Kala Cinta Mughits Bertepuk Sebelah Tangan
Oleh Muhammad Faishal Fadhli (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Tambatan Hati
Abu Ahmad bin Jahsy sangat mengasihi budaknya yang jujur, amanah dan berkarakter menakjubkan. Budak itu gesit, cekatan, dan telaten dalam melayani tuannya.
Ia mendatangkan banyak manfaat dan bahkan ia juga bersegera menerima panggilan dakwah ketika diajak untuk beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Ia bernama Mughits.
Mughits merasakan bahwa dirinya mempunyai kedudukan yang spesial di hati majikannya. Ia memberanikan diri untuk memohon kepada sang majikan agar dinikahkan dengan seorang gadis.
Abu Ahmad menjawab, “Baik, Mughits. Marilah kita hijrah menyusul Rasullah ke Madinah. Di sana, aku akan menikahkanmu dengan siapa pun yang engkau sukai. In sya’a Allah.”
Singkat cerita, mereka tiba di Madinah dengan hati gembira. Sesuai janjinya, Abu Ahmad pun mempersilakan Mughits berkeliling Madinah dan mencari sosok pujaan hatinya untuk dinikahi.
Pencarian itu terhenti ketika Mughits melihat seorang budak perempuan berparas cantik di antara rumah-rumah penduduk Anshar. Orang memanggilnya Barirah.
“Tuanku,” seru Mughits kegirangan.
“Aku sudah mendapatkan wanita idaman. Barirah namanya. Dia berasal dari kalangan Anshar.”
Abu Ahmad beranjak menuju rumah Barirah. Terjadilah percakapan layaknya dua keluarga yang akan menjadi besan.
Hasilnya: majikan Barirah meridhai budaknya dinikahi oleh Mughits, tetapi sang gadis tidak tertarik sama sekali dengan lelaki yang kini meminangnya.
Bahkan ia memberanikan diri berterus terang mengungkapkan penolakan itu. Sambil berurai air mata, Barirah menyampaikan isi hatinya.
Sang majikan pun merasa sangat terenyuh.
“Kami telah menerima Mughits. Tetapi, Barirah tidak suka kepadanya. Maka berilah kami waktu beberapa hari untuk membujuk Barirah. Semoga dia bisa mengabulkan permohonan kami.”
Demikianlah kalimat penutup yang disampaikan oleh perwakilan keluarga gadis.
Mughits sedih bukan kepalang. Ia mendesak dan merengek kepada tuannya agar menggubah sya’ir yang dapat meluluhkan hati Barirah.
“Demi Allah,” kata Mughits. “Hati ini sangat tertarik kepadanya. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk menikah kecuali dengannya.”
Abu Ahmad tidak tega melihat kondisi Mughits yang selalu mengiba di hadapannya.
Dia pun terus berusaha mewujudkan impian Mughits dengan berkali-kali membujuk keluarga pemilik Barirah agar menikahkan budak mereka dengan budaknya.
Di kunjungan yang kesekian, perjuangan itu membuahkan hasil. Secara dzhahir, Barirah menerima lamaran itu.
Cinta Tak Bertaut
Mughits dan Barirah akhirnya resmi bergelar suami istri. Namun bahagia yang dirasa oleh Mughits karena Barirah berada di sisinya tidaklah sama dengan kondisi sang istri yang mengalami tekanan batin.
Barirah merasa telah membohongi diri sendiri. Dia jatuh di tangan seorang lelaki yang sama sekali tidak dia cintai. Hari demi hari ia lalui dengan rasa sakit yang kian bertambah.
Terucaplah satu kesah dalam pasrah, “Demi Allah. Aku tidak menginginkannya dan tidak mencintainya. Namun apalah daya, ketetapan Allah-lah pemenangnya.”
Mughits hanya memiliki raga istrinya, tapi tidak dengan jiwanya. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, Barirah tetap menutup hati untuk lelaki yang sangat mencintainya itu.
Tak jarang ibunda Aisyah menyemangati Barirah setiap kali ia mengeluh. Wasiat sabar selalu diulangi oleh Aisyah kepada Barirah.
“Bersabarlah, boleh jadi Allah akan memberikan jalan keluar untuk masalah yang engkau hadapi ini.”
Tidak berlalu satu hari pun, kecuali bertambah rasa tidak suka Barirah kepada suaminya. Dalam menghadapi masalah yang rumit ini, Mughits meminta nasihat kepada tuannya.
Di antara kata-kata yang membuatnya merasa terhibur, “Bersabarlah sampai kalian dikarunia anak. Kelak, sedikit demi sedikit, hati Barirah akan terbuka untukmu.”
Di dunia ini tidak ada yang abadi. Kebahagiaan dan penderitaan akan berakhir. Setelah sekian tahun berusaha menyayangi Mughits dan selalu gagal, tibalah saatnya bagi Barirah untuk memulai hidup baru.
Alangkah senangnya ia saat sang majikan memberinya penawaran, “Kami bersedia memerdekakan dirimu dan engku menggantinya dengan bayaran sembilan uqiyah kepada kami selama sembilan tahun.”
Dengan hati yang berbunga-bunga, ia menceritakan kabar baik itu kepada Aisyah, “Inilah hari yang kutunggu-tunggu. Bantulah aku melunasi harga kemerdekaanku, semoga Allah melapangkan urusanmu.”
Tertawalah ibunda Aisyah mendengar penuturan tersebut seraya berkata, “Berbahagialah wahai Barirah. Demi Allah, aku telah berniat bahwa di hari-hari ini, akan mendekatkan diri kepada Allah dengan membebaskan budak.”
“Kemarilah. Ambillah harta ini dan timbanglah sembilan uqiyah untuk engkau bayarkan kepada tuanmu secara kontan. Dan nikmatilah kemerdekaanmu.”
Barirah hampir tidak percaya bahwa kini ia bisa memerdekakan diri. Setelah menyerahkan sekeping harta kepada majikannya, secara hukum, terbebaslah ia dari status perbudakan.
Terselip rasa tak sabar ingin menemui Nabi dan memintanya memberi keputusan: memisahkan dia dari Mughits. Sebab ia telah merdeka sementara Mughits masih berstatus seorang budak.
Inilah kisah cinta yang rumit antara dua insan yang menuntut kearifan Nabi. Atas nama syariat, hukum pun ditegakkan.
Ikatan suci antara Mughits dan Barirah telah terurai. Apa mau dikata, sakinah yang didamba, tak kunjung tumbuh dalam pernikahan mereka.
Nabi dan Abbas bin Abdul Muthallib, pamannya, memperbincangkan keheranan mereka saat menyaksikan kisah cinta Mughits yang berakhir tragis.
Siapapun akan ikut berduka melihat Mughits berlari di belakang Barirah sambil mengemis cinta. Lantaran tidak tega melihat lelaki yang malang itu, Nabi mencoba melunakkan hati Barirah.
Namun ia wanita yang sungguh bernyali tinggi. Ditanyalah Nabi, “Apakah ini perintah darimu untukku, wahai Rasulullah?”
Kemudian beliau menjawab, “Tidak. Bukan. Sesungguhnya aku hanya dimintai pertolongan (untuk membujukmu).”
Barirah terlihat senang setelah sebelumnya sempat dibuat cemas, “Jika demikian, aku tidak harus hidup bersama lagi dengannya.”
Hikmah
Kisah ini tercantum dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim. Ada ratusan hikmah yang bisa dipetik dari kisah tersebut.
Setidaknya, tak kurang dari 260 faedah dan pelajaran dari rumah tangga Mughits dan Barirah yang dijelaskan oleh para ulama.
Berikut di antaranya:
Pertama, Islam sangat memperhatikan hak asasi manusia, memelihara kebebasan individu selama tidak bertentangan dengan syariat.
Sebagaimana halnya Barirah yang dibiarkan untuk memilih, tidak dipaksa untuk bertahan dengan Mughits.
Kedua, kebolehan meminta syafaat (pertolongan khusus dari orang yang mempunyai pengaruh dan kedudukan) untuk melancarkan suatu urusan.
Sebagaimana usaha yang dilakukan oleh Mughits, meminta syafaat kepada majikannya, dan mendapat syafaat dari Rasulullah.
Ketiga, kebolehan menolak permintaan dari seorang syafii’ (yang memberi syafaat), dan tidak ada celaan dalam penolakan tersebut. Lihatlah betapa pilihan Barirah tetap dihargai meskipun tidak sesuai ekspektasi.
Keempat, mustahab hukumnya seorang pemimpin memberikan syafaat (pertolongan khusus) kepada orang yang dipimpinnya, karena hal tersebut termasuk kemuliaan akhlak.
Kelima, hakikat syafaat hanyalah sebuah sarana untuk membantu melancarkan urusan, bukan mandat atau titah.
Keenam, seorang pemimpin tidak boleh memberi hukuman kepada anggotanya yang menolak untuk mengiyakan syafaat yang ia usahakan.
Dalam kisah ini, Rasulullah tidak menghukum Barirah yang telah menolak syafaatnya untuk membantu Mughits.
Ketujuh, kewajiban mengikuti perintah Nabi. Dan Barirah mempunyai komtimen dalam hal ini jika memang Nabi memberinya instruksi, ia akan sami’na wa atha’naa.
Kedelapan, Mughits dan Barirah, kedua-duanya adalah sahabat dan shahabiyah, tinggal di Madinah, dan hidup bersama Rasulullah.
Hanya saja, mereka tidak ditakdirkan untuk saling mencintai. Mengingatkan kembali bahwa sesungguhnya hati manusia berada di tangan Allah. Dialah yang Maha Kuasa menggerakkan dan membolak-balikkan hati.
Inilah kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan, terjadi di tanah suci, dan di masa nabi. Semoga kita bisa mengambil faedah darinya. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.