Memaknai Rasa Lapar di Bulan Ramadhan Sebagai Bentuk Kepedulian Sosial kepada Kondisi Kaum Muslimin yang Terzalimi
Oleh Ashabul Yamin (Alumnus Ma’had Aly An-Nuur)
Bulan Ramadhan adalah bulan yang bagi kaum muslimin identik dengan rasa lapar. Ya, karena kaum muslimin pada bulan ini diwajibkan untuk berpuasa, dan salah satu rukun puasa adalah menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Apabila ditinjau dari sisi hikmah, laparnya kaum muslimin ini bukan sekadar kondisi fisik yang membutuhkan energi, tetapi mengandung makna tentang kepedulian sosial terhadap sesama.
Seperti yang disampaikan oleh Syekh Ali bin Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmatu Tasyri’ wa Falsafatuhu (hlm. 96):
أَنَّ الإِنْسَانَ إِذَا صَامَ وَذَاقَ مَرَارَةَ الجُوعِ، حَصَلَ عِنْدَهُ عَطْفٌ عَلَى الفُقَرَاءِ وَالمَسَاكِينِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مِنَ القُوتِ مَا يَسُدُّونَ بِهِ الرَّمَقَ
“Bahwa manusia apabila berpuasa dan merasakan perihnya lapar, dia akan mengetahui bagaimana kondisi fakir miskin yang tidak menemukan makanan pokok sebagai pengganjal tenggorokan saja.”
Di balik rasa lapar yang kita rasakan selama beberapa jam, nun jauh di sana, ada jutaan saudara muslim kita yang juga merasakan lapar, bahkan bukan hanya di bulan Ramadhan, tetapi hampir setiap waktu.
Seperti yang dialami oleh saudara muslim kita di Palestina, khususnya di Kota Gaza, kemudian di Uighur, Rohingya, Yaman, dan tempat-tempat lainnya.
Bagi kita, lapar di bulan Ramadhan adalah pilihan yang disengaja, atas kesadaran penuh niat berpuasa, dan kita tahu bahwa ketika adzan Maghrib berkumandang, kita bisa berbuka dengan hidangan yang telah disiapkan.
Namun, hal ini tak berlaku bagi sebagian saudara muslim kita. Lapar bagi mereka bukanlah pilihan, melainkan kenyataan hidup yang mereka hadapi nyaris setiap hari. Mereka bahkan tak tahu esok hari akan makan apa.
Lapar Sebagai Pengingat Tanggung Jawab Sosial
Dalam hadits, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa umat Islam adalah satu tubuh:
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perumpamaan dalam hadis Rasulullah ﷺ tersebut sangat logis dan mudah dipahami. Sebagai satu tubuh, ketika salah satu anggotanya terluka, rasa sakitnya akan dirasakan oleh seluruh badan.
Begitu juga ketika perut merasa lapar, sekujur tubuh akan merasa lemas.
Dalam konteks puasa Ramadhan, rasa lapar yang dirasakan seharusnya menjadi pemicu kesadaran bahwa kita memiliki kewajiban moral untuk membantu mereka yang lebih membutuhkan.
Infak, sedekah, zakat, dan doa adalah bentuk nyata dari solidaritas kita kepada kaum muslimin yang sedang menderita.
Dengan memahami hal ini, bulan Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang menghidupkan hati agar peka dan menjadi sarana untuk merenungkan realitas kehidupan umat Islam.
Bahwa di sana ada tanggung jawab besar yang harus ditunaikan. Meski saat ini kita belum sepenuhnya sanggup menunaikannya, minimal kesadaran itu sudah ada.
Dari Kesadaran Menuju Tindakan
Setelah menyadari bahwa puasa memiliki hikmah sosial dan ada tanggung jawab yang mesti kita tunaikan terkait hal itu, pertanyaannya adalah langkah konkret apa yang selanjutnya harus kita lakukan.
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa kita lakukan:
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa kita lakukan:
1. Menyalurkan zakat, infak, dan sedekah ke lembaga-lembaga sosial yang amanah untuk disalurkan ke daerah konflik atau yang membutuhkan.
Banyak lembaga-lembaga sosial kemanusiaan yang secara khusus menggalang dana sosial di bulan Ramadhan untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam hal ini, kita harus betul-betul selektif memilih lembaga yang bersangkutan, amanah, dan profesional untuk memastikan bahwa bantuan yang kita berikan benar-benar sampai kepada yang berhak.
Mendonasikan harta kepada lembaga-lembaga tersebut adalah bagian dari jihad dengan harta yang diperintahkan oleh Islam. Firman Allah ﷻ dalam surat At-Taubah ayat 41:
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“… dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Berkata Imam at-Thabari terkait ayat ini:
…فَأَنْفِقُوهَا فِي مُجَاهَدَتِهِمْ عَلَى دِينِ اللَّهِ الَّذِي شَرَعَهُ لَكُمْ، حَتَّى يَنْقَادُوا لَكُمْ فَيَدْخُلُوا فِيهِ طَوْعًا أَوْ كَرْهًا
“Berinfaklah dalam perjuangan untuk agama Allah ﷻ yang telah Dia syariatkan bagi kalian, hingga mereka tunduk kepada kalian, lalu mereka masuk ke dalamnya dengan sukarela atau terpaksa …” (Jami’ al-Bayan fi Ta’wili Ayatil Qur’an, 14/271)
Menurut Imam At-Thabari, penyebutan amwal (harta) dalam ayat tersebut karena harta adalah hal yang pertama kali dibutuhkan ketika perang:
وَقَدَّمَ الْأَمْوَالَ فِي الذِّكْرِ إِذْ هِيَ أَوَّلُ مَصْرِفٍ وَقْتَ التَّجْهِيزِ فَرَتَّبَ الْأَمْرَ كَمَا هُوَ نفسه
“… Allah mendahulukan penyebutan harta karena ia merupakan kebutuhan pertama saat persiapan (perang). Maka, urutannya disusun sebagaimana adanya.” (Tafsir al-Qurthubi, 8/153)
Artinya, untuk membela saudara muslim yang terzalimi, jihad harta adalah salah satu solusi yang bisa ditempuh, sesuai kemapuan masing-masing tentunya.
2. Menyebarkan kesadaran tentang kondisi umat Islam yang terzalimi melalui mimbar-mimbar ceramah atau media sosial.
Ramadhan dikenal sebagai bulan yang penuh dengan berbagai aktivitas keagamaan, salah satunya adalah semarak ceramah dan pengajian di mana-mana, baik online maupun offline.
Faktor yang menjadi penyebab adalah meningkatnya semangat keagamaan kaum muslimin pada bulan Ramadhan dan sudah menjadi tradisi yang turun-temurun.
Dari mulai kultum shalat tarawih, kajian menjelang buka puasa, bahkan tak jarang diadakan daurah tematik atau kajian kitab yang runut dan sistematis.
Maka, dalam suasana tingginya intensitas ceramah dan kajian yang dibarengi dengan gairah belajar agama masyarakat yang meningkat, alangkah baiknya di sela-sela materi disinggung dan disampaikan kabar kaum muslimin yang hari ini dalam kondisi terzalimi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Siapa saja yang tidak perhatian terhadap urusan kaum muslimin, maka tidak termasuk bagian dari mereka.” (HR. At-Thabrani)
Hadits ini meskipun dianggap dhaif (lemah), akan tetapi secara makna ia shahih karena didukung oleh hadits lain, misalnya:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Permisalan seorang mukmin dengan mukmin yang lain itu seperti bangunan yang menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Terkait media sosial, meskipun hari ini akses informasi begitu mudah dan cepat, masih ada sebagian kaum muslimin yang belum menyadari penderitaan saudara-saudara mereka di negeri konflik.
Oleh karena itu, perlu kiranya untuk terus menyuarakan kondisi saudara-saudara muslim yang terzalimi di media sosial dengan cara membagikan informasi dari sumber yang akurat dan terpercaya.
3. Mendoakan secara khusus dalam setiap kesempatan berdoa di bulan Ramadhan.
Ramadhan adalah bulan penuh berkah, di dalamnya doa lebih mudah dikabulkan terutama saat sahur, berbuka, dan di sepertiga malam terakhir. Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak akan tertolak; yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa, dan doa seorang musafir.” (HR. al-Baihaqi)
Selain itu, orang yang mendoakan kebaikan kepada saudaranya, dia akan mendapatkan kebaikan serupa dari doanya tersebut. Sebagaimana hadits Rasul ﷺ
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama.'” (HR. Muslim)
Menurut Syaikh Utsaimin, mendoakan saudara muslim tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang.
Hal ini karena Nabi sﷺ bersabda, “Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 6/54)
Maka, saat kita mendoakan kebaikan untuk saudara-saudara muslim kita sejatinya kita juga sedang mendoakan kebaikan untuk diri sendiri.
4. Memperbanyak sedekah, khususnya untuk kaum Muslimin korban perang dan pengungsi.
Mendahulukan donasi kepada kaum muslimin korban perang di luar negeri bukan berarti mengabaikan kondisi kaum muslimin dalam negeri yang sama-sama membutuhkan uluran tangan.
Akan tetapi korban perang, tingkat urgensi untuk diperhatikannya lebih tinggi, karena mereka biasanya kehilangan tempat tinggal, akses makanan, air bersih, minimnya fasilitas kesehatan, obat-obatan, bahkan keselamatan jiwa terancam.
Mereka yang masih hidup tidak hanya menghadapi badai kemiskinan saja, tapi ancaman kematian akibat kelaparan dan penyakit menular yang tidak bisa diprediksi.
Situasi ini tentu jauh lebih kritis dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat muslim yang miskin atau korban bencana alam di negara yang damai. Meskipun sekali lagi, keduanya sama-sama penting dan harus diperhatikan. Sama-sama prioritas, hanya nomor urutnya saja yang berbeda. Wallahu a’lam.