Kultum Ramadhan: Julaibib; Dari Keterasingan Menuju Kemuliaan
Oleh Ammar Syarifuddin (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Download PDF di sini.
Nilai dan derajat seseorang di sisi Allah ﷻ tidaklah sama. Mulia di mata manusia, belum tentu mulia di sisi-Nya. Hina di mata manusia belum tentu hina di sisi-Nya.
Maka tidak sepantasnya seseorang menganggap mulia dirinya dan merendahkan orang lain; seperti apapun status orang tersebut. Karena Allah ﷻ lah yang lebih tahu siapa di antara hamba-Nya yang mulia.
Kisah Julaibib radhiyallahu ‘anhu
Di masa Nabi ﷺ ada seorang sahabat yang dikenal sebagai Julaibib. Namanya tak lengkap. Dia hadir di dunia tanpa tahu siapa ayah bundanya.
Demikian pula tak seorang pun tahu, atau tak mau tahu, tentang nasabnya, tentang sukunya. Padahal bagi masyarakat Yatsrib saat itu, nasab dan suku adalah identitas yang tak tergantikan.
Maka tersisihkanlah Julaibib. Selain tak bernasab, wajah Julaibib tidak rupawan, badannya bungkuk, kulitnya hitam, pakaiannya lusuh, dan kakinya tak beralas.
Meskipun demikian, limpahan hidayah Allah ﷻ tak pandang bulu. Melalui lisan Rasul-Nya, hidayah Allah ﷻ menyapa Julaibib, dan ia menyambutnya dengan gembira.
Setelah hidayah itu tertancap, Julaibib selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad bersama Rasulullah ﷺ.
Meski sebagian besar orang memandang Julaibib sebelah mata, namun Rasulullah ﷺ menaruh perhatian khusus padanya.
Suatu hari, Julaibib yang tinggal di suffah (semacam serambi) Masjid Nabawi disapa dengan lemah lembut oleh Rasulullah ﷺ, “Ya Julaibib, tidakkah engkau ingin menikah?”
Dia menjawab dengan tersenyum, “Siapa orangnya, ya Rasulullah, yang berkenan menikahkan putrinya dengan diriku?”
Tak ada kesan menyesali atau menyalahkan takdir Allah ﷻ pada air mukanya. Rasulullah ﷺ pun tersenyum.
Tiga kali Rasulullah ﷺ menanyakan hal yang sama, dan Julaibib pun selalu menjawab dengan kata dan air muka yang sama.
Pernikahan yang Tak Disangka
Pada suatu pagi, Nabi membawanya ke rumah salah satu pemimpin Anshar, kemudian beliau bersabda, “Nikahkanlah anak gadismu.”
Sahabat Anshar tersebut berkata, “Suatu nikmat dan kehormatan yang paling besar jika Rasulullah menginginkan anak gadis kami.”
Lalu beliau berkata, “Aku menginginkannya, tapi bukan untuk diriku sendiri.” Sahabat Anshar tersebut berkata, “Lalu untuk siapa, wahai Rasulullah ﷺ?” Beliau menjawab, “Untuk Julaibib.”
Sahabat Anshar tersebut lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan musyawarahkan hal ini dengan istri saya.”
Lalu ia pun bergegas pulang untuk menemui istrinya. Sesampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Rasulullah ingin meminang anak gadismu.”
Si istri berkata, “Merupakan nikmat dan karunia jika anak gadis kita menikah dengan Rasulullah ﷺ.”
Lalu ia berkata, “Namun, beliau meminang anak gadismu bukan untuk diri beliau sendiri, akan tetapi untuk Julaibib.”
Si istri langsung berkata, “Anak gadisku tidak akan aku nikahkan dengan Julaibib, tidak akan. Sungguh, jangan nikahkan anak gadis kita dengannya.”
Ketika sahabat Anshar tersebut hendak berdiri ingin menyampaikan apa yang dikatakan istrinya kepada Rasulullah ﷺ, tiba-tiba anak gadisnya berkata, “Siapakah yang datang kepada kalian dan ingin meminangku?”
Lalu ibunya menceritakan perihal di atas kepadanya, lalu si anak gadis itu berkata, “Apakah kalian ingin menolak keinginan Rasulullah ﷺ?
Sekarang bawalah aku ke sana menemui beliau, karena aku yakin beliau tidak akan menyia-nyiakan diriku.”
Lalu sahabat Anshar tersebut berangkat membawa anak gadisnya tersebut untuk menemui Rasulullah ﷺ dan menceritakan kejadian sebenarnya.
Sahabat Anshar tersebut berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Kami serahkan urusan anak gadis kami ini kepadamu, wahai Rasulullah.” Lalu beliau pun menikahkannya dengan Julaibib.
Takdir yang Memisahkan
Rasulullah ﷺ berdoa untuk Julaibib dan sang putri shalihah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan hidupnya susah dan bermasalah.”
Sungguh doa yang indah. Di sini kita belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri dan menyalahkan takdir agar genaplah kepasrahan dan ketaatan kita pada Allah dan Rasul-Nya.
Tak mudah menjadi orang seperti Julaibib yang hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas.
Namun kebersamaan di dunia itu ditakdirkan-Nya tak terlalu lama. Julaibib yang tercibir di bumi telah dihajatkan di surga-Nya.
Ya, Julaibib turut berangkat ke medan Uhud untuk berperang bersama Rasulullah ﷺ. Di sanalah dia menemui takdirnya.
Saat Julaibib syahid, Sang Nabi ﷺ begitu kehilangan. Tapi beliau akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya.
Beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah di antara kalian ada yang terbunuh?”
Mereka menjawab, “Kami kehilangan fulan dan fulan.” Lalu beliau bertanya lagi, “Apakah di antara kalian ada yang terbunuh?”
Mereka menjawab, “Tidak ada lagi, wahai Rasulullah.” Lalu beliau berkata, “Akan tetapi sepertinya aku kehilangan Julaibib.” Lalu beliau berkata kepada para sahabat, “Coba cari Julaibib di antara orang-orang yang terbunuh!”
Lalu mereka pun mencarinya dan menemukannya tergeletak di antara tujuh orang musuh yang berhasil dibunuh oleh Julaibib sebelum akhirnya musuh berhasil membunuhnya.
Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah menemukan Julaibib tergeletak di antara tujuh orang musuh yang berhasil ia bunuh sebelum mereka berhasil membunuhnya.”
Lalu Rasulullah ﷺ mendekat dan berkata, “Julaibib telah berhasil membunuh tujuh orang musuh, sebelum akhirnya mereka berhasil membunuhnya. Ia adalah bagian dariku dan diriku adalah bagian darinya.”
Beliau mengulang ucapan ini sebanyak dua atau tiga kali.
Kemudian beliau mengangkatnya dengan kedua tangan beliau dan para sahabat menggali liang kuburan.
Rasulullah ﷺ juga lah yang memasukkan jasad sahabat mulia tersebut ke dalam liang kuburan, dan tidak disebutkan bahwa beliau memandikannya terlebih dahulu.
Hikmah dari Sebuah Kisah
Lihatlah, bagaimana keimanan dan ketakwaan kepada Allah adalah segalanya.
Secara fisik, Julaibib menjadi bahan cibiran manusia, tapi keimanan dan ketakwaannya menjadikan Rasulullah ﷺ sangat menyayanginya.
Lihatlah sabda terakhir beliau kepada jasadnya, “Ia adalah bagian dariku dan diriku adalah bagian darinya.” Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Mestinya kita iri kepada Julaibib. Keterbatasan fisiknya tidak menghalanginya untuk menjadi orang yang mulia di sisi Allah ﷻ. Demikian, semoga bermanfaat.
Sumber: Musnad Imam Ahmad, riwayat dari Abu Bakrah. Jilid 4:422.







