alaudin Al-Kasani, Bada’I Ash-Shana’I,( Dar Al-Kitab Al-Arabi Beirut 1982) jld. 6, hlm. 202
[1] Ibid hlm. 289
[1] Ibnu Farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafii, …jld.4, hlm. 548.
[2] Imam Nawawi, raudhah ath-thalibin,… jld. 4 hlm.472.
[3] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab,[ Dar Fikr] jld.15,hlm. 256.
[4] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’…i jld.4, hlm. 549.
[5] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, … cet. 3, jld. 4 hlm.471
[6] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin, …hlm. 289
[1] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, … jld. 4 hlm.469.
[2] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa Umdah Al-Muftin,… hlm. 288
[3] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, … jld. 4 hlm.470.
[1] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm.465.
[1] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, … jld. 4 hlm.465.
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,… hlm. 287.
[2] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafii, …jld.4, hlm. 563.
[1] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafii,,… jld.4, hlm. 559.
[2] Ibid hlm. 560.
[1]Ibid hlm. 563.
[2] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin, … hlm. 287.
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa Umdah Al-Muftin, …hlm. 287.
[1] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, …jld. 4 hlm. 453.
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin…, hlm. 287
[2] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,… jld. 4 hlm. 453.
[3] Wuzarah Islamiyah, Al-Mausuah Al-Islamiyah Al-Kuwaitiyah,( Dar Salasil, Kuwait), Cet. 2jld.35, hlm. 297
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Mesir : Mustafa Al-Bani, 1975] jld. 2, hlm. 308
[1] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, [Beirut : Dar Fikr] cet. 1, jld.6, hlm. 346
[1] Imam Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa umdah Al-Muftin,( Mesir Dar Taufiqiyah, 2013) hlm. 287.
[2] QS. At-Taubah : 71
[3] Ibnu farra’ al-Baghawi, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafii,( Beirut Lebanon Dar Kutub Ilmiyah )1997 Cet. 1 jld.4, hlm. 547
[4]Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin… jld. 4 hlm. 453.
[1] Ibrahim Musthafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith, ,( Darut Dakwah) jld. 2 hlm. 834
[2] Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin,( Beirut, Lebanon Dar Kutub Ilmiyah) 2006 Cet. 3< jld. 4 hlm. 452
[3] Ibid hlm.469.
[1] Muhammad bin Mukrim bin Mandzur, lisaul Arab,( Beirut: Daru Shadir), cet. 1, jld. 7, hlm. 392
[1] Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, [Kairo : Al-Maktab Ats-Tsaqafi, 2007] Hlm, 12
[2] Abu Bakar bin Ahmad, ath-Thabaqat asy-Asyafi’iyah, [Beirut : Alim Al-Kutub] cet. 1 jld. 2, hlm. 153
[3] Ahmad farid, Min A’lam as-salaf, biografi ulama ahlus sunnah, Ahmad Syaik, hlm. 862
[4] Imam Nawawi, Al-Adzkar, [Kairo : Darul Aqidah, 2006] hlm. 4
[5] Abu Bakar bin Ahmad, ath-Thabaqat asy-Asyafi’iyah, cet. 1 jld. 2, hlm. 156
[1] Sahril, Studi komparatif hukum barang temuan [luqatah] antara mazhab hanafiyah dan mazhab malikiyyah, [Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2009], hlm. 1
[2] [https://www.borneonews.co.id/berita/89740-kuasai-barang-temuan-bisa-diproses-hukum, diakses 19/07,20, jam 20:10]
[3] Dr. Akram Yusuf, Al-Madkhal Ila Madzab Al-Imam Asy-Syafi’I, , [Yordan : Darun Nafais 2016]hlm. 355