Oleh: Abdurrahman al-Ghazi
Beberapa dekade terakhir ini, istilah jihad kembali memenuhi ruang publik dan menjadi topik pembicaraan umum, setelah beberapa lama istilah ini menjadi asing dan nyaris hilang. Tepatnya yaitu sejak runtuhnya khilafah Islamiyyah di Turki. Hal ini disebabkan kaum muslimin telah tersadarkan akan betapa pentingnya jihad dalam Islam. Terutama pasca invasi Uni Soviet terhadap bumi Afghanistan[1] yang memicu hadirnya ribuan pemuda Islam dari berbagai penjuru dunian untuk mengamalkaan kembali kewajiban jihad yang sekian lama telah terlupakan.
Selanjutnya amal nyata jihad pun memasuki fase perkembangan dengan adanya banyak perbaikan di sana-sini oleh para ulama’ dan penuntut ilmu yang juga ikut andil dalam barisan jihad, yang secara global dipimpin oleh tandzim al-Qaeda selaku organisasi jihad terbesar di dunia.[2] Tentunya dengan situasi yang terus berubah, amaliyah jihad juga berhadapan dengan perkara-perkara nawazil yang sebelumnya sama sekali belum pernah ditemukan dalam sejarah Islam. dan sudah semestinya harus dikaji status hukumnya dalam pandangan syar’i.
Salah satu fenomena yang merupakan perkara nawazil dalam jihad adalah mengenai status sebuah jama’ah jihad yang bekerja sama dengan kaum nasionalis untuk menghalau serangan musuh. Contoh paling nyata dari hal ini adalah apa yang terjadi di Suriah, dimana kelompok nasionalis sekuler FSA ikut serta dalam jihad.[3] Dan menariknya antara kelompok mujahidin yang bermanhaj salafusshaleh bisa melakukan kerja sama yang hebat dengan wujud melakukan kordinasi serangan guna menghajar rezim thaghut Assad.[4]
Padahal ini merupakan perkara sensitif dikalangan kaum mujahidin, yang karena betapa sensitifnya hal ini tidak jarang kita dapati sebagian kelompok jihad ada yang sampai mengkafirkan saudaranya sesama mujahid, hanya karena ia bersedia melakukan kerja sama dengan kaum nasionalis dalam amaliyah jihadnya. Oleh karena itulah penulis terdorong untuk mengkaji hal ini secara utuh, agar jangan sampai ada kesalah pahaman dalam memandang perkara yang satu ini. Sehingga kita dapat mendudukkannya sesuai dengan tuntunan syari’at.
Definisi Nasionalis
Nasionalis artinya pecinta nusa dan bangsanya sendiri,[5], asal katanya adalah Nation berasal dari bahasa latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan disuatu daerah yang sama” (group of people born ini the same place) (Ritter, 1986:286). Dan bila diberi imbuhan isme maka bermakna; paham atau ajaran untuk mecintai bangsa dan negara sendiri.[6]
Dalil-Dalil
- Dari al-Qur’an al-Karim:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ :39
Artinya: Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Anfal: 39)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ :162-163
Artinya:katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (QS. Al-An’am: 162-163)
- Dari as-Sunnah as-Syarif:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَته جَاهِلِيَّةٌ
” Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa keluar dari ketaatan dan tidak mau bergabung dengan Jama’ah kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah. Dan barangsiapa mati di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau karena ingin menolong kebangsaan kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
MAU INVESTASI YANG NGGAK PERNAH RUGI? KLIK DISINI…!
Pendapat Para Ulama’ Mengenai Faham Nasionalisme
Berdasarkan definisi-definisi nasionalisme diatas, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang berfaham nasionalis telah melakukan suatu amalan kufur, karena secara otomatis dia akan berjuang, membela, dan berperang bukan atas dasar iman. Namun berdasarkan kesukuan, bangsa dan negara. Oleh karenanya para ulama menyimpulkan bahwa nasionalisme adalah paham kufur yang dapat membahayakan akidah seorang muslim.
Diantaranya adalah pernyataan syaikh Muhammad Said Al-Qahthani dalam tesisnya yang berjudul “Al Wala’ wal Al Bara’,” beliau mengatakan: “Bahwa Nasionalisme merupakan salah satu bentuk kesyirikan, karena dia akan menuntut seseorang untuk berjuang membelanya, dan membenci setiap kelompok yang menjadi musuhnya – tanpa melihat muslim atau tidak-, dengan demikian secara tidak langsung ia telah menjadikannya sebagai tandingan Allah”.[7]
Bahkan Ustadz Muhammad Qutb meletakkan faham Nasionalisme sejajar dengan faham-faham sesat lainnya seperti komunisme, sekulerisme, demokratisme, yang notabenenya bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karenanya wajar apabila beliau mengkategorikannya sebagai salah satu yang bisa membatalkan ke-Islaman seseorang. Beliau beralasan, bahwa paham – paham itu mengajarkan pengikutnya untuk memisahkan Islam dari kehidupan nyata.[8]
Ustadz Abul A’la al Maududi di dalam salah satu karya tulisnya, beliau menolak digabungkannya antara Islam dengan faham Nasionalisme. Berarti, penulis asal Pakistan ini tidak menyetujui seseorang yang mengatakan muslim nasionalis, karena kedua-duanya tidak bisa bertemu. [9] Hal senada juga dinyatakan oleh Syaikh Abdullah Nashih Ulwan hafidhahullah.[10]
Sejarah Munculnya Fenomena Jihad Bersama Kaum Nasionalis
Ketika kita ingin berbicara mengenai kapan awal mula terjadinya kasus dimana mujahidin berjihad bersama dengan kaum nasionalis tentu kita juga harus lebih dahulu tahu kapan paham nasionalisme itu masuk kenegeri-negeri Islam. paham nasionalisme mulai tersebar di tengah-tengah kaum muslimin semenjak periode akhir dari khilafah Utsmani di Turki, paham ini sengaja di sebarkan oleh orang-orang Yahudi-Zionis untuk menghapus dan merusak walaa’ dan Bara’ yang menancap di hati kaum muslimin ketika itu. Supaya rencana Zionis untuk mengkotak-kotakkan wilayah Islam dapat berjalan lancar.[11]
Merekapun berusaha memasukkan ide-ide kebangsaan dan nasionalisme ke benak kaum muslimin dan berhasil, mulailah sejarah mencatat munculnya kelompok kaum muslimin yang berpaham nasionalisme. Yang memiliki semangat membela tanah air dan menjaga keutuhannya. Hal ini menjadi sebuah masalah yang pelik ketika terjadi agresi dari pihak musuh yang kafir seperti Belanda, Jepang, Inggris, Perancis, Rusia dan Amerika. Karena pasti akan terjadi tarik menarik ideologi antara kedua kubu tersebut, yaitu mengenai ideologi siapakah yang akan menjadi dasar negara. Berikut diantara fakta kasus Jihad yang didalamnya mujahidin pernah bekerja sama dengan kaum nasionalis dalam mengusir Musuh:
- Kaum mujahidin Indonesia di wakili oleh para pejuang Islam seperti; Kartosuwiryo, Kahhar Muzakkar, Hadhratus Syaikh Hasyim ‘Asy’ari dan lain-lain bekerja sama mengusir belanda dan jepang dengan kubu nasionalis seperti Sukarno, Muhammad Hatta dan lain-lain. (1940-1950)[12]
- Mujahidin Palestina berjuang bersama kaum nasionalis di dalam wadah PLO, sebuah organisasi nasionalis Palestina yang bercita-cita memerdekakan Palestina dari penjajah israel. (1960-1970).[13] [14]
- Kaum mujahidin Afghanistan dibawah organisasi Ettihaad Islami dan Hizb Islami dengan tokoh semisal Abdurrabbi Rasul Sayyaf dan Gulbuddin Hikmatyar bekerja sama dengan Rabbani dan ahmad syah mas’oud sebagai wakil dari pihak nasionalis dalam rangka mengusir penjajah Uni Soviyet. (1980-1990)[15]
- Mujahidin Suriah yang diwakili oleh Jabhah Nushrah dengan Jaisyul Fathnya dan Ahrar Syam dengan Jaisyul Islamnya biasa bekerja sama dalam satu ghurfah ‘amaliyah dengan Jaisyul Hurr atau FSA. (2011-hari ini).[16]
Hakikat Dan Status Kaum Nasionalis Hari Ini
Setelah mengetahui hakikat sebenarnya paham nasionalisme sesuai dalam Islam, sekarang apakah para penganut paham nasionalis dari kaum muslimin itu harus kita sikapi dengan hukum asal dari menganut paham nasionalis, yang oleh para ulama’ dikategorikan sebagai paham kufur dan merupakan amalan pembatal keislaman? Karena faktanya tidak sedikit dari kaum muslimin yang memukul rata semua penganut paham nasionalis dengan vonis kafir.
Diantara fakta yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi adalah apa yang dinyatakan oleh Jama’ah Daulatul Islamiyyah yang mengkafirkan organisasi FSA, gerakan oposisi Suriah yang aktif memerangi rezim Assad. Salah satu sebab dikafirkannya mereka adalah karena mereka berjuang dengan berdasarkan semangat nasioalisme.[17]
Mengenai benar dan tidaknya sikap daulah terhadap FSA menurut syar’i, atau terhadap kelompok Islam nasionalis manapun, akan lebih baiknya jika kita kaji kembali manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dalam persoalan takfir,[18] yang secara garis besarnya ahlus sunnah waljama’ah meyakini bahwa adanya takfir mutlak yang umum itu tidak mengharuskan untuk memfonis kafir secara ta’yin, jika masih ada penghalang dan belum terpenuhinya syarat-syaratnya.[19]
Dan nasionalisme yang dipahami oleh kaum muslimin hari ini apakah seratus persen persis seperti pemahaman kaum nasionalis sebenarnya, maknanya disini harus ada upaya tahqiqul manath[20] yang tepat sebelum memberikan sebuah stempel kepada saudara seiman. Dan kalau kita perhatikan dengan lebih detail, ada beberapa kesamaan dalam hal ini dengan beberapa istilah-istilah kontemporer lainnya yang juga menjadi polemik bagi ummat Islam akan status pelakunya, semisal demokrasi dan sejenisnya.
Syaikh Abul Walid al-Ghazzi al-Anshari[21] menjelaskan bahwa perkara-perkara ini membutuhkan kejelian yang mendalam dari seorang ‘alim untuk menentukan status pelakunya. Beliau menjelaskan, “Sesungguhnya dalam usaha melawan kemungkaran itu ada tahapannya, dan seseorang tidak dibebani hal ini kecuali pada hal yang ia mampu saja. Memang wajib bagi kita mengajak manusia kepada tujuan utama dan terbesar kita yaitu menjadikan seluruh agama hanya milik Allah semata, maksudnya adalah Islam menjadi pengatur seluruh ucapan dan tingkah laku manusia.
Namun kebanyakan manusia hari ini bodoh terhadap hakikat agama Islam. Walaupun ia biasa shalat, shaum dan tilawah al-qur’an, tetapi kalau ada orang yang mencela Islam muncul ghirahnya untuk melawannya, dan pada waktu yang sama pula ia sangat bodoh dalam memahami makna lafal-lafal Syar’i semisal ‘seluruh hukum hanyalah milik Allah’ atau ‘hendaklah kepemimpinan ummat harus berdasarkan syari’at dan al-Qur’an’.”[22]
Sehingga tidak serta merta kita dapat mengkafirkan seorang muslim yang menganut paham nasionalisme, walau memang kita yakini bahwa paham nasionalisme merupakan paham kufur yang bersumber dari barat untuk memecah belah kaum muslimin,[23] namun generalisasi dalam hal ini sangat tidak dibenarkan. Ibnu Qayyim berkata dalam Al- Kafiyah Asy-Syafiyah dalam menjelaskan bahaya generalisasi dan meninggalkan perincian yang merupakan jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari ahli sunnah dan para pengikut mereka :
Hendaknya engkau merinci dan memisah-misahkan
Karena generalisasi dan hitungan global itu bukan penjelasan
Tindakan seperti itu telah merusak
Dan merendahkan akal dan pikiran setiap zaman.[24]
Ada juga yang memahami Islam itu secara globalnya saja, dan bodoh terhadap hal-hal detail didalamnya. Seperti orang-orang yang menyeru kepada demokrasi tetapi tidak paham makna dasar yang menjadi asasnya yaitu menjadikan suara rakyat sebagai hukum yang dapat menandingi hukum Allah, ia tidak sampai membahas mana yang harus di dahulukan, syari’at Allah atau pendapat manusia, atau hukum berhukum dengan hukum Islam sesekali waktu lalu berganti dengan hukum yang lain di waktu yang lain. Yang ia pahami dan inginkan ialah kebebasan, keadilan dan terpenuhinya hak-hak setiap orang dimana itu semua merupakan lawan dari penindassan dan kedzaliman yang dialami oleh dunia Islam.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa nasionalisme Barat merupakan hal yang masih samar bagi banyak pihak dari kalangan ummat Islam, selain memang karena nasionalisme itu memiliki 2 makna; pertama makna buruk yang bertentangan dengan syari’at, yaitu seperti rusaknya wala’ dan bara’ yang diakibatkan oleh paham ini berupa hanya memberikan pembelaan, pertolongan dan kecintaan kepada saudara setanah air. Kedua; makna terpuji, berupa, pengorbanan pembelaan, anti penjajahan, rela bekerja untuk rakyat dan lain sebagainya yang sudah tidak ada perselisihan lagi akan adanya nilai-nilai kebaikan di dalamnya.
Halmana terkadang dari satu unsur yang ada diatas bisa sesuai dengan syariat bisa pula menyelisihinya, misalnya, doktrin pembelaan kepada tanah air. Diantara Yang bertentangan dengan syariat adalah pembelaan kepada tanah air yang tidak merupakan negeri Islam. Sedangkan yang sesuai dengan syariat adalah ketika pembelaan itu diberikan kepada tanah air yang merupakan negeri kaum muslimin dan merupakan warisan dari para sahabat, tabi’in atau para ulama’.
Maksudnya, sebenarnya banyak sekali orang yang ingin menerapkan hal-hal baik ini, hanya saja mereka mengungkapkannya dengan bahasa umum tadi karena memang itulah yang populer dikalangan umum, atau karena ia tidak tahu bahwa lafal-lafal itu mengandung makna buruk, atau ia tidak tahu kalau kalimat yang mengandung makna buruk itu menyelisihi syari’at, atau ia tidak tahu kalau Syariat juga datang untuk merealisasikan nilai-nilai kebaikan ini, bahkan dengan hal yang lebih indah darinya. Dimana hal ini kembali pada kurangnya penjelasan tentang nilai-nilai syari’at yang mulia ini kepada ummat manusia. Tentunya ini merupakan kewajiban para ahli ilmu dan para dai yang menyeru ke jalan Allah ta’ala.
Mengapa kita harus mempelajari masalah-masalah ini secara mendetail, karena memang kita disyari’atkan untuk menjaga maslahat ummat secara umum, dan semua ini menghajatkan kepada pengetahuan yang komplek terhadap manathul hukmi,[25] sehingga kita dapat lebih bijak dalam membina ummat yang sedang hidup dalam kondisi yang sangat jauh dari syari’at. Dimana hal ini akan menjadikan mereka mendapatkan sebuah udzur yaitu udzur jahl, hal ini disebabkan oleh diantaranya; merebaknya kebodohan, sedikitnya ahli ilmu, kedhaliman merajalela sehingga menghalangi sampainya kebenaran kepada manusia dan jauhnya ummat dari kepemimpinan syar’i.
Memang perlawanan rakyat selalu dipantik oleh luapan kemarahan akibat kedzaliman rezim atau penjajahan dari musuh eksternal. Kedua faktor ini menjadi pemersatu yang ampuh. Dalam perjalanan kemudian, muncul tarik menarik ideologi yang akan dijadikan pemersatu setelah tumbangnya kedzaliman atau kalahnya musuh. Biasanya, jika mayoritas rakyat beragama Islam, tarik menariknya antara ideologi Islam dengan ideologi kebangsaan (nasionalisme).
Tarik menarik ini pernah dialami rakyat Indonesia menjelang kemerdekaan, antara nasionalisme dan Islam, pergumulan ini berlangsung panas namun ujungnya yang menang adalah nasionalisme. Inilah yang disesali aktivis Islam hingga kini, sebab para pejuang kemerdekaan pekik semangatnya adalah takbir, membesarkan Allah demi meraih kemerdekaan.
Adapun Suriah, yang juga sedang mengalaminya. Ada beberapa hal yang membedakan antara kasus Indonesia pra kemerdekaan dengan revolusi Suriah hari ini, situasi dan kondisi membuat Suriah lebih mudah dimenangkan oleh visi Islam, bukan nasionalisme. Perbedaan itu ialah:
Pertama, musuh yang dihadapi rakyat sudah bergeser, bukan lagi murni kezaliman rezim, tapi lebih pada ideologi Syi’ah yang dianut rezim. Maknanya, bukan lagi perlawanan kebangsaan, tapi perlawanan ideologi.
Kedua, rezim Bashar sebagai musuh rakyat didukung oleh solidaritas Syi’ah secara terbuka di kawasan. Mau tidak mau, rakyat Suriah berpaling kepada ummat Islam (sunni). Mindset mereka tanpa sadar terbentuk, bahwa mereka sedang diperangi Syi’ah karena kesunniannya.
Ketiga, hadirnya solidaritas lintas batas dari mujahidin asing yang berduyun-duyun masuk Suriah dan berpihak kepada rakyat Suriah. Kehadiran mereka juga turut memberi warna, bahwa pergolakan Suriah sudah menjadi milik ummat, bukan lagi milik bangsa Suriah.[26]
Sehingga setelah kita lihat duduk permasalahan mengenai Islam Nasionalis dengan metode tahqiqul manath diatas maka dalam menentukan hukum berjihad dengan kaum Islam nasionalis, kita dapat menqiyaskan[27] keadaan ini dengan kajian para ulama’ salaf maupun khalaf mengenai hukum jihad bersama orang kafir, sehingga dalam proses istinbathul hukminya kita dapat urut sesuai urutan yang telah ditentukan oleh syariat, yaitu dengan dasar bahwa nasionalisme adalah paham kufur. Sehingga untuk menghukuminya kita juga harus tegas mengatakan kekufuran faham nasionalisme. Adapun status kaum muslimin yang menganut paham nasionalisme tidak dapat kita pukul rata sebagai orang kafir, mengingat keberagaman mereka dalam memahami arti nasionalisme itu sendiri, sesuai dengan tingkat pengaruhnya dalam menimbulkan bahaya terhadap barisan kaum muslimin semisal, tajassus ikutnya para aimmatul kufr dalam jihad yang mereka itu seharusnya diperangi, dan hilangnya buah jihad berupa tegaknya syariat Allah di muka bumi.
Baca Juga:
Hukum Jihad Bersama Orang Kafir
Setelah kita menemukan kesimpulan bahwa hukum berjihad dengan kelompok Islam nasionalis itu diqiyaskan dengan hukum jihad orang kafir, maka kita perlu untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama’ mengenai hal tersebut. Dan disini kami hanya akan mencantumkan kesimpulan akhir para ulama’ kontemporer mengenai hal ini, tentu karena pertimbangan keterbatasan tempat.
Ulama kontemporer seperti Yusuf Qordhowi[28] dan Robi’ Ath-Thuraiqi[29] mereka memberikan kesimpulan dari pendapat para ulama yang berbeda-beda, mereka mengambil jalan keluar dengan cara menggabungkan dalil-dalil yang ada sehingga hasilnya adalah boleh meminta bantuan kepada orang kafir tetapi dengan beberapa syarat dan ketentuan, tidak dalam semua situasi dan kondisi, adapun syarat yang mereka sebutkan adalah:
- Adanya kebutuhan yang mendesak untuk melakukan hal itu, karena jika tidak ada kebutuhan untuk melakukan hal ini seperti banyaknya jumlah pasukan dan kekuatan yang dimiliki oleh kaum musllimin, yang dengannya diperkirakan akan mampu mengalahkan musuh,-tentunya dengan sunnatullah dan sebab-sebabnya- maka tidak dibolehkan meminta bantuan kepada mereka.[30]
- Adanya rasa tenang pada diri kaum Muslimin terhadap orang yang akan dimintai pertolongan (orang kafir) Karena tabiatnya orang kafir itu adalah pendusta dan tidak bisa dipercaya, mereka juga punya keinginan untuk menghancurkan kaum Musliminm, sehingga jika tidak ada kejelasan yang nyata tentang orang kafir yang dimintai pertolongan, maka ini tidak dibolehkan sebagai bentuk kehati-hatian, akan tetapi jika orang kafirnya sudah jelas keperibadiannya bahwa dia bisa dipercaya maka ini tidak mengapa.[31]
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi terhadap Shofwan bin Umayyah, Karena Nabi mengetahui bahwa pada diri Shofwan terdapat loyal yang lebih kuat terhadap suku daripada watsaniyah (teman menyembah patung), sehingga Nabi tidak ragu lagi untuk meminta bantuan kepada beliau.[32]
- Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh memiliki misi dakwah, mengajak kaum Muslimin kedalam agamanya, karena hal ini bisa merusak akal dan membingungkan kaum Muslimin, padahal mereka sangat membutuhkan kepada kuatnya keimanan, keyakinan dan bersatunya barisan, sehingga jika tampak seruan dari orang kafir kepada kuam Muslimin untuk mengikuti agamanya, maka orang kafir tersebut harus segera disingkirkan dari barisan dan dijauhkan dari kam Muslimin, hal ini berlandaskan kepada sebuah kaidah “dar’u al-mafsadah mukoddam ala jalbi al-masholih” [33](mencegah kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil mashlahat)
- Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh menduduki posisi tertinggi sehingga bisa mengatur seluruh gerak kaum Muslimin dengan sekehendaknya.
- Dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disebutkan diatas, seyogyanya bagi kaum Muslimin untuk membatasi diri dari meminta bantuan kepada orang kafir hanya pada kondisi terdesak saja sebagai bentuk kehati-hatian terhadap mereka, karena Allah berfirman: “wahai orang-orang yang beriman berhati-hatilah kalian” (QS:An-Nisa’:71), dan karena orang kafir itu tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang musllim berupa keimanan dan loyalitas, sehingga tidak bisa diremehkan untuk selalu berhati-hati dari kejahatan mereka baik seikit ataupun banyak.
Maksud penulis mencantumkan hukum berjihad dengan orang kafir disini adalah, bahwa hukum berjihad dengan orang kafir ketika kondisinya benar-benar membutuhkannya saja dibolehkan, maka tentu lebih dibolehkan berjihad dengan orang muslim yang mengamalkan sebuah kekufuran seperti nasionalisme dengan dasar ketidaktahuan, dimana kalangan akademisi mereka saja tidak tahu hakikat nasionalisme itu menurut syariat.[34]
Kesimpulan
Setelah kita menelaah pendapat para ulama’ kontemporer mengenai hukum paham nasionalis, mengetahui bahwa ia merupakan paham yang dapat merusak aqidah seorang muslim, dan bahwa ia merupakan paham kufur yang dapat menyebabkan seorang muslim yang berpaham nasionalis menjadi kafir, maka penulis menyimpulkan bahwa hukum berjihad dengan kaum Islam nasioalis adalah seperti hukum berjihad dengan orang kafir yang dhawabith, ketentuan teknis serta rambu-rambunya telah dijelaskan oleh para ulama’ kaum muslimin, sebagaimana tersebut diatas. Tentu tanpa menganggap setiap person yang berpaham nasionalisme itu statusnya adalah orang kafir, karena untuk sampai kepada vonis semacam hal itu membutuhkan penelitian lebih lanjut sampai syarat-syaratnya benar-benar terpenuhi dan hilangnya semua penghalang yang menghalanginya.[35]
Adapun jika memang kasus ini benar-benar terjadi suatu saat nanti, sudah selayaknya para mujahidin benar-benar peka dan harus terus melakukan upaya-upaya agar buah jihad dapat dinikmati ketika siap untuk dipetik, diantara langkah konkritnya adalah:
- Senantiasa memberikan arahan dan bimbingan yang baik terhadap sesama kelompok pejuang bersenjata lainnya agar arah perjuangan benar-benar murni dalam rangka jihad fi sabilillah. Dan bahwa tujuan perjuangan ini adalah demi tegaknya syari’at Allah di muka bumi.
- Menjelaskan dengan baik bahaya ta’asshub kesukuan, kebangsaan, dan tanah air yang menyelisihi syari’at, dan menerangkan letak kekufuran dari paham nasionalisme.
- Memberikan contoh yang baik dalam ketaatan terhadap syari’at dan keberanian serta kehebatan dalam memukul musuh. Agar nampak bahwa Izzah itu hanya dimiliki oleh orang beriman dan kehinaan itu adalah milik orang-orang kafir.
- Senantiasa memberikan dukungan, pengukuhan, apresiasi dan ucapan terima kasih atas setiap operasi dan pernyataan mereka yang sesuai dengan syari’at. Dan mengingatkat kesalahan mereka dengan adab ilmu dan hikmah tanpa ada unsur kedengkian pribadi.
- Menghindari kontak senjata dengan mereka semampunya, dan bila terpaksa harus terjadi, pastikan bahwa itu merupakan upaya untuk membela diri.[36] Wallahu A’lam!
Baca Juga:
[1] Abu mush’ab As-Suri, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002), (Solo, Jazera, Cet IV, Mei, 2010) hal. 70
[2] Jenifer Cafarella, Jabhat al-Nushra in Syiria and Islamic Emirat for al-Qaeda, (United States of America, Institute for the Study of War, Desember, 2014) hal. 19
[3] Ibid. hlm.17
[4] Ibid
[5] Departemen Pendidikan Nasional, KBBI, (Jakarta, Balai Pustaka, 2003), hlm. 775
[6] Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukkan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau atau berbahasa sama; sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986: 295).
Namun sejak revolusi perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme mengalami berbagai perubahan, sebab kondisi yang melatar belakanginya amat beragam. Antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Nasionalisme bukan lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi label perjuangan di negara-negara Asia-Afrika yang dijajah Barat.
Keragaman makna itu dapat dilihat dari sejumlah pendapat berikut. Smith (1979: 1) memaknai nasionalisme sebagai gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja. Snyder (1964: 23) sementara itu memaknai nasionalisme sebagai satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu. Sementara itu Carlton Hayes, seperti dikutip Snyder (1964: 24) membedakan empat arti nasionalisme:
- Sebagai proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium kelembagaan negara nasional modern.
- Sebagai suatu teori, prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah aktual.
- Nasionalisme menaruh kepedulian terhadap kegiatan-kegitan politik, seperti kegiatan partai politik tertentu, penggabungan proses historis dan satu teori politik.
- Sebagai satu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.
Boyd Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut:
- Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme.
- Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.
- Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya.
- Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan demi bangsa itu sendiri.
Kendati ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971:9) menggarisbawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu “a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state” (sikap mental, di mana kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan kepada negara bangsa). (Drs. Sutardjo Adi Susilo, Nasionalisme, Jogja, 2009), hal. 5
[7] Muhammad Sa’id Al Qohthoni, Al Wala’ wal Bara’, ( Beirut, Darut Toyyibah, 1409), hal. 42
[8] Muhammad Qutb, Lailaha illallah Aqidatan wa syari’atan, hal. 140
[9] Abul A’la Al Maududi, Ummatul Islam Waqodhiyatul Qaumiyyah, Hal. 174
[10] Beliau mengatakan bahwa prinsip-prinsip nasionalisme itu bertentangan dengan Islam dari beberapa sisi, yaitu:
- Karena ia merupakan faham yang berasal dari luar Islam dan tidak ada hubungannya dengan aqidah Islam sama sekali.
- Karena unsur ashabiyyah dan seruan jahiliyyah yang ada di dalamnya.
- Karena bertentangan dengan prinsip ukhuwah Islamiyah.
- Bertentangan dengan prinsip ketundukan terhadap hukum Islam.
- Bertentangan dengan prinsip peradaban Islam.
[11] Abdullah Nashih Ulwan, al-Qaumiyyah fi Mizanil Islam, ( Kairo, Dar As-Salam) hal. 5
[12] Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad_Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), (Tangerang, Pustaka Compass, Cet. 3, November, 2014 M) hlm. 104
[13] Syaikh Abdullah ‘Azzam rahimahullah pernah menceritakan pengalamannya selama mengikuti organisasi PLO ini, dan itu termaktub didalam kitab Tarbiah jihadiah.
[14] Syaikh DR. Abdullah Azzam, Tarbiyah Jihadiyah, (Solo, Jazera, jilid 4, April, 2013) hlm. 458
[15] Syaikh DR. Abdullah Azzam, Tarbiyah Jihadiyah, (Solo, Jazera, jilid 13, cet.1, Februari, 2015) hlm. 230
[16] Jenifer Cafarella, Jabhat al-Nushra in Syiria and Islamic Emirat for al-Qaeda, (United States of America, Institute for the Study of War, Desember, 2014) hlm. 18
[17] “Sekutu-sekutu al-Qaidah di Syam” dalam Majalah Dabiq, edisi. 10, Ramadhan 1436, hlm. 7
[18] Takfir ialah: penyematan fonis kafir oleh seorang qadhi terhadap orang Islam yang melakukan amalan pembatal keislaman atau amalan-amalan kufur lainnya. Lihat Abdul Mn’im Musthafa Halimah Abu Bashir, di dalam al-Qawa’id fit Takfir.
[19] Syaikhul Islam Ibnu taymiyyah, Fatawa al-Kubra, (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyyah, jilid. 5, Cet. 1, 1408 H/1887 M) Hlm. 283,
[20] Tahqiq adalah upaya untuk mengidentifikasi satu masalah, sedangkan manath adalah objek penerapan hukum. Tahqiq al-manath adalah upaya seorang mujtahid untuk mengidentifikasi dan memverifikasi subtansi objek hukum, untuk menghindari terjadinya kesalahan teknis penyesuain antara satu hukum dengan obyeknya. Hal ini menghendaki adanya teknis-teknis ilmiah yang memisahkan apa yang masuk ke dalam kategori obyek hukum dan yang tidak. Sebab satu realita tertentu memiliki komponen-komponen, karakter-karakter, motivasi, dan implikasi tertentu. Tanpa pengetahuan yang mendalam mengenai subtansi obyek hukum seperti itu dikhawatirkan terjadinya aplikasi hukum yang tidak diinginkan agama atau ada kemungkinan tidak terjadinya aplikasi hukum sementara obyek dan logika (illat) sudah eksis. Lihat, al-Ijtihad bi Tahqiq al-Manath, Abdurrahman Zaaidy, Darul Hadits, Kairo, 1426 H/2005 M.
[21] Penanggung jawab syar’i Jabhat Nushrah, beliau banyak menulis risalah-risalah yang membangun fikrah jihad dan banyak mengoreksi berbagai kesalahan yang dilakukan oleh kalangan mujahidin.
[22] Abul Walid al-Ghazzi al-Anshari. “Risalah syamiyah”. Dalam Rasail tsughur, vol: 13, hlm. 6
[23] Abdullah Nashih Ulwan, al-Qaumiyyah fi Mizanil Islam, ( Kairo, Dar As-Salam) hal. 5
[24] Abu Qatadah al-Filisthini, Thali’ah Ar-Radd ‘ala Kitab Al-Jami’, (Solo, Jazera, Cet. 1, Juli, 2015) hal. 267
[25] Objek dari sebuah upaya penilitian (tahqiqul manath) yang dilakukan oleh seorang mujtahid.
[26] Abu Zahid, “Islamisasi Revolusi Arab” Dalam majalah An-Najah, edisi.97, Safar-Rabiul Awwal, 1435 H/ Desember, 2013.
[27] Qiyas adalah proses dalam menyimpulkan suatu hukum dengan cara membandingkan kesamaan antara dua ‘illat yang terdapat dalam perkara kontemporer dengan perkara pokoknya. Lalu menyamakan hukumnya jika ‘illatnya memang sama. Lihat: Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hlm. 56.
[28] Yusuf Qordhowi, Fikih jihad, (Kairo: Maktabah Wahbah).vol 1 hlm. 806
[29] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin Fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts Wa Al-Iftaa wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H) hlm. 270
[30] Ibid, hlm. 112
[31] Imam Nawawi, Minhaj Ath-Tholibin wa Umdatu Al-Muftin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah) vol.4 hal. 221
[32] Lafadz yang menunjukan loyalnya Shofwan kepada Rasulullah adalah:
“لأن يربني رجل من قريش – يعني محمد –خير من أن يربني رجل من هوازن”
H.R Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/388), Ibnu Hiban dalam As-Sair (11/95), Al-Arnaut mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan, dan diriwayatkan juga oleh Al-Baihaki dalam kitab pembagian fai’ dan ghonimah (6/370) dari jalur Jabir bin Abdillah. Syarat seperti ini juga dijselaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (13/98).
[33] Muhamad Sulaiman Al-Asyqor, Al-Wadih Fi Ushul Fiqih Li Al-Mubtadiin, (Qohiroh: Dar Al-Salam) hal. 270
[34] hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh syaikhul Islam ibnu taymiyyah dalam kitabnya majmu’ fatawa, jilid yang ke-23, bab larangan untuk mengkafirkan seorang muslim karena dosanya. Beliau menyatakan bahwa kita saja dilarang untuk mengkafirkan orang-orang yang telah ditetapkan kesesatannya oleh nash dan walaupun kita diperintahkan untuk memeranginya; seperti khawarij, lalu bagaiamana dengan beberapa kelompok yang sebenarnya mereka tidak tahu akan hakikat apa yang mereka lakukan itu. Tentunya lebih tidak diperkenankan untuk mengkafirkannya.
[35] Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, At-Takfir Wa Dhawabituhu, (Saudi Arabia, Dar al-Imam Ahmad, TT), hlm. 251
[36] DR. Ayman Adz-Dzawahir,Taujihat ‘Ammah lil ‘Amal al-Jihadi, (Muassasatu As-Sahab, 1434 H) hlm. 5