Kultum Ramadhan: Benarkah Pujian Selalu Membawa Kebaikan?
Oleh Ammar Syarifuddin (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Download PDF di sini.
Dalam pergaulan sehari-hari, lisan merupakan organ yang sering kita gunakan untuk berkomunikasi. Lisan ibarat sebilah pedang; ia akan menjadi baik atau buruk tergantung pada siapa yang menggunakannya. Oleh karena itu, Allah ﷻ dan Rasul-Nya mewanti-wanti kaum muslimin agar senantiasa menjaga lisannya.
Tidak semua perkataan yang baik menurut manusia itu baik menurut Allah dan Rasul-Nya. Dan tidak semua perkataan yang baik menurut manusia itu berakibat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Salah satu contohnya adalah kalimat pujian, yang menurut pandangan umum masyarakat bernilai positif. Pujian dapat membuat seseorang senang, gembira, mempererat persahabatan, dan memberikan nilai positif lainnya.
Namun, jika ditimbang dengan neraca syar’i, terdapat nilai negatif yang membahayakan, baik bagi si pemuji maupun orang yang dipuji, baik di dunia maupun di akhirat.
Kebiasaan Memuji
Memuji tidak dilarang, asalkan pujian tersebut benar adanya. Sebagaimana pujian Allah ﷻ kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dalam Al-Qur’an, Rasulullah ﷺ juga tidak sedikit memuji para sahabatnya.
Rasulullah ﷺ memuji Umar bin Khattab dengan memberinya gelar Al-Faruq (pembeda), Khalid bin Walid dengan gelar Saifullah (pedang Allah), dan masih banyak pujian serta sebutan lain yang beliau berikan kepada para sahabatnya.
Pujian semacam ini membuat orang yang dipuji bertambah semangat dalam beramal dan mendorong kaum muslimin lainnya untuk berlomba dalam beramal saleh.
Namun, pujian yang diada-adakan atau kebiasaan memuji yang tidak benar—yang dilakukan dalam rangka mencari muka dari orang yang dipuji—dilarang. Sebagaimana tersirat dalam hadis Nabi ﷺ
إِذَا رَأَيْتُمُ ٱلْمَدَّاحِينَ فَٱحْثُوا فِي وُجُوهِهِمُ ٱلتُّرَابَ
“Jika kalian bertemu dengan maddahin (orang yang suka memuji), lemparkanlah tanah ke wajah mereka.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadis lain disebutkan bahwa pujian adalah sembelihan. Imam As-Sindi menjelaskan, “Pujian termasuk sembelihan karena terkadang menipu orang yang dipuji.” Sebagaimana dalam sebuah hadis disebutkan, “Kamu telah memotong leher temanmu.”
Para ulama berbeda pendapat dalam menakwilkan hadits ini. Ada yang menakwilkan kata “tanah” di atas dengan memberinya sedikit harta agar mereka diam dan tidak lagi mengumbar pujian. Pujian disamakan dengan harta karena harta merupakan perkara yang hina seperti tanah.
Menurut Imam Nawawi, pendapat yang lebih tepat adalah memaknai hadits di atas berdasarkan makna lahiriyahnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Miqdad bin Al-Aswad, yaitu mengambil tanah kemudian melemparkannya ke wajah orang yang suka memuji.
Jika tidak demikian, bisa ditakwilkan dengan menjadikannya kecewa, yaitu dengan tidak memberinya apa pun atas pujian yang dilontarkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Nawawi)
Ketika Pujian Datang
Ketika pujian datang, seorang muslim harus segera mawas diri; benarkah pujian yang ditujukan kepadanya?
Jika pujian tersebut benar, ia harus mengingat bahwa semua itu adalah kelebihan yang telah Allah berikan kepadanya. Dengan demikian, ia tidak merasa ujub dan sombong.
Allah ﷻ berfirman, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm [52]: 32)
Namun, jika perkataan tersebut tidak benar, ia harus sadar diri dan segera memohon perlindungan kepada Allah ﷻ. Sebagaimana para sahabat Rasulullah ﷺ ketika dipuji, mereka membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ وَاغْفِرْ لِي مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Ya Allah, janganlah Engkau bebani aku dengan apa yang mereka ucapkan dan ampunilah aku atas apa-apa yang mereka tidak ketahui.” (HR. Bukhari)
Jangan sampai merasa senang dengan pujian yang tidak benar. Allah menyebutkan bahwa hal demikian adalah sifat orang-orang Yahudi dan munafik.
Sebagaimana firman-Nya, “… dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188)
Menurut Imam As-Sa’di dalam Tafsirnya, maksud dari ayat di atas adalah, “Senang dipuji dengan kebaikan yang sama sekali tidak dia kerjakan, kebenaran yang sama sekali tidak dia katakan…”
Bencana Pujian
Pujian yang tidak benar akan berakibat buruk bagi si pemuji maupun orang yang dipuji. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa ada empat bencana yang dapat menimpa pemuji dan dua bencana bagi orang yang dipuji.
Adapun bencana yang menimpa si pemuji:
- Berlebihan dalam memuji hingga memuji dengan pujian yang tidak ada pada diri orang yang dipuji. Dengan demikian, ia telah berdusta.
- Menampakkan kecintaan yang sebenarnya tidak dirasakannya. Dengan demikian, ia telah berbuat nifak.
- Mengatakan hal yang tidak semestinya (tidak sesuai kenyataan), sehingga ia telah sesumbar.
- Membuat orang yang dipuji merasa senang dengan pujian yang tidak benar tersebut, sehingga si pemuji telah berlaku zalim dan maksiat dengan menjadikannya senang.
Sedangkan bagi orang yang dipuji, ia akan terjangkiti penyakit sombong dan ujub, merasa senang dengan pujian tersebut hingga rusaklah amal yang dimilikinya. (Tuhfatul Ahwadzi)
Bergabunglah Bersama Orang-Orang yang Jujur
Kiranya kejujuranlah solusi tepat dalam hal ini. Bagi orang yang akan memuji, hendaklah jujur dalam memuji, agar tidak terkena ancaman hadis di atas.
Sedangkan bagi orang yang dipuji, hendaklah jujur dengan dirinya sendiri, agar tidak terkena ancaman firman Allah ﷻ di atas.
Allah ﷻ berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah [9]: 119) Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.