Menjama’ Shalat Karena Hujan
oleh Ryan Arif
Sholat adalah ibadah yang sangat mulia, yang menjadi standar lahiriyah tegaknya agama pada diri seorang hamba. Sebagaimana telah diketahui bahwa suatu ibadah tidak akan diterima kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlash dan ittiba’. Ikhlash artinya mempersembahkan ibadah tersebut hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala saja, sedangkan ittiba’ maknanya melaksanakannya sesuai tata cara yang dituntunkan oleh Nabi sholallahu alaihi wa sallam.
Bersamaan dengan datangnya musim hujan, pembicaraan tentang boleh dan tidaknya menjama’ antara dua shalat karena hujan semakin ramai. Sebagian orang menyikapinya berlebih-lebihan sehingga mereka menjama’ shalat karena sekedar gerimis atau bahkan sekedar mendung. Sebagian lain sebaliknya, mengingkari dan meninggalkan syari’at ini secara keseluruhan, sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi kita.
Tidak diragukan lagi pentingnya masalah shalat ini, dan kesalahan dalam hal ini adalah suatu kesalahan besar yang berkaitan dengan salah satu rukun agama Islam yang harus ditegakkan dengan benar.
Pengertian Menjamak Sholat
Menjamak adalah menggabungkan salah satu diantara dua sholat dengan sholat yang lainnya. Pengertian ini sudah mencakup jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Pada pernyataan ‘menggabungkan salah satu sholat dengan sholat yang lainnya’ yang dimaksud dengan pengertian ini adalah sholat yang boleh digabungkan/dijamak antara keduanya, maka tidaklah termasuk dalam pengertian ini misalnya menggabungkan antara sholat ‘ashar dengan sholat maghrib; (itu tidak boleh dikerjakan-) karena jenis sholat maghrib berbeda dengan jenis sholat ‘ashar, sholat ‘ashar termasuk sholat nahariyah (yang dikerjakan di waktu siang) sedangkan sholat maghrib termasuk jenis sholat lailiyah (yang dikerjakan di waktu malam). Begitu pula tidak termasuk dalam pengertian ini menggabungkan antara sholat ‘Isyak dengan sholat Fajar (shubuh-), karena waktu keduanya terpisah satu sama lain (Syarhul Mumti’ jilid 4 halaman 547.)
Hukum Menjamak Sholat
Di antara beberapa perbedaan pendapat yang ada maka pendapat yang benar adalah bahwasanya hukum menjamak sholat adalah Sunnah apabila memang terdapat sebab yang membolehkannya. Hal ini disebabkan 2 alasan:
1. Pertama, menjamak adalah termasuk keringanan (rukshsoh) yang dikaruniakan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla, sedangkan Alloh Ta’ala senang apabila rukhshohnya dikerjakan.
2. Kedua, karena dalam perbuatan ini (menjamak-) terkandung sikap meneladani Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pun melakukan jamak ketika ada sebab yang membolehkan untuk itu.
Dan bahkan sangat mungkin perkara ini termasuk dalam keumuman sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat sholat yang kulakukan.” (HR. Bukhori)
Penyebab Dijamaknya Sholat
Secara umum ada tiga sebab yang membolehkan seseorang melakukan jamak yaitu: karena safar (bepergian), karena hujan dan karena suatu kebutuhan tersendiri (bukan karena safar atau hujan). Selain tiga sebab di atas ada juga sebab yang lain yaitu karena sakit yang menyebabkan dia susah untuk mengerjakan kedua sholat itu secara terpisah, karena tanah sepanjang perjalanan menuju Masjid dipenuhi lumpur sehingga menyulitkan perjalanan ke sana atau karena tiupan angin dingin yang sangat keras sehingga menghambat perjalanan ke masjid.
Syaikh Al Utsaimin menyimpulkan bahwa sebab yang membolehkan jamak adalah: safar, sakit, hujan, timbunan lumpur, angin dingin yang bertiup kencang, akan tetapi bukan berarti sebabnya hanya lima perkara ini saja, karena itu sekedar contoh bagi pedoman umum (yang membolehkan jamak) yaitu karena disebabkan adanya al masyaqqah (kesulitan yang menimpa orang yang hendak sholat). Oleh karena itu pula seorang wanita yang terkena istihadhah (penyakit keluarnya darah dari kemaluan wanita secara terus menerus) diperbolehkan untuk menjamak antara sholat Zhuhur dengan ‘Ashar atau antara sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak karena kesulitan yang menimpanya jika harus berwudhu untuk setiap kali hendak sholat. Begitu juga dibolehkan jamak bagi seorang musafir apabila sumber air (untuk wudhu-) letaknya amat jauh sehingga menyulitkannya apabila harus pergi ke sana setiap kali hendak sholat (dari Syarhul Mumti’ halaman 553-559).
Sebagaimana telah disinggung di atas, turunnya hujan merupakan salah satu sebab yang membolehkan (baca: hukumnya sunnah) kita menjamak sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak, Dan antara sholat dhuhur dengan sholat ashar.
Dalil Disyari’atkannya Menjama’ Shalat Karena Hujan
أخبرنا أبو الحسن الشيزي, أنا زاهر بن أحمد, أنا أبو إسحاق الهاشمي , أنا أبو مصعب , عن مالك , عن أبي الزبير المكي , عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر : عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا, وَ المَغْرِبَ وَالعِشَاءَ جَمِيْعًا, فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ, قَالَ مَالِكُ : أَرَى ذَلِكَ كـَانَ فِيْ مَطَرِ .
Artinya : Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata : “Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar dan antara shalat maghrib dan isya’ di luar waktu yang menakutkan dan di luar waktu safar. Malik berkata : saya berpendapat itu adalah pada waktu hujan.” (Hadits shahih riwayat Al Bukhari: 543, 562 dan 1174)
Dalam riwayat yang lain dari Imam Muslim
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر : عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا بِالمَدِيْنَةَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ, قَالَ أَبُوْ الزُّبَيْرِ : فَقُلْتُ لِسَعِيْدِ بنِ جُبَيْر: لِمَ فَعَلَهُ ؟ قَالَ : سَأَلْتُ ابنُ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِيْ , فَقَالَ: لِئَلاَ يَحْرَجَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِهِ.
Artinya: Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata : Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar di kota Madinah tidak karena takut ataupun safar. Abu Zubair berkata : aku berkata pada Sa’id bin Jubair, kenapa beliau mengerjakannya ? ia berkata : aku telah bertanya kepada Ibnu Abbas seperti apa yang telah engkau tanyakan (kepadaku), ia (Ibnu Abbas) berkata: supaya tidak kesusahan seorangpun dari umatku. (Hadits riwayat muslim: no. 50/705 )
Pendapat Para Ulama’
Para ulama’ saling berselisih tentang bolehnya menjama’ shalat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’ dikarenakan hujan tapi tidak ketika safar.
§ Pendapat Yang Membolehkan
Dari mereka ada yang membolehkan diantaranya adalah ; Ibnu Umar, Said bin Musayab, Umar bin Abdul Aziz, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan kebanyakan fuqaha’ Madinah. Itu juga merupakan pendapat Malik, Asy-Syafi’ie, dan Ahmad.( Syarhus Sunnah: 3/ 112)
Imam Asy Syafi’I berkata :”Disyari’atkan menjama’ dzuhur dan ashar.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab:4/ 321).
Imam Malik mengkhususkan menjama’ pada shalat maghrib dan isya’ saja. (Bidayatul Mujtahid:1/ 173)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Diperbolehkan menjama’ Shalat dalam keadaan yang sangat dingin, gelap gulita dan semisalnya. Meskipun belum turun hujan, ini adalah yang lebih benar dari dua pendapat diantara ulama’ dan yang demikian itu adalah lebih utama daripada shalat di rumah, bahkan meninggalkan jama’ dalam shalat di rumah adalah bid’ah yang menyelisihi sunnah. Adapun yang sunnah adalah melaksanakan shalat yang lima di masjid secara berjama’ah dan yang demikian itu adalaha lebih utama daripada shalat di rumah menurut kesepakatan para ulama’.” Al Fatawa Al Kubra: 2/ 350, no. 293/209
Imam Malik ditanya tentang suatu kaum yang rumahnya dekat denga masjid, untuk melangkah ke masjid saja hanya membutuhkan beberapa langkah. Juga mereka yang rumahnya jauh dari masjid. Bagaimana menurut pendapat anda tentang mereka apakah semuanya diperkennaakan unutk menjama’ shalat ketika turun hujan?, beliau berkata:”Aku tidak mengetahuisuatu kaum ketika adanya shalat jama’, melainkan semuanya ikut, baik yang rumahnya dekat ataupun jauh adalah sama saja.”( Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin, hal. 424)
Imam Asy-Syafi’ie dan Abu Tsaur mensyaratkan hendaknya hujan itu terjadi (turun) ketika mulai memasuki waktu shalat pertama (dzuhur atau maghrib) dan hujan belum berhenti sampai shalat yang kedua (ashar atau isya’) dilaksanakan. Sedangkan ulama’ yang lain tidak mengsyaratkan seperti itu. Dan disyaratkan juga dilakukan di masjid yang digunakan untuk melaksanakan shalat jama’ah. Imam Malik menambahkan dari perkataan Umar bin Abdul Aziz hendaknya jama’ itu dilakukan ketika hujan yang mengakibatkan tanah itu basah (becek) dan ketika dalam keadaan gelap (langit menjadi gelap karena hujan mendung). Syarhus Sunnah: 3/ 112
Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Sedangkan ulama’ yang tidak membolehkan menjama’ shalat karena hujan adalah Al-Auza’ie dan ashaburro’yi. (Syarhus Sunnah: 3/ 112) serta Abu Hanifah dan Al Mazani. (AL Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab: 4/ 321)
Menurut Abu Hanifah menjama’ dua shalat secara mutlak, baik dzuhur dan ashar maupun maghrib dan isya’ dalam satu waktu adalah tidak dibolehkan. (Ad Dinul Khalis: 4/ 54 dan Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab: 4/ 321)
Dafatar Pustaka
– Syarhul Mumti’ Karya Syaikh Al Utsaimin, Jilid 4 Halaman 547. Kitab Sholat: Bab Sholatnya Orang Yang Mendapat Udzur.
– Al Wajiz Fii Fiqhi Sunnati Wal Kitabil ‘Aziiz Karya Syaikh Abdul ‘Azhim Bin Badawi, Penerbit Daar Ibnu Rajab Cetakan I .
– Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab.
– Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’il Mushallin.
– Al Fatawa Al Kubra, Syaikh Ibnu Taimiyah.
– Ad Dinul Khalis.