Khutbah Jum’at: Ciri Pemimpin Gila Jabatan
Oleh Khotib Mukhtar (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
قال اللَّه تعالى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ. أَمَّا بَعْدُ
Download PDF di sini.
Khutbah Jum’at
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah.
Mari kita bersyukur kepada Allah ﷻ atas limpahan nikmat-Nya kepada kita semua. Semoga dengan senantiasa bersyukur kepada Allah ﷻ, hidup kita akan dipenuhi dengan berkah, langkah-langkah kita terbimbing oleh hidayah, hingga meninggal nanti dalam kondisi khusnul khatimah.
Shalawat beriring salam, semoga tetap Allah ﷻ curahkan kepada Nabi Agung, Nabi Muhammad ﷺ. Kepada keluarga beliau, para sahabat beliau, para tabi’in, dan umat Islam yang istiqamah hingga hari kiamat nanti.
Berikutnya, khatib berwasiat kepada diri pribadi khatib dan hadirin sekalian, agar senantiasa bertakwa kepada Allah kapan pun dan dalam kondisi apa pun.
Sebab takwa adalah sebaik-baik bekal. Allah ﷻ berjanji bahwa orang-orang bertakwa akan diberi jalan keluar dari setiap kesulitan, diberi rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, dan disediakan surga seluas langit dan bumi.
Jama’ah sidang Jum’at yang dirahmati Allah.
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Oleh sebab itu, ketika ada sekelompok manusia tinggal di satu tempat, maka mereka akan saling membantu dan saling memenuhi kebutuhan satu sama lain.
Dalam realitas seperti ini, sosok pemimpin tentu sangat dibutuhkan dalam kehidupan guna mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar.
Pemimpin dalam Islam merupakan salah satu kewajiban yang harus diwujudkan karena memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengatur kehidupan.
Seorang pemimpin, bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan menghilangkan segala bentuk kezaliman.
Dengan otoritas yang kuat, pemimpin semestinya mampu untuk mengambil keputusan yang mendatangkan kedamaian dan keadilan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Ketika ada tiga orang bepergian hendaklah mereka menjadikan salah satu mereka (sebagai) amir atau pemimpin.”
Kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar akan bisa terlaksana dengan baik ketika sosok pemimpin yang adil hadir untuk memimpin rakyat.
Kezaliman yang terstruktur akan dapat dihilangkan secara menyeluruh dengan adanya seorang pemimpin yang saleh.
Hal tersebut mungkin untuk terwujud ketika seorang pemimpin dengan kuasa dan kendali penuh dalam memutuskan suatu kebijakan senantiasa berupaya untuk menegakkan sistem pemerintahan yang baik.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata
اَلْحَقُّ بِلاَ نِظَامٍ يَغْلِبُهُ اْلبَاطِلُ بِالنِّظَامِ
“Kebenaran yang tidak diorganisir dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.”
Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa ketika seorang pemimpin lemah, baik secara mental maupun dalam sistem pemerintahannya, maka kekuasaan akan cenderung dikuasai oleh kebatilan.
Salah satu indikasi kelemahan seorang pemimpin adalah sifat rakus terhadap kekuasaan yang menjadi tabir penghalang dalam menegakkan keadilan serta menjadi kelemahan dalam memerangi kezaliman.
Ketika pengambilan keputusan didasarkan pada ego pribadi yang sebatas menguntungkan diri sendiri saja, maka inilah bentuk kelemahan yang nyata pada diri seorang pemimpin.
Maka, sebuah bangsa akan binasa ketika dipimpin oleh seseorang yang gila akan kekuasaan. Sebuah peradaban akan hancur ketika di bawah kendali mereka yang rakus akan kekuasaan.
Suatu generasi akan tumpul, dan kehilangan kecerdasan serta imajinasi karena ketakutan yang dihembuskan oleh pemimpin yang gila jabatan.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah.
Syaddad bin Aus rahimahullah berkata
يَا بَقايَا العَرَبِ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الرِّيَاءُ والشَّهْوَةُ الخَفِيَّةُ، قيل لأبي داود السجستاني : مَا الشَّهْوَةُ الخَفِيَّةُ؟ قال: حُبُّ الرِّيَاسَةِ.
“Wahai bangsa Arab, sesungguhnya yang lebih aku takutkan atas kalian ialah riya’ dan syahwat yang tersembunyi.”
Ditanyakan kepada Abu Dawud As-Sijistani, “Apakah syahwat yang tersembunyi?” Ia menjawab, “Cinta kepemimpinan.”
Sahabat Syaddad bin Aus menyebutkan bahwa cinta jabatan adalah syahwat khafiyah (tersembunyi) karena sifat gila jabatan sering kali tidak terlihat oleh orang lain bahkan oleh dirinya sendiri.
Kecenderungan buruk ini, kadang tersamarkan di balik rutinitas shalat, interaksi sosial, dan perbuatan baik lainnya. Hal tersebut pada akhirnya membuat hawa nafsu terhadap kekuasaan menjadi samar dan sulit terdeteksi.
Untuk mengidentifikasi seseorang yang terobsesi dengan jabatan, dibutuhkan tidak hanya ilmu dan ketelitian, akan tetapi juga hati nurani yang suci.
Ketika ilmu dan hati nurani yang baik berjalan bersama, maka keduanya akan saling menguatkan untuk menilai secara objektif. Selain itu, penting juga untuk membuang jauh gelombang emosi yang dapat mengganggu penilaian.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah.
Meski demikian, sifat gila jabatan bisa terindikasi dengan ciri-ciri yang telah dijelaskan oleh para ulama dan selayaknya seorang pemimpin untuk mewaspadai sifat tersebut. Beberapa di antaranya adalah:
Pertama, Memaksakan Diri Menjadi Pemimpin
Cinta terhadap jabatan adalah bagian dari fitrah atau sifat bawaan manusia karena jabatan merupakan sarana orang untuk mendapatkan pujian. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa rasa cinta tersebut tidak boleh melebihi porsinya.
Cinta berlebih kepada kekuasaan ditandai ketika seseorang berambisi, memaksakan dirinya untuk menjadi pemimpin padahal dia tidak memenuhi kualifikasi kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.
Rasulullah ﷺ bersabda
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ
“Kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat, ia adalah seenak-enak penyusuan dan segetir-getir penyapihan.”
Hadits di atas memberikan teguran kepada kaum Muslimin agar tidak hanya bermodal ambisi kepada kekuasaan tanpa melihat kualitas dirinya ketika ingin menjadi pemimpin.
Sebab hal itu justru akan menjadi petaka baginya di hari kiamat nanti. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki ilmu yang luas baik dalam bidang agama maupun dunia.
Selain ilmu, pemimpin juga harus bisa mengendalikan emosi karena ilmu akan terhalang ketika emosi menguasai dirinya. Sehingga kebijakan yang dihasilkan berdasarkan ego pribadi semata.
Ilmu dan hilm (kemampuan untuk mengendalikan emosi) merupakan rukun kebijaksanaan yang harus ada pada diri seorang pemimpin.
Emosi tidak boleh diabaikan secara total akan tetapi perlu untuk diatur dengan baik untuk mendeteksi kemungkaran dan kezaliman.
Emosi mampu menjadi pemicu keberanian untuk menghadapi dan menolak pelaku kezaliman yang terstruktur. Oleh karena itu, sosok pemimpin bukan hanya diukur dari popularitasnya semata.
Seorang pemimpin bukan hanya tentang kepemilikan harta yang melimpah atau keberhasilannya dalam memobilisasi masyarakat untuk memilih dirinya.
Lebih dari itu, seorang pemimpin adalah mereka yang memiliki ilmu dan pengendalian emosi diri yang baik.
Maka perlu kejelian dalam menilai seseorang yang layak untuk menjadi pemimpin. Mari untuk selalu membuka mata hati dan ilmu pengetahuan untuk menilai seorang yang pantas untuk dijadikan pemimpin.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah.
Kedua, Menyombongkan Diri
Menjadi seorang pemimpin bukanlah suatu keistimewaan yang membuatnya boleh merasa lebih unggul dibanding rakyat biasa. Sebaliknya, ada amanah besar yang diembannya dan harus ditunaikan dengan penuh dedikasi.
Meskipun sudah menjadi hal yang lumrah bahwa seorang pemimpin akan mendapatkan penghormatan dan pujian dari rakyatnya, namun jangan sampai hal tersebut menjadi penyebab sifat sombong mendominasi dirinya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَلَى سَرِيَّةٍ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ لَهُ: أَبَا مَعْبَدٍ كَيْفَ وَجَدْتَ الْإِمَارَةَ؟ قَالَ: كُنْتُ أُحْمَلُ وَ أُوْضَعُ حَتَّى رَأَيْتُ بِأَنَّ لِيْ عَلَى الْقَوْمِ فَضْلًا، قَالَ: هُوَ ذَاكَ فَخُذْ أَوْ دَعْ
“Suatu hari, Nabi ﷺ mengutus Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu ‘anhu untuk memimpin ekspedisi militer. Ketika dia datang, beliau bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Ma‘bad, bagaimana pengalamanmu pada jabatan?’
Dia berkata, ‘Aku membawa dan meletakkannya, hingga aku melihat bahwa aku memiliki suatu keunggulan di atas kaum itu.’ Beliau ﷺ bersabda, ‘Seperti itulah jabatan. Ambillah, atau tinggalkanlah.’”
Begitulah konsekuensi dari sebuah jabatan, akan ada perasaan lebih hebat dan lebih tinggi dari orang lain sehingga berpotensi menyeret pemiliknya pada kesombongan.
Dia akan memandang rendah orang lain terutama pada orang-orang terdekatnya, bahkan caci maki pun bisa dengan mudah keluar dari mulutnya untuk menghantam orang yang tidak disukai. Na’udzubillah min dzalik.
Ibnu Rajab menjelaskan, “Kewajiban yang harus diperhatikan bagi siapa yang diberi kekuasaan adalah ia tidak mencaci sahabatnya, tidak berbuat kasar, dan tidak merendahkan harga diri orang-orang terdekatnya.
Sebab kekuasaan akan menjadikan lisan dan tangannya mudah untuk menyakiti orang lain.” (Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala’, 276)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah.
Ketiga, Haus Pujian dan Anti Kritik
Allah ﷻ berfirman
لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِيۡنَ يَفۡرَحُوۡنَ بِمَاۤ اَتَوْا وَّيُحِبُّوۡنَ اَنۡ يُّحۡمَدُوۡا بِمَا لَمۡ يَفۡعَلُوۡا فَلَا تَحۡسَبَنَّهُمۡ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الۡعَذَابِۚ وَلَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188)
Syaikh Shalih al-Munajjid menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang keburukan orang yang mencari-cari dan gila terhadap pujian, bahkan tidak segan memberi hukuman pada orang yang tidak memuji dirinya.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh memiliki sifat buruk tersebut karena ketika seseorang sudah gila terhadap pujian dan prestasinya maka pintu saran dan kritik akan tertutup oleh hal tersebut.
Seorang pemimpin semestinya bersikap terbuka, menerima saran serta kritik dari rakyatnya. Meski terkadang kritik itu berupa cacian atau tuduhan tanpa dasar, di sinilah jiwa kepemimpinannya akan diuji.
Jika terpancing emosi hingga mempidanakan para pengkritik dirinya, maka kegagalan tercermin jelas dari tindakannya tersebut.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah didatangi oleh seorang tamu yang mengkritik dirinya dengan tuduhan yang tidak berdasar. Dalam sebuah riwayat disebutkan
يا ابْنَ الخَطَّابِ، واللَّهِ ما تُعْطِينَا الجَزْلَ، وما تَحْكُمُ بيْنَنَا بالعَدْلِ
“Wahai Umar bin Khattab, demi Allah, engkau sama sekali tidak memberikan kepada kami pemberian (bantuan) yang memuaskan hati dan engkau tidak melaksanakan hukum dengan adil di antara kami.”
Mendengar hal ini Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sempat terpancing emosi hingga ingin mempidanakan orang tersebut.
Akan tetapi diingatkan oleh seorang penasihat muda yang bernama al-Hurri bin Qais dengan surat Al-A’raf ayat 199
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu begitu terkenal dengan keadilannya dan terbukti dengan kinerja yang sangat dirasakan oleh rakyat.
Sebagai kepala negara, ternyata beliau diuji dengan tuduhan yang tidak benar pada prestasi yang secara nyata telah diraih.
Namun, beliau tidak kemudian memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk melampiaskan hasrat emosinya. Popularitas dan prestasi yang dimiliki tidak menjadikan beliau besar kepala sehingga menjadi sosok yang gila kekuasaan dan anti kritik.
Justru sebaliknya, beliau menampilkan sebuah kebijaksanaan sejati dari seorang pemimpin yang adil dan jujur meski para pembenci datang menebar fitnah.
Jama’ah sidang Jum’at yang dirahmati Allah.
Dari beberapa indikator tersebut, semoga bisa membantu kita untuk menjadi sosok pemimpin yang baik atau minimal menilai sosok pemimpin yang ideal.
Pun jika belum terwujud sesuai dengan idealisme yang ada, setidaknya kita sudah berusaha untuk memilih dengan akal dan hati nurani yang jernih.
Harapannya, semoga negeri ini mendapatkan pemimpin yang baik dan dijauhkan dari pemimpin yang gila jabatan guna mewujudkan negeri yang semakin adil, makmur, dan penuh dengan kebaikan.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآياَتِ وِالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ بِتِلاَوَتِهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ، وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِى يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
سُبْحاَنَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَأَقِمِ الصَّلاَةَ