Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina
Oleh Muhammad Habib Al-Fauzan (Mahasantri Ma’had Aly An-Nuur)
Kiwari, kehidupan free sex semakin meningkat dan dilakukan secara terbuka serta dengan penuh rasa bangga. Akibat semua itu maka banyak terjadi kehamilan di luar nikah yang menimbulkan kepanikan, baik bagi wanita yang bersangkutan maupun keluarga.
Dilansir dari website Detik.com, bahwa belakangan ini pernikahan dini karena hamil di luar nikah sudah marak terjadi di berbagai tempat, salah satunya di Ponorogo.
Bahkan Pengadilan Agama (PA) Ponorogo menerima 191 dispensasi permohonan pernikahan untuk anak di bawah umur, di antaranya ada 184 permohonan untuk anak 15-19 tahun dan 7 permohonan untuk anak di bawah 15 tahun.[1]
Hal paling mendasar yang dijadikan alasan bagi seseorang menikahkan wanita hamil karena zina adalah semata-mata untuk menutup aib wanita tersebut dan keluarganya.
Oleh karena itu dalam artikel ini penulis akan memaparkan pendapat ulama. Yaitu sah atau tidaknya akad nikah yang dilakukan dalam keadaan sang wanita hamil dan apakah mereka boleh berkumpul sebagaimana layaknya suami istri.
Definisi Nikah
Secara etimologi nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata نكَحَ – يَنكَح yang artinya bersatu dan berkumpul.[2] Menurut Abu Thahir adalah bersetubuh dan akad.[3]
Sedangkan definisi nikah menurut Ibnu Mandzur dalam kitabnya adalah perkawinan, beliau juga menukil dari al-Azhari bahwa ia berkata, ”Asal kata nikah dalam bahasa Arab adalah bersetubuh.”[4]
Sedangkan menurut terminologi, nikah adalah sebuah akad yang memberikan jalan secara syar’i untuk laki-laki agar memiliki hak bersetubuh dengan perempuan dan untuk perempuan agar halal disetubuhi oleh laki-laki.[5]
Larangan Menikahi Wanita Pezina
Dalam permasalahan ini, Allah ﷻ berfirman di dalam Al-Qur’an dalam Surat An-Nur ayat 3
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidak menikahi melainkan dengan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.”
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menghukumi tentang kebolehan menikahi wanita pezina. Ada yang membolehkannya, pun juga ada yang melarangnya.
Adapun sebab daripada perbedaan tersebut adalah karena pemahaman mereka tentang ayat di atas. Apakah ayat tersebut ditujukan untuk celaan atau pengharaman dan apakah lafadz
(وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ) merupakan kata petunjuk yang kembali kepada zina atau pernikahan. [6]
Menurut jumhur, bahwa ayat tersebut menunjukkan celaan bagi yang menikahi wanita pezina dan bukan sebagai pengharaman.
Pendapat ini didasarkan pada hadits[7], “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah mengenai istrinya yang berzina, kemudian Rasulullah menjawab, “Talaklah dia.” Laki-laki itu mengatakan, “Saya sangat mencintainya.” Lalu Rasulullah bersabda, “Tahanlah dia (tidak usah engkau ceraikan).”
Imam Syafi’i berkata, “Aku pernah dikabari oleh Sufyan dari Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Musayyib, bahwasanya beliau mengatakan ayat tersebut telah dimanshukh dengan ayat[8]
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”[9]
Imam Malik berkata, “Aku dikabari oleh para ahli ilmu seperti Mu’adz bin Jabal, Jabir bin Abdillah, Ibnu Musayyib, Nafi’, dan Abdullah bin Mas’ud, bahwasannya mereka mengatakan tidak mengapa untuk menikahi wanita pezina.”[10]
Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina
Para ulama berbeda pendapat tentang status wanita yang hamil di luar nikah, apakah mereka mempunyai masa iddah atau tidak. Dari sini konsekuensi hukum menikahinya pun juga berbeda-beda. Berikut rinciannya:
Pernikahan dengan selain pria yang menghamilinya.
Menurut mazhab Syafi’i[11] dan sebagian mazhab Hanafi[12] seperti Imam Abu Hanifah dan Muhammad, bahwa hukumnya boleh seorang wanita dinikahi oleh lelaki yang tidak menghamilinya. Akan tetapi tidak boleh digauli sampai wanita tersebut melahirkan.
Sebab, menurut mereka wanita yang hamil karena zina tidak mempunyai masa iddah. Dalil mereka adalah:[13]
1. Karena wanita zina tidak termasuk dalam kategori wanita yang haram untuk dinikahi, maka hukumnya dibolehkan, berdasarkan firman Allah
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
“Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu[14]”.[15]
2. Karena tidak adanya kehormatan dalam air zina (mani), sebab air tersebut tidak bisa menjadikan nasab yang jelas. Berdasarkan sabda Nabi
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ
“Anak itu milik pemilik kasur (ibunya) sedangkan lelaki pezina baginya adalah batu (dirajam)”.[16]
Adapun dalil larangan dalam menggaulinya sampai ia melahirkan adalah berdasar sabda Rasulullah
لا يَحِلُّ لامرِئٍ يؤمِنُ باللهِ واليومِ الآخِرِ أن يَسْقِيَ ماءَه زَرْعَ غيْرِه
“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain, yaitu menggauli wanita-wanita yang sedang hamil”.[17]
Sedangkan menurut mazhab Maliki[18] dan Hambali[19], tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina, sampai wanita tersebut melahirkan.[20] Alasan yang mendasari pendapat tersebut adalah:
1. Wanita yang sedang hamil akibat zina, memiliki masa iddah sebagaimana wanita yang sedang hamil dari perkawinan yang sah atau ditinggal suaminya. Oleh karena itu, ia tidak sah dinikahi sebelum habis masa iddahnya.
Sebagaimana firman Allah ﷻ
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا
“Dan wanita dari kalangan kamu yang putus asa dari haid, jika kamu ragu, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan, demikian pula ‘iddah wanita yang sudah tidak berhaid. Dan adapun wanita yang mengandung maka ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan memudahkan baginya segala urusannya.”[21]
2. Karena menikahi wanita yang hamil, maka dikhawatirkan akan terjadi percampuran sperma antara laki-laki yang menzinainya dengan laki-laki yang akan menikahinya. Sementara Rasulullah bersabda
لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره يعني إتيان الحبالى
“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain, yaitu menggauli wanita-wanita yang sedang hamil”.[22]
Juga hadits yang diriwayatkan al-Hakim
لا تُوطَأُ حَامِلٌ حتى تَضَعَ
“Jangan menggauli wanita hamil sampai ia melahirkan.”[23]
Pernikahan dengan pria yang menghamilinya.
Para ulama sepakat bahwa pernikahan wanita dengan pria yang menghamilinya adalah sah.[24] Jika ulama sepakat bahwa pernikahannya sah, maka mereka juga boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami istri. Sebab wanita yang hamil karena zina tidak termasuk wanita yang haram untuk dinikahi.
Hal ini juga selaras dengan Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, pada Bab VIII, Pasal 53 menetapkan bahwa:[25]
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Kedudukan Anak Hasil Zina
Menurut penjelasan Syeikh Wahbah Zuhaili, apabila wanita yang hamil tersebut melahirkan setelah jangka enam bulan dari pernikahannya, maka kedudukan anak tersebut bisa dinasabkan kepada suaminya.
Akan tetapi jika kurang dari itu maka anak yang dilahirkan tidak bisa dinasabkan ke suaminya dan ia termasuk anak hasil zina.[26]
Sesuai kesepakatan jumhur ulama juga, salah satunya fatwa yang dikeluarkan dari Lajnah as-Syabakah al-Islamiyah bahwa anak yang lahir dari hasil dari zina, maka ia tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya dan juga tidak bisa saling mewarisi. [27]
Hal yang demikian juga kesimpulan dari Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, dalam Ketentuan Hukum, No 1, 2, 5 dan 6, menetapkan bahwa:[28]
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
4. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Kesimpulan
Nikah merupakan satu syariat yang Allah ﷻ turunkan kepada hamba-Nya dengan tujuan untuk menjaga keturunan. Sedangkan zina adalah larangan dari Allah ﷻ yang harus dijauhi karena merupakan perbuatan yang keji dan akan merusak alur keturunan.
Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi pernikahan wanita yang hamil karena zina. Jika wanita tersebut dinikahi oleh selain pria yang menghamilinya, maka ada dua pendapat; yang pertama dibolehkan namun tidak boleh digauli sampai melahirkan, pendapat kedua tidak dibolehkan sampai wanita tersebut melahirkan.
Adapun jika yang menikahinya adalah pria yang menghamili, maka jumhur ulama sepakat akan kebolehannya.
Adapun tentang status anak, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Wahbah Zuhaiili (9/6648) menyebutkan jika anak tersebut lahir setelah enam bulan dihitung dari akad nikah yang sah, maka bisa dinasabkan kepada ayahnya.
Sedangkan kurang daripada itu, maka menunjukkan bahwa wanita tersebut telah hamil sebelum nikah secara sah dan anak tersebut dianggap sebagai anak hasil zina dan tidak bisa dinasabkan kecuali ada pengakuan dari sang ayah bahwa itu anaknya. Wallahu a’lam.
Referensi
[1] https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6527707/heboh-ratusan-remaja-ponorogo-hamil-di-luar-nikah-pakar-gizi-soroti-risikonya
[2] Muhammad Hasan Abdul Ghaffar, Durus as-Syaikh Muhammad Hasan Abdul Ghaffar, 1432 H, http://www.islamweb.net
[3] Abu Thahir bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2005), cet. 8, hal. 246
[4] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar as-Shadir, 1414 H), cet. 3, vol, 2, hal. 626
[5] Ahmad Ali Thaha Riyan, Fiqih al-Usrah, hal. 76
[6] Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Dar al-Hadits: 2004 M), vol. 3, hal. 64
[7] Ibid, vol. 3,hal. 64
[8] As-Syafi’i Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’, al-Umm, (Beirut, Dar al-Ma’rifah: 1990 M), vol. 5, hal. 158
[9] Q.S An-Nur: 32
[10] Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amir al-Ashbahi, al-Mudawwanah, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah: 1994 M), vol. 2, hal. 173
[11] Abu Zakariya Muhyi ad-Din Yahya bin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, (Dar al-Fikr), vol. 16, hal. 241
[12] Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, op.cit, vol. 2, hal. 269
[13] Wahbah az-Zuhaili, op.cit, vol. 9, hal. 6649
[14] Selain dari perempuan yang disebutkan dalam ayat ke-23, diantaranya adalah ibu, anak, saudara perempuan, sepersusuan, dan yang lainnya.
[15] Q.S An-Nisa’: 24
[16] H.R Bukhari: 1912
[17] Sunan Abu Dawud: 1844
[18] Malik bin Anas, loc.cit, vol. 2, hal. 173
[19] Manshur bin Yunus bin Shalahuddin bin Hasan bin Idris al-Baihaqi, Kasyfu al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah), vol. 5, hal. 83
[20] Wahbah az-Zuhaili, op.cit, vol. 9, hal. 6650
[21] Q.S At-Thalaq: 4
[22] Sunan Abu Dawud: 1844
[23] al-Hakim: 212
[24] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyah, op.cit, vol. 16, hal. 273
[25] Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya. – Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2011.
[26] Wahbah az-Zuhaili, op.cit, vol. 9, hal. 6648
[27] Lajnah al-Fatawa bi as-Syabakah al-Islamiyah, Fatwa as-Syabakah al-Islamiyah, 2009 M, vol. 13, hal. 6257
[28] Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), Nomor: 11 Tahun 2012, (Jakarta; 10 Maret 2012 M)