Kultum Ramadhan: Berpahala Meski Tak Lagi Beramal
Oleh Ammar Syarifuddin (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Download PDF di sini.
Di dalam buku Siyar A’lam an-Nubala karya Imam Adz-Dzahabi, disebutkan sebuah biografi seorang tabi’in yang bernama Harim bin Hayyan.
Konon, Harim dikandung ibunya selama dua tahun, hingga ketika ia lahir, giginya sudah mulai tumbuh. Oleh sebab itu, ia kemudian diberi nama Harim yang berarti “tua”.
Nama Harim, atau “tua”, mengingatkan kita pada sebuah kenyataan hidup: usia senja. Fase kehidupan yang pasti terjadi pada diri setiap insan yang diberi umur panjang oleh Allah ﷻ.
Di masa tersebut, seseorang bisa mengalami berbagai perubahan fisik dan mental, termasuk penyakit yang paling ditakuti banyak orang, yaitu pikun.
Penyakit ini, menurut Rasulullah ﷺ, tidak memiliki obat. Penyakit ini menyebabkan seseorang kehilangan akal, sehingga kondisinya kembali seperti anak-anak, bahkan bisa lebih mengenaskan.
Berlindung Kepada Allah ﷻ
Karena itu, Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk berlindung kepada Allah ﷻ dari penyakit pikun. Dalam doa panjangnya, beliau berdoa yang salah satu isinya berlindung dari penyakit tersebut.
Beliau ﷺ berdoa
“Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan, aku berlindung kepada-Mu dari kepikunan, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (HR. Bukhari)
Setiap kita pasti berharap selamat dari penyakit ini. Orang yang mengalami pikun akan merepotkan anak dan keluarganya. Bahkan terkadang, tetangga juga ikut kerepotan.
Bersyukurlah jika anak-anaknya saleh dan salehah, karena mereka akan merawat orang tuanya dengan sabar dan penuh keikhlasan. Mereka yakin bahwa berbakti kepada orang tua adalah pintu surga Allah yang paling dekat.
Sebaliknya, jika anak-anaknya tidak saleh dan salehah, mereka akan merasa berat merawat orang tua yang pikun. Mereka enggan bertanggung jawab, bahkan ada yang memilih menitipkan orang tua ke panti jompo padahal sebenarnya mampu untuk merawatnya sendiri.
Keresahan di Masa Tua
Para sahabat juga pernah mengeluhkan kondisi orang tua mereka yang pikun kepada Rasulullah ﷺ. Namun, yang mereka khawatirkan bukan sekadar beban merawat, melainkan ibadah orang tua mereka yang mulai terhenti.
Mereka melihat orang tuanya tidak shalat lagi, padahal dahulu rajin shalat lima waktu dan shalat sunnah. Mereka juga tidak lagi berpuasa dan membaca Al-Qur’an.
Para sahabat khawatir orang tua mereka meninggal dalam keadaan tidak taat kepada Allah. Menjawab keresahan tersebut, Allah ﷻ menurunkan Surah At-Tin
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۖ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَۙ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍۗ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Maka, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.” (QS. At-Tin: 4-6)
Menurut Ibnu Abbas dan Ikrimah, maksud dari firman Allah ﷻ, “Kemudian, Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,” adalah terkena penyakit pikun.
Dengan demikian, maknanya adalah orang-orang yang pikun, yang sudah tidak lagi mengerjakan ketaatan kepada Allah ﷻ, tetap akan mendapat pahala dari berbagai amalan mereka sebelumnya, jika sebelum pikun mereka adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Mendapat Pahala Meski Tak Beramal
Selain ayat di atas, banyak hadits Nabi yang menyatakan hal serupa. Di antaranya adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda
الْعَبْدُ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيقًا حَتَّى أُطْلِقَهُ أَوْ أَكْفِتَهُ إِلَيَّ
“Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan kepada malaikat yang bertugas mencatat amalan,
‘Tulislah untuknya pahala seperti yang biasa ia amalkan saat sehat, hingga Aku menyembuhkannya atau mencabut nyawanya.’” (HR. Ahmad)
Juga hadits riwayat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaannya ketika mukim dan sehat.” (HR. Bukhari)
Jadi, orang yang sakit, pikun, atau memiliki udzur syar’i lainnya tidak meninggalkan ibadah karena kehendak mereka, melainkan karena kondisi yang menghalangi.
Oleh karena itu, Allah ﷻ tetap memberikan pahala kepada mereka seperti saat mereka masih mampu beribadah.
Jika melihat pada keterangan ayat dan hadits di atas, maka menjadi pribadi yang saleh sejak dini adalah sebuah keharusan. Beramal saleh dan istiqamah dengannya adalah sebuah kewajiban.
Karena itu, jika suatu saat kita mengalami sakit, safar, atau uzur lainnya, pahala dari amalan yang rutin kita kerjakan sebelumnya tetap akan mengalir.
Rasulullah ﷺ mengabarkan kepada kita bahwa amalan yang paling dicintai Allah ﷻ adalah amalan yang kontinu. Beliau ﷺ bersabda
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah ﷻ adalah amalan yang kontinu walaupun jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari)
Demikian, semoga bermanfaat, wallahu a’lam bi shawwab.