Kultum Ramadhan: Zuhud dan Tawakal Salim bin Abdullah
Oleh Ammar Syarifuddin (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Download PDF di sini.
Ketika Khalifah Sulaiman mengerjakan thawaf di musim haji, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di hadapan Ka’bah dengan khusyuk. Air matanya meleleh di kedua pipinya, seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.
Usai thawaf dan shalat dua rakaat, Khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat hingga ia bisa duduk bersimpuh dan menyentuh kaki Salim. Namun, Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan zikirnya.
Diam-diam Khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, Khalifah segera menyapa,
Khalifah: “Assalamualaikum warahmatullah, wahai Abu Umar.”
Salim: “Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”
Khalifah: “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda, wahai Abu Umar. Saya akan memenuhinya.”
Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga Khalifah menyangka ia tidak mendengar kata-katanya.
Sambil merapat, Khalifah mengulangi permintaannya, “Saya ingin Anda menyampaikan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”
Salim: “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”
Khalifah terdiam malu, tetapi ia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika shalat usai, Salim bangkit hendak pulang.
Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadits, ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan ada pula yang meminta untuk didoakan.
Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Mengetahui hal tersebut, orang-orang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya bisa mendekati Salim dan berkata,
Khalifah: “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”
Salim: “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah: “Tentunya dari kebutuhan dunia.”
Salim: “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang Memilikinya. Bagaimana saya meminta kepada yang bukan pemiliknya?”
Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Ia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa, wahai keturunan Al-Khattab. Alangkah kayanya kalian dengan Allah ﷻ. Semoga Allah ﷻ memberkahi kalian sekeluarga.”
Bergantung Hanya Kepada Allah
Kisah di atas adalah kisah yang luar biasa tentang seorang hamba yang tingkat ketergantungannya kepada Allah ﷻ sudah mencapai puncaknya hingga sama sekali tidak bergantung kepada manusia.
Ada dua pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah di atas.
Pertama, setiap hamba telah dijamin rezekinya oleh Allah ﷻ.
Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab yakin betul bahwa setiap hamba sudah dijamin rezekinya oleh Allah ﷻ. Keyakinan inilah yang membuatnya tidak pernah meminta urusan dunia kepada selain Allah ﷻ.
Allah ﷻ berfirman, “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud: 6)
Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Jibril menyampaikan wahyu ke hatiku bahwa seseorang tidak akan mati hingga sempurna rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Sikap Salim yang tidak pernah meminta dunia kepada Allah ﷻ adalah pilihan. Jika kita merasa mampu mengikutinya, silakan. Namun, jika tidak mampu, meminta dunia kepada Allah ﷻ bukanlah sesuatu yang tercela.
Allah ﷻ dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk meminta segala sesuatu kepada Allah.
Sebagaimana firman-Nya, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doa kalian. Sungguh, orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Dan sabda Rasulullah ﷺ, “Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sandal sekalipun.” (HR. Al-Baihaqi)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Para salaf dahulu meminta kepada Allah dalam shalatnya segala kebutuhannya, bahkan sampai garam untuk adonannya dan tali kekang untuk kambingnya.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1/225)
Kedua, kemuliaan seseorang adalah ketika tidak berharap apapun pada manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin terletak pada shalat malam, dan kehormatannya adalah rasa kecukupan dari manusia.” (HR. Thabrani)
Nabi kita yang mulia mendidik para sahabat dengan prinsip ini. Mereka diajarkan untuk tidak bergantung pada manusia, tidak meminta-minta kepada manusia, bahkan beliau pernah mengambil janji setia untuk hal ini.
Sahabat ‘Auf al-Asyja’i berkata, “Saya menyaksikan sendiri, di antara orang yang telah mengambil janji tersebut tidak mau meminta tolong kepada orang lain, bahkan untuk mengambilkan cambuk hewannya yang terjatuh.” (HR. Muslim)
Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab memegang prinsip ini dengan kuat hingga mencapai kemuliaan yang dimaksudkan oleh Nabi ﷺ.
Khalifah Sulaiman menyatakan ketakjubannya kepada Salim dalam urusan ini, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa, wahai keturunan Al-Khattab. Alangkah kayanya kalian dengan Allah ﷻ. Semoga Allah ﷻ memberkahi kalian sekeluarga.”
Demikian, semoga bermanfaat.