Oleh: Syamsurrizal
Kaum muslimin senantiasa ditempa fitnah, baik yang bersifat syahwat maupun syubhat,[1] terutama bagi orang-orang yang hatinya sakit, dan lalai dari mengingat Allah.[2] Perang pemikiran yang digelontorkan oleh musuh-musuh Islam adalah salah satu sebab tersebarnya fitnah syubhat di kalangan umat.
Tidak puas dengan bentrokan fisik, sebab selalunya kaum muslimin unggul dalam hal ini. Musuh-musuh Islam mencari celah agar Ukhuwah Islamiyah rapuh. Karena ternyata Ukhuwah Islamiyah memiliki peran yang sangat besar mempertahankan bangunan Islam. Diantara langkah untuk menghancurkan Ukhuwah Islamiyah, mereka menyebarkan isme-isme atau paham-paham yang menyebabkan umat Islam bingung dan tidak lagi meninggkan nilai-nilai Islam. Walhasil, justru umat Islam berbangga-bangga dengan produk yang bersumber dari musuh-musuhnya.
Diantara isme-isme itu, mereka menggagas paham nasionalisme dalam bernegara. Kini loyalitas yang seharusnya diberikan kepada Aqidah Islam menjadi setia kepada nasionalisme. Nasionalisme inilah yang mereka jadikan alat hingga banyak menimbulkan dampak buruk bagi kemajuan Islam dan kaum muslimin. Nasionalisme ini yang menjadi salah satu sebab runtuhnya Daulah Islamiyah Turki Utsmani.[3]
Nasionalisme juga menyuburkan berbagai macam konflik, pada awalnya manusia bernaung di bawah payung yang satu yaitu Khilafah Islamiyah, kini mereka terpecah menjadi kurang lebih 70 negara-negara kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Bahkan yang kita rasakan sendiri antara Indonesia dan Malaysia hingga sekarang terus bersengketa, mulai dari teritorial, budaya, dan yang lainnya. Berawal dari rebutan wilayah Kalimantan, Serawah atau Sabah, hingga terus merembet dengan saling klaim kepemilikan budaya, tari pendet, angklung, keris, reog Ponorogo, kain batik, lagu kebangsaan, hingga masalah kedaulatan Ambalat. Ajakan “ganyang Malaysia” pun terus bergulir di Tanah Air.[4]
Dewasa ini, ide nasionalisme muncul dipermukaan kembali, yang disandingkan untuk memperkuat syubhat terbaru mereka yaitu Islam Nusantara. Sekan-akan memberikan kesan, seorang muslim yang antipati dengan ide baru yang mereka usung berarti antipati pula dengan nasionalisme. Dan yang sangat menyedihkan, yang berada digarda terdepan memperjuangkan ide nasionalisme dan Islam Nusantara sebagiannya adalah kalangan elit-elit dari kaum muslimin.[5]
Meskipun tidak dipungkiri, ada dari kalangan pemikir dan pergerakan Islam yang banyak menjadi rujukan kaum nasionalis atau paling tidak yang mendukung ide nasionalisme. Contohnya Hassan al-Banna, secara dhahir (tampak) sekilas pendapat Hasan al-Banna setuju dengan ide nasionalisme tersebut, namun bila ditelisik lebih dalam kita akan menemukan perbedaan persepsi antara Al-Banna dengan para nasionalis berkenaan dengan makna dan pemanfaatan ide tersebut.[6] Di satu sisi, Al-Banna adalah seorang cendikiawan sekaligus mujahid yang berjuang untuk persatuan Islam yang berada di bawah Khilafah Islamiyah.
Oleh sebab itu, kajian tentang kelemahan, kesalahpahaman, dan kesesatan ide nasionalisme menjadi sangat penting untuk disegarkan kembali. Terlebih lagi menjelaskan pertentangannya dengan prinsip Islam, sumber pemikiran dan tujuan dari penyebaran paham nasionalisme di dunia Islam, agar umat menyadari sepenuhnya hakikat persatuan yang dibangun oleh Islam adalah impian seluruh manusia, karena hal itulah solusi berbagai persoalan yang ada di jagad raya.
PROGRESS PEMBANGUNAN KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata Nation yang berarti bangsa.[7] Secara etimologis, term nasionalisme, natie, national, kesemuanya berasal dari bahasa latin, yakni natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio ini berasal nascie yang berarti dilahirkan.[8]
Nasionalisme terdiri dari dua kata : nasional dan isme. Kata nasional mempunyai arti : kebangsaaan, 2) bersifat bangsa. Sedangkan isme adalah paham atau ajaran. Jadi nasionalisme adalah Paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri atau kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.[9]
Hans Kohn menyatakan, “ Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan.”[10]
Nasionalisme, dalam arti sempit, adalah suatu paham kebangsaan yang memandang superioritas bangsanya dibanding bangsa lain. Paham ini dianut pada masa Adolf Hitler di Jerman atau Bennito Mussolini di Italia. Sementara, dalam arti luas, nasionalisme memandang suatu bangsa sederajat sekaligus bagian dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Singkatnya, nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan etnis, ruang geografis, atau pengalaman sejarah, serta kepentingan untuk hidup bersama dalam satu kesatuan sebagai bangsa yang merdeka.
Dalam literatur bahasa Arab, terdapat kosa kata yang bermakna mirip nasionalisme, biasa disebut dengan qaumiyah, wathaniyah, syu’ubiyah atau ummiyyah. Kalimat qaumiyyah berasal dari kata qaumun, kata wathaniyah berasal dari kata wathan dan kata ummiyyah berasal dari kata ummah. Semuanya bermakna faham kebangsaan dan tanah air.[11]
Sejarah Nasionalisme Dalam Dunia Islam
Jauh sebelum Nasionalisme/qaumiyyyah ini menjadi sebuah gerakan yang tersebar luas, sudah ada bibit-bibitnya sejak berdirinya Ad-Daulah Al-Islamiyah yang pertama di Madinah. Tatkala seorang Yahudi yang bernama Syas bin Qais menyuruh seorang penyair membacakan syair-syair yang mengingatkan kaum muslimin dari suku Aus dan suku Khazraj pada perang Buats, perang yang terjadi diantara mereka selama berpuluh-puluh tahun lamanya sebelum mereka mengenal Islam (zaman jahiliyah). Ketika itu, sebagian mereka hampir saja terbuai dan terpengaruh dengan syair-syair tersebut, hingga mereka berteriak ‘Senjata senjata’ yang menunjukkan keinginan mereka untuk berperang kembali. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menenangkan dan menasihati mereka.[12]
Dalam sejarah, nasionalisme di dunia Islam tidak datang dengan sendirinya dari benak dan pikiran kaum muslimin, melainkan masuk melalui sekolah-sekolah asing yang didirikan di wilayah Daulah Khilafah Islamiyah, dari para pelajar Islam yang belajar di dunia barat, para misionaris maupun agen-agen asing yang menyusup Daulah Khilafah Islamiyah. Hal ini terbukti dengan adanya American University of Beirut, Libanon. Universitas ini menyebabkan orang semacam Anthony Sa’dah, tokoh nasionalis Syiria yang membangkitkan sentimen nasionalisme, yang menyebabkan masyarakat Islam terpecah belah ke dalam berbagai golongan dan kelompok.[13]
Diantara yang membawa syiar nasionalisme ini orang-orang Kristen Suriah dan Libanon. Mereka datang setelah mendapatkan izin dari Sulthan Mahmud yang telah merobohkan Daulah Utsmaniyah, ketika terjadinya fatrah pada masa Muhammad Ali Basya. Ia mengizinkan masuknya delegasi, kedutaan dan utusan-utusan ke wilayah Islam. Akibatnya, mereka mengadakan kolusi untuk merobohkan daulah yang sedang sakit ini. Sekitar tahun 1820-an gerombolan dari Amerika mengirimkan delegasi-delegsinya dan mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan perjanjian lama dan perjanjian baru dalam rangka membantu kaum muslimin dan memberikan fasilitas untuk orang-orang Kristen Libanon yang hendak mempelajarinya. Sebab, jika mereka pergi belajar ke Amerika, mayoritas tidak kembali lagi. Dan lebih memudahkan, karena mereka bisa menggunakan bahasa mereka sendiri.[14] Syekh Abdullah Nashih Ulwan menegaskan bahwa Motif yang mendasari berkembangnya gerakan qaumiyyah di dunia Islam bermula saat Yahudi pengikut zionisme mulai berusaha untuk mengambil alih Baitul Maqdis dan menguasai Palestina.[15]
Sejak berakhirnya Perang Dunia I, bangsa-bangsa Eropa secara praktis telah menjajah sebagian besar dunia Muslim: Inggris menguasai Mesir, Palestina, TransJordan, Irak, Teluk Arab, Anak Benua India, dan Asia Tenggara; Prancis menguasai Afrika Barat dan Utara, Libanon dan Syiria; dan Belanda menjajah Indonesia.[16]
Pada tahun 1924, Mustafa Kamal Attaturk membubarkan Daulah Khilafah islamiyah yang berpusat di Turki Utsmani yang telah berhasil menjadikan negara Islam terbesar lebih kurang selama enam abad. Ia menggantikan khilafah dengan sistem nasionalis-sekuler ala barat. Dunia Islam pun berkeping-keping dan semakin didomonasi oleh kolonial Barat khususnya Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Rusia.[17]
Kemudian gerakan nasionalisme terjadi di sebagian besar wilayah Islam tatkala sudah dikuasai Barat Kristen, baik di bidang politik, ekonomi, maupun militer yang mengakibatkan runtuhnya susunan politik Islam tradisional yang kemudian terjadilah perlawanan untuk menentang intervansi kolonialis tersebut. Diantaranya adalah munculnya para tokoh gerakan Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, dengan seruannya menentang imperialisme dan mengusahakan kebebasan, meningkatkan kesadaran intelektual yang berakar pada sikap kembali kepada Islam.[18]
Gejala ini telah menimbulkan tiga kelompok pemikir dalam masyarakat muslim, yaitu:
- Kelompok sekuleris, mereka menyatakan bahwa apabila umat Islam ingin maju, maka ia harus meniru Barat dalam segala halnya: pendidikan, politik, militer, hukum, lembaga-lembaga ekonomi, danjuga tradisi. Kelompok ini merupakan kelompok elit yang biasanya memiliki latar belekang pendidikan Barat.
- Kelompok tradisional, kelompok yang terdiri dari para ulama ortodok dan kalangan penduduk yang menolak segala sesuatu yang bercorak Barat, karena hal itu dirasakan sebagai ancaman bagi way of lifenya. Mayoritas umat Islam berada dalam kategori ini.
- Kelompok reformis, kelompok ini meresakan bahwa setelah melakukan interpretasi secara benar, Islam merupakan solusi bagi penyakit-penyakit umat Islam. Kemerosotan dunia muslim, mereka menyatakan, disebabkan oleh kegagalan umat Islam dalam menjalankan nilai-nilai Islam yang benar dan menekanakan pada pemikiran-pemikiran hukum yang lama. Mereka juga menganjurkan pengambilan dengan cara selektif keberhasilan-keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dalam rangka memajukan umat Islam.[19]
Baca Juga; Sedekah Mencegah Bencana
Nasionalisme Menurut Pandangan Islam
Paham nasionalisme yang dihembuskan musuh-musuh Islam untuk merusak ukhuwah kaum muslimin. Wathaniyah, syu’ubiyah, ummiyah atau qaumiyah akan membatasi sikap wala[20] hanya lingkup negaranya sendiri, termasuk di dalamnya berwala kepada orang Yahudi, Nasrani, dan Islam tanpa mempedulikan perbedaan aqidah diantara mereka. Ikatan Islam adalah ikatan aqidah, lebih utama dibandingkan wathaniyah. Islam adalah umat yang satu, disatukan oleh satu kalimat “Laa illaha illallah Muhammad Rasulullah”. Terutama yang dirasakan pada masa tiga generasi awal Islam, karena mereka sadar bahwa mereka itu ummatan wahidah, yang berada di bawah satu dien (Islam), di bawah satu kitab, di bawah satu sunnah, dan di bawah satu syariat.[21]
Sebelum kita membahas pendapat para ulama berkenaan tentang qaumiyyah ini. Sebenarnya para pengasung paham nasionalisme mengingatkan kita kepada seorang laki-laki Arab Badui (orang desa pelosok), ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah disyariatkannya shalat, lantas ia berdo’a sambil mengangkat kedua tangannya,
اللهم ارحمني و محمدا و لاترحم أحدا بعدنا أو غيرنا
“Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah kau berikan rahmatMu kepada seorang pun selain kami.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali, “ Sungguh engkau telah menghalangi (rahmatullah) dari banyak orang dan mempersempitnya.”[22]
Para ulama menjelaskan bahwa paham nasionalisme akan berbuah kenyataan pahit yang harus ditelan umat Islam, sebab paham nasionalisme membuahkan beberapa hal yang bertentangan dengan Islam, diantaranya ;
- Terkandung Unsur Kesyirikan
Terkait dengan paham nasionalisme Syekh Muhammad Said al-Qahthani menjelaskan :
“Bahwa Nasionalisme merupakan salah satu bentuk kesyirikan, karena dia akan menuntut seseorang untuk berjuang membelanya, dan membenci setiap kelompok yang menjadi musuhnya – tanpa melihat muslim atau bukan -, dengan demikian secara tidak langsung ia telah menjadikannya sebagai tandingan Allah”.[23]
Bahkan Muhammad Qutb[24] meletakkan faham Nasionalisme sejajar dengan faham-faham sesat lainnya seperti komunisme, sekulerisme, demokratisme, yang nota benenya bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karenanya wajar apabila beliau mengatagorikannya sebagai salah satu yang bisa membatalkan ke-Islaman seseorang. Beliau beralasan, bahwa paham – paham itu mengajarkan pengikutnya untuk memisahkan Islam dari kehidupan nyata.
Pernyataan Muhammad Quthb cenderung memberikan penjelasan bahwa paham nasionalisme merupakan bentuk kekafiran (meskipun tidak semerta-merta seseorang keluar dari Islam). [25] Karena harus ada dhawabit (rambu-rambu) yang harus diperhatikan. Karena, dalam dimensi Ahlussunnah wal jamaah, seseorang dikafirkan setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada lagi penghalang-penghalangnya.
Tegasnnya, faham Nasionalisme adalah pemahaman yang sangat membahayakan aqidah Islam.”[26]
- Kerusakan Aqidah Al-Wala’ wal Bara’
Seorang muslim harus mengetahui kepada siapa ia memberikan wala’ dan bara’nya. Di dalam Al-Quran Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjelaskan wala’ orang-orang mukmin hanya kepada Allah, RasulNya, dan kaum muslimin, sedangkan bara’ itu diberikan kepada orang-orang kafir.
Syeikh Hamad bin Atiq[27], pernah menyebutkan urgensi Al-Wala’ dan Al-Bara’ di dalam kehidupan umat, salah satu tulisannya adalah :
“Bahwa tidak ada suatu hukum paling jelas yang disebutkan dalam Al-Qur’an, setelah kewajiban bertauhid dan haramnya syirik kecuali masalah Al-Wala’ dan Al-Bara’.”[28]
Sayyid Quthb menyatakan dalam dalam kitab tafsirnya :
“Demikianlah manusia terbagi menjadi dua partai besar, partai Allah dan partai Setan, menjadi dua bendera, bendera kebenaran dan bendera kebatilan. Seseorang hanya bisa memilih salah satu dari keduanya, tidak ada bendera kekeluargaan atau kekerabatan, tidak ada bendera tanah air maupun kesukuan, yang ada hanyalah bendera aqidah.”[29]
Sangat berbeda dengan toleransi menurut paham nasionalisme, seluruh manusia yang berada dalam lingkup negaranya diberikan hak-haknya secara merata dan tanpa mempedulikan apakah ia Muslim, Nasrani, Yahudi, atau Majusi.[30]
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada ashabiyah, bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar ashabiyah, bukan termasuk umatku orang yang mati di atas ashabiyah.”[31]
Islam tidak kenal dengan yang namanya nasionalisme. Dalam artian, faham itu tidak diajarkan oleh Islam, bahkan harus dijauhi dan tidak boleh diperjuangkan. Dalam Islam, faham seperti ini termasuk dalam ashabiyah. Rasulullah mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dengan satu landasan yaitu akidah Islamiyah. Bukan karena landasan nasionalisme atau yang lainnya. Rasulullah mengumpamakan kita seperti satu tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Dalam sejarah, di kota Madinah, saat Rasulullah bersama para sahabatnya menguasai dan menggeser kedudukan kaum Yahudi, baik dari sisi pollitik, ekonomi, dan militer. Ditambah dengan bersatunya dua suku besar, Aus dan Khazraj di bawah naungan Islam. Hal ini, memberikan pukulan telak bagi orang-orang Yahudi, sehingga salah seorang Yahudi yang bernama Syas bin Qais, ia merupakan orang yang sangat tidak rela bersatunya dua suku besar tersebut, mengirimkan seorang penyair agar membacakan syair-syair Arab Jahiliyah yang biasa mereka pakai dalam perang Buats.[32]
Penyair suruhan Syas berhasil mempengaruhi jiwa sekumpulan kaum Anshar dari kalangan Aus dan Khazraj di suatu tempat di kota Madinah. Syair jahiliyah tersebut mengantarkan mereka kepada perasaan kebanggaan dan kepahlawanan mereka di masa jahiliyah dalam medan perang Buats. Perasaan kebangsaan dan kepahlawanan kaum Aus maupun Khazraj itu memuncak hingga mereka lupa bahwa mereka sesama muslim. Yang Aus merasa Aus dan yang Khazraj merasa Khazraj. Dalam puncak emosi perang itu mereka akhirnya berteriak-teriak : “Senjata-senjata!”
Dalam situasi kritis itulah, Rasulullah datang bersama pasukan kaum muslimin untuk melerai mereka. Rasulullah SAW bersabda: “Wahai kaum muslimin, apakah karena seruan jahiliyah ini (kalian hendak berperang) padahal aku ada di tengah-tengah kalian. Setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dan dengan Islam itu Allah muliakan kalian dan dengan Islam Allah putuskan urusan kalian pada masa jahiliyah. Dan dengan Islam itu Allah selamatkan kalian dari kekufuran. Dan dengan Islam itu Allah pertautkan hati-hati kalian. Maka kaum Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari syaitan dan tipuan kaum kafir sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah SAW. dengan senantiasa siap mendengar dan taat…”[33]
Mengenai hakikat nasionalisme, paham nasionalisme merupakan kedustaan yang ditanamkan ke dalam hati kaum muslimin terutama, pada awalnya paham ini mengajak seseorang untuk mencintai negaranya, akan tetapi tujuan final dari nasionalisme adalah mencerai-beraikan ikatan dien (Islam) dan membatasi setiap negara dengan teritorial masing-masing, serta berwala (memberikan loyalitas) kepada penduduk negaranya sendiri tanpa memandang perbedaan agama atau akidah mereka.[34]
Meskipun demikian, bukan berarti Islam melarang seseorang untuk mencintai tanah kelahirannya, padahal fitrah atau insting untuk mencintai tanah air sudah pasti dimiliki setiap individu, sebagaimana para sahabat pun merindukan Makkah tatkala berada di Madinah, mereka merindukan bukit-bukit, lembah-lembah, dan pepohonan di Makkah, bahkan ada diantara mereka yang mengekspresikan kerinduannya dengan melantunkan syair.
Diriwayatkan tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal Radhiyalahu ‘anhuma terserang penyakit demam. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Lalu aku masuk menemui mereka. Dan aku bertanya kepada keduanya, ‘Wahai ayah apa yang engkau rasakan? Wahai Bilal apa yang engkau rasakan?’ Aisyah berkata, “ Adapun Abu Bakar bila demam ia mengatakan,
‘Setiap manusia mendatangi keluarganya pada pagi hari,
padahal kematian lebih dekat daripada tali sandal seseorang’,
Sementara Bilal bila demam ia mengatakan,
‘Seandainya saja aku dapat tidur di suatu malam
Di suatu lembah yang dikelilingi idzkhir dan orang yang mulia
Semoga saja pada suatu hari nanti aku bisa mengambil air majannah
Semoga saja tanda dan bayangan tampak bagiku.
Aisyah berkata, “ Lalu aku mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan keadaan tersebut. Beliau bersabda, ‘Ya Allah, anugrahilah kecintaan terhadap Madinah kepada kami sebagaimana kecintaan kami kepada Makkah bahkan lebih dari itu lagi. Jadikanlah ia tempat yang sehat, berkahilah sha’dan mudd (timbangan) penduduknya serta pindahkanlah penyakit demam yang ada di dalamnya ke Juhfah.’[35]
Dalam khazanah intelektual dan pergerakan Islam, terdapat tokoh moderat, Pemikir Muslim asal Mesir, bernama Hasan Al Banna[36] dalam Majmu’atur Rasail: Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna sebagai orang pertama yang secara komprehensif dan sistematis membincangkan tentang nasionalisme. Al-Banna membedakan antara konsep al-wathaniyah dan al-qawmiyah dalam menjelaskan arti kebangsaan.[37]
Hasan Al-Banna merestorasi konsepsi awal patriotisme dan nasionalisme yang Eropa sentris dan berwatak sekular menjadi konsep yang telah diisi pemahaman baru sesuai Islam dan dimanfaatkan untuk kebangkitan Islam. Dalam kaidah ushul fikih, Al-Banna melakukan apa yang dikenal dengan “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Unsur-unsur terbaik dari patriotisme atau nasionalisme diserap dan dirumuskan untuk menjadi alat perjuangan kebangkitan Islam.
Lebih lanjut, Hasan Al-Banna menguraikan perspektif nasionalisme dalam Islam dengan menegaskan bahwa motif-motif ideal nasionalisme sepenuhnya relevan dengan doktrin-doktrin Islam. Pandangan Hasan Al-Banna tentang nasionalisme diantaranya adalah :
Pertama, Nasionalisme Kerinduan. Jika yang dimaksud dengan nasionalisme oleh para penyerunya adalah cinta tanah air dan keberpihakan padanya dan kerinduan yang terus menggebu terhadapnya, maka hal itu sebenarnya sudah tertanam dalam fitrah manusia. Lebih dari itu Islam juga menganjurkan yang demikian. Sesungguhnya Bilal yang telah mengorbankan segalanya demi imannya, adalah juga Bilal yang suatu ketika di Madinah menyenandungkan bait-bait puisi kerinduan yang tulus terhadap tanah asalnya, Makkah.[38]
Kedua, Nasionalisme Kehormatan dan kebebasan, yaitu nasionalisme dalam bentuk keharusan berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman imperialisme, menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-putera bangsa, maka kita pun sepakat tentang itu. Islam telah menegaskan perintah itu dengan setegas-tegasnya.[39] Allah Ta’ala berfirman :
(وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ) (المنافقون:8)
“ Dan kemuliaan itu milik Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.”[40]
(ويقول: (وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً) (النساء:141
“ Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.”[41]
Ketiga, Nasionalisme Kemasyarakatakan. Yaitu nasionalisme dalam rangka memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warga negara serta menunjukkan kepada mereka cara-cara memanfaatkan ikatan itu untuk mencapai kepentingan bersama. Islam bahkan menganggap itu sebagai sebuah kewajiban. Lihatlah bagaimana Rasullalah saw bersabda, “Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Al-Hadist)[42]
Keempat, Nasionalisme Pembebasan. Yaitu nasionalisme dalam rangka membebaskan negeri-negeri lain dan menguasai dunia, maka itu pun telah diwajibkan oleh Islam. Islam bahkan mengarahkan pada pasukan pembebas untuk melakukan pembebasan yang paling berbekas.[43] Allah Ta’ala berfirman :
(وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ للهِ) البقرة:193)
“Dan perangilah mereka (orang-orang kafir) hingga tidak terdapat lagi fitnah (kesyirikan), dan hingga ketaatan itu hanya untuk Allah.”[44]
Hasan Al-Banna melanjutkan, ”Sekarang dapat dilihat betapa kita berjalan seiring dengan para tokoh penyeru nasionalisme bahkan dengan para tokoh penyeru nasionalisme bahkan dengan kalangan radikal-sekuler diantara mereka. Kita sepakat dengan mereka terhadap nasionalisme dalam semua maknanya yang baik dan dapat mendatangkan manfaat bagi manusia dan tanah airnya. Sekarang juga telah terlihat, betapa paham nasionalisme dengan slogan dan yel-yel panjangnya, tidak lebih dari kenyataan bahwa ia merupakan bagian sangat kecil dari keseluruhan ajaran Islam yang agung.”[45] Terlebih lagi dalam Islam, hal seperti itu lebih purna dan lebih besar dari apa yang diharapkan di belakang qaumiyyah atau nasionalisme.[46]
Yang membedakan Islam dengan mereka adalah bahwa batasan nasionalisme bagi Islam ditentukan oleh basis iman, sementara pada mereka batasan paham itu ditentukan oleh teritorial wilayah negara dan batas-batas geografis semata. Bagi Islam, setiap jengkal tanah di bumi ini, dimana di atasnya ada seroang muslim yang mengucapkan La ilaha illahllah, maka itulah tanah air Islam. Seorang muslim wajib menghormati kemuliaannya dan siap berjuang dengan tulus demi kebaikannya. Semua muslim dalam wilayah geografis manapun adalah saudara dan keluarga. Setiap muslim turut merasakan apa yang mereka rasakan dan memikirkan kepentingan-kepentingan mereka.
Sebaliknya, bagi kaum nasionalis (sempit) semua orang yang ada diluar batas tanah tumpah darahnya sama sekali tidak dipedulikan. Mereka hanya mengurus semua kepentingan yang terkait langsung dengan apa yang ada di dalam batas wilayahnya. Secara aplikatif perbedaan akan tampak lebih jelas ketika sebuah bangsa hendak memperkuat dirinya dengan cara yang merugikan bangsa lain. Islam sama sekali tidak membenarkan itu untuk diterapkan diatas sejengkal pun dari tanah air. Islam menginginkan kekuatan dan kemaslahatan untuk semua bangsa-bangsa muslim. Sementara kaum nasionalis menganggap yang demikian itu sebagai suatu kewajaran. Paham demikian inilah yang kemudian membuat ikatan di antara muslimin menjadi renggang dan kekuatannya pun melemah.
Ada kecenderungan, kaum nasionalis hanya berfikir untuk membebaskan negerinya. Bila kemudian mereka membangun negeri mereka, mereka hanya memperhatikan aspek-aspek fisik seperti yang kini terjadi di daratan Eropa. Sebaliknya, setiap muslim percaya bahwa di leher mereka tergantung amanah besar untuk mengorbankan seluruh jiwa dan raga serta hartanya demi membimbing manusia menuju cahaya Islam. Setiap muslim harus mengangkat bendera Islam setinggi-tingginya di setiap belahan bumi; bukan untuk mendapatkan harta, popularitas dan kekuasaan atau menjajah bangsa lain, tapi semat-mata untuk memperoleh ridha Allah swt dan memakmurkan dunia dengan bimbingan agamanya. Itulah yang mendorong kaum Salaf yang saleh melakukan pembebesan-pembebasan suci yang telah mencengangkan dunia dan mempesonakan sejarah; dengan kecepatan gerak, keadilan dan keluhuran akhlaknya.
Karena itu, sejumlah pemikir Muslim menyaring konsep nasionalisme ini. Mereka tidak menolak, akan tetapi memberi makna yang lebih tepat. Pemikir Muslim asal Mesir, Hasan Al Banna dalam Majmu’atur Rasail: Kumpulah Risalah Dakwah Hasan Al Banna, menyatakan, “Jika nasionalisme yang mereka maksud adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekaan, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putranya, maka kami bersama mereka dalam hal itu.”[47]
Karenanya, Hasan Al Banna berpendapat, nasionalisme Islam harus mengimani hadist Rasulullah bahwa setiap Muslim bersaudara dengan Muslim yang lain. Artinya, nasionalisme dalam pandangan Hasan Al Banna tidak terbatas negara tertentu saja, tetapi melingkupi setiap jengkal tanah, dimana di situ ada saudara seimannya. Nasionalisme tidak berhak membatasi persaudaraan kaum Muslim dalam sekat negara-bangsa.
Kesimpulan
“Nasionalisme” adalah racun bagi kaum muslimin, sebab paham ini sangat bertentangan dengan Aqidah Islamiyah yang dapat menghantarkannya kepada kekufuran. Umat Islam seharusnya sadar bahwa yang telah menghancurkan induk mereka (khilafah) adalah musuh-musuh Islam, diantaranya dengan cara menanamkan paham “nasionalisme” ke dalam jiwa-jiwa kaum muslimin, sehingga mereka terlena dan melupakan hakikat kesatuan utama diantara mereka yaitu kesatuan aqidah.
Hasan al-Banna memiliki persepsi berbeda dengan para nasionalis dalam memaknai nasionalisme, beliau tidak membatasi nasionalisme dalam arti “sempit”. Nasionalisme tidak berhak membatasi ikatan persaudaraan muslimin. Beliau memanfaatkan paham nasionalisme yang sebenarnya sudah menjadi fitrah manusia untuk menggerakkan masyarakat melawan penjajah kafir yang menjajah negara dan aqidah kaum muslimin. Walhasil, “nasionalisme” tidak dapat direlasikan dengan Islam dan sangat jelas pertentangannya.
MARI IKUT SUKSESKAN PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
[1] Ibnu Qayyim, Miftahud Daris Syahadah wa Mansyuru Walayatul Ilmi wal Iradah, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, vol. 1, hal. 110.
[2] Ibnu Taimiyah, Amradhul Qulub wa Syifauha, vol 1, hal 5. Kairo: al-Mathba’ah as-Salafiyah, 1399 H.
[3] Hani as-Siba’i, Al-Qaumiyah wa Atsaruha ‘ala Wihdatil Ummah al-Islamiyah, Muassasatu at-Tahaya, hal.4.
[4] Wikipedia
[5] Lihat Draf Bahtsul Masail Maudhu’iyah PWNU Jawa Timur Tentang Islam Nusantara di Universitas Negeri Malang ( 13 Februari 2016).
[6] Baca kitab Rasailul Imam yang ditulis oleh Hasan al-Banna.
[7] Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu. Cet. 1. 1999) hlm 57.
[8] Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, (Yogyakarta: LkiS. Cet 1. 2007) hlm 28.
[9]Ali Lukman, Dkk,. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
[10] Hans Kohn, Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, (Jakarta: PT.Pembangunan, 1984 M), hlm,11.
[11] Nuruddin Hatum, Tarikhul Harakat al-Qaumiyah, Darul Fikr, hal 6.
[12] Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, juz 1, hal 555
[13] Ita Mutiara Dewi, Nasionalisme dan Kebangkitan Dalam Teropong, (Mozaik Vol.3 No.3, Juli 2008)
[14]Hani as-Siba’i, Al-Qaumiyah wa Atsaruha ‘ala Wihdatil Ummah al-Islamiyah, Muassasatu at-Tahaya, hal 6.
[15] Abdullah Nashih Ulwan, al-Qaumiyyah fie Mizanil Islam, Darus Salam, hal 5.
[16] John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, New York: Oxford University Press, 1992, hlm. 51. (Disarikan dari makalah Ajat Sudrajat, Dr., M.Ag. Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yoyakarta, mengampu mata kuliah Sejarah Asia Barat dan Sejarah Pemikiran Islam)
[17] Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, . 2005).176
[18] John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990).
[19] Ajat Sudrajat, Nasionalisme Di Dunia Islam.
[20] Wala ialah menolong, mencintai, memuliakan, dan menghargai orang lain secara lahir batin. Aplikasinya dengan cara mendekati dan menampakkan kasih sayang kapada orang tersebut, baik dengan perkataan maupun perbuatannya. ( Baca kitab al-Mufid fie Muhimmatit Tauhid, karya Dr. Abdul Qadir bin Muhammad ‘atha Shufi)
[21] Muhammad bin Sa’id al-Qahthani, Al-Wala wal Bara fil Islam, Vol 1, hal 413.
[22] Hani as-Siba’i, Al-Qaumiyah wa Atsaruha ‘ala Wihdatil Ummah al-Islamiyah, Muassasatu at-Tahaya, hal 4.
[23] Muhammad Sa’id Al Qohthoni, Al Wala’ wal Bara’, hal. 42
[24] Beliau adalah ulama terkenal asal Mesir, Lebih dari 30 karya buku telah beliau terbitkan, dalam bidang pemikiran, pendidikan Islam, dan sastra. Karya-karya itu mempunyai kontribusi yang sangat besar pada gerakan Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
[25] Muhammad Qutb, Lailaha illallah Aqidatan wa syari’atan, hal. 140
[26] Ibid.
[27] Beliau termasuk salah satu ulama pada abad ke-20.
[28] Muhammad Sa’id Al Qohtoni, Al Wala’ wal Bara’, hal.6
[29] Sayyid Quthb, Fi Dhilal Al- Qur’an, Juz. 6, Hal. 3515-3516
[30] Ghalib bin Ali ‘Awaji, Al-Madzhab al-Fikriyah al-Mu’asharah wa Duwariha fil Mujtama’at wa Mauqiful Muslim Minha, juz 2,hlm: 973
[31] Abu Dawud, Sunnan Abi Dawud, Juz 4, hal 332.
[32] Al-Mawardi dalam tafsirnya menyebutkan, “Perang Buats merupakan perang yang terjadi selama 120 tahun antara Aus dan Kazraj. Dari perang Buats itu yang paling mendapatkan untung adalah pihak Yahudi.”
[33] Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, juz 1, hal 555
[34] Ghalib bin Ali ‘Awaji, Al-Madzhab al-Fikriyah al-Mu’asharah wa Duwariha fil Mujtama’at wa Mauqiful Muslim Minha, juz 2,hlm: 972
[35] Ibnu Katsir, Al-bidayah wan Nihayah, juz 2 hal : 315
[36] Beliau lahir pada tahun 1906, beliaulah pendiri pertama Jama’ah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ia habiskan waktunya untuk berdakwah, siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan, memimpin pertemuan, dll. Dakwahnya mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat Mesir, bahkan oleh kalangan elitnya pula. Hingga pada tahun 45-an beliau memobilisasi kaum muslimin untuk melawan Yahudi penjajah. Pada waktu itu tidak ada pasukan yang paling ditakuti Yahudi melainkan pasukan sukarela ikhwan buatan Hasan al-banna. Hingga sampai akhirnya terbongkar aib besar pada pemerintah Mesir. Amerika, sobat setia Yahudi mengancam akan mengebom Mesir, manakala mujahidin tidak ditarik mundur. Dan pada saat itu terlihat betapa pengecutnya manusia.
[37] Hasan al-Banna, Rasailul Imam Hasan al-Banna, juz.1, hal.8
[38] Hasan al-Banna, Rasailul Imam Hasan al-Banna, juz.1, hal.9
[39] Ibid.
[40] Al- Munafiqun :8
[41] An-Nisa : 141
[42] Hasan al-Banna, Rasailul Imam Hasan al-Banna, juz.1, hal.10
[43] Ibid.
[44] Al-Baqarah : 193
[45] Hasan al-Banna, Rasailul Imam Hasan al-Banna, juz.1, hal.11
[46] Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz, Naqdul Qaumiyyah al-‘Arabiyah ‘ala Dhauil Islam wal Waqi’i.
[47] Hasan al-Banna, Rasailul Imam Hasan al-Banna, juz.1, hal.9
Kak mau tanya… Kalo patriotisme itu gman?