Kultum Ramadhan: Mengapa Kita Malas Beribadah?
Oleh Ammar Syarifuddin (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Download PDF di sini.
Ibadah adalah jembatan yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah. Ketika seorang hamba menjaga ibadahnya dengan baik, maka hubungannya dengan Allah pun akan baik.
Sebaliknya, jika ia tidak menjaga ibadahnya dengan baik, seperti bermalas-malasan dalam mengerjakannya atau bahkan lalai sampai tidak mengerjakannya, maka hubungannya dengan Allah akan terganggu, bahkan bisa terputus sama sekali.
Sungguh inilah kerugian yang nyata, rugi dunia dan akhirat. Wal ’iyadzu billah.
Karena sifat malas akan berakibat pada tidak harmonisnya hubungan seorang hamba dengan Allah, maka Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk berlindung dari sifat malas tersebut. Doa yang beliau ajarkan adalah
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, penakut dan pikun, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan, kematian, dan fitnah azab kubur.” (HR. Bukhari)
Sifat malas dalam beribadah juga menjadi ciri khas orang munafik. Sebagaimana firman Allah
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila mereka (orang munafik) berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142)
Agar kita terhindar dari penyakit malas ini, kita harus mengetahui sebab-sebabnya. Berikut beberapa sebab tersebut
Pertama, Berkubang dengan Maksiat
Berkubang dengan maksiat, khususnya dosa-dosa kecil, dapat menjadikan seseorang malas dalam beribadah. Mengapa dosa-dosa kecil? Karena kebanyakan manusia menganggap remeh dosa-dosa kecil.
Mereka tidak terlalu menghiraukannya, seakan-akan melakukannya adalah sebuah kewajaran. Adapun dosa besar, maka pengaruhnya lebih besar lagi.
Ketika seorang hamba bergelimang dengan dosa-dosa, Allah akan menghukumnya. Salah satu hukumannya adalah ia tidak bisa merasakan nikmatnya ibadah kepada Allah. Ibadah terasa hambar hingga ia malas mengerjakannya.
Ibnul Qayyim berkata, “Salah satu hukuman dari maksiat adalah susah mengerjakan ketaatan.”
Imam Ats-Tsauri bercerita, “Aku tidak mampu mengerjakan shalat malam selama lima bulan berturut-turut gegara satu dosa.”
Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Dosa apa yang Anda lakukan?”
Beliau menjawab, “Suatu hari saya melihat seseorang yang sedang shalat sambil menangis. Maka saya bergumam di dalam hati, ‘Ah, pamer.’”
Demikianlah efek buruk dari maksiat. Hanya karena dosa buruk sangka—padahal buruk sangka itu belum terucap—Allah menegur sang ulama tersebut dengan kesulitan mengerjakan qiyamul lail selama lima bulan berturut-turut. Jika demikian dengan ulama, lantas bagaimana dengan kita?
Kedua, Melupakan Kematian
Ketika seorang hamba lupa bahwa dirinya akan mati, lupa bahwa setelah kematian ada pertanggungjawaban amal, maka ia akan meremehkan perintah dan larangan Allah. Ia tidak peduli dengan baik dan buruk perangainya. Ia hanya memikirkan bagaimana hasrat duniawinya bisa terpenuhi.
Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan kita untuk banyak mengingat kematian. Beliau bersabda
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (kematian).” (HR. An-Nasai)
Imam Ad-Daqaq menjelaskan bahwa banyak mengingat kematian sangat bermanfaat bagi seorang Muslim. Beliau berkata
مَنْ أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ أُكْرِمَ بِثَلاَثَةٍ : تَعْجِيْلِ التَّوْبَةِ، وَبِقَنَاعَةِ الْقَلْبِ، وَبِنَشَاطِ الْعِبَادَةِ
“Siapa yang banyak mengingat kematian, dia akan dimuliakan dengan tiga hal: segera bertaubat, hati yang qana’ah, dan rajin beribadah.”
Ketiga, Berlebih-lebihan dalam Perkara Mubah
Yaitu berlebih-lebihan dalam makan, minum, berbicara, pakaian, kendaraan, dan hal-hal lain yang sifatnya mubah. Berlebih-lebihan dalam perkara mubah berakibat pada kerasnya hati.
Sementara itu, membatasi perkara-perkara yang mubah memberikan banyak manfaat bagi seseorang, seperti jernihnya pikiran dan hati, sehat jasmani dan rohani, serta giat mengerjakan kebaikan dan ketaatan.
Oleh karena itu, Allah menjanjikan pahala yang besar untuk orang yang berpuasa, karena dengan berpuasa seseorang sedang mengekang syahwat perut dan kemaluannya.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Sejak usia 17 tahun, saya tidak pernah kenyang. Karena kenyang menjadikan badan terasa berat, hati keras, kecerdasan berkurang, mudah tidur, dan malas beribadah.”
Demikian juga, Allah menjanjikan pahala yang besar untuk qiyamul lail. Karena qiyamul lail mengekang syahwat tidur. Ketika seseorang banyak tidur, maka ia akan melewatkan banyak sekali kebaikan-kebaikan.
Semoga kita diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah untuk menghindari penyebab malas ibadah ini. Aamiin.