Harta merupakan salah satu instrument penting dalam hidup manusia. Tanpa harta nampaknya akan sulit bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Dalam syariat Islam, satu diantara tujuan digulirkannya syariat oleh Sang Pembuat syari’at adalah terjaganya harta. Maka, segala bentuk perilaku manusia yang nantinya akan menjadikan rusak atau bahkan musnah dan hilangnya harta orang lain, dan dilakukan tanpa adanya hak itu diharamkan oleh syariat. Terlebih lagi harta sesama muslim.
Rasulullah pernah bersabda;
المسلم على المسلم حرام دامه وماله وعرضه
“Seorang muslim atas muslim yang lain, haram bagi mereka darah, harta dan kehormatannya”
Konteks di atas berlaku pada keumumam orang Islam, bahwa mereka tidak boleh menzhalimi antar sesama, semisal dengan mengambil harta orang lain dengan cara dzalim. Lalu apakah hal tersebut berlaku pula apabila orang tua mengambil dan memanfaatkan harta anaknya, terlebih tanpa sepengetahuannya?
Harta Anak Harta Orang Tua
Tidak diragukan hagi bahwa anak merupakan adalah buah dari usaha dan tarbiyah orang tuanya. Mereka mendidiknya sedari kecil, mengajarinya, dan membiayai kehidupannya. Anak-anak punya utang kepada kedua orang tuanya dimana dia tidak akan mampu membayar sepanjang hidupnya. Hal inilah yang kemudian menjadi semacam pengecualian, bahwa keharaman sesama muslim untuk mengambil harta orang lain tidak berlaku pada kasus orang tua yang mengambil harta anaknya. Dalam hal ini ada sebuah hadits yang dijadikan dasar. Jabir bin ‘Abdullah ra menyatakan bahwa ada seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, saya punya harta dan anak. Ayah saya hendak mengambil semua harta saya.” Beliau saw bersabda,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ
“Kamu dan hartamu boleh (diambil) ayahmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2291, Ibnu Hibban 2/142, Ahmad 6902).
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ
“Engkau dan hartamu milik orang tuamu. Sesungguhnya anak-anakmu adalah sebaik-baik hasil usahamu. Makanlah dari hasil usaha anak-anakmu.” (HR. Abu Daud, no. 3530; Ahmad, 2: 214)
Boleh Ambil, Dengan Syarat.
Hadits-hadits diatas menunjukan secara dhahir bahwa harta milik anak juga harta milik orang tua. Namun, Ibnu Qayyim mengomentari hadits ini, beliau berkata: “Huruf lam dalam hadits tersebut (لِأَبِيكَ) secara qath’i tidak memberi faedah hukum kepemilikan… barangsiapa yang menyimpulkan hukum mubah, maka ia telah memahami makna hadits tersebut dengan baik.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/116). Yang menguatkan pandangan bahwa harta anak tetap milik anak, bukan milik ayahnya adalah bahwa apabila seseorang meninggal dunia, yang mewarisi hartanya bukan hanya ayahnya. ibunya, istrinya, dan anak-anaknya pun mewarisinya. Jika hartanya milik ayahnya mestinya hanya ayahnya yang mewarisinya.
Entah apakah harta anak itu juga harta orang tua atau bukan, hal ini tidak merubah hukum bolehnya orang tua mengambil harta anaknya. Imam empat madzhab mengutarkan pendapat akan bolehnya seorang ayah hanya boleh mengambil sebagian harta anaknya; yakni sekadar kebutuhannya. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan dalam Al-Mughni (8: 272), boleh saja seorang ayah mengambil harta anaknya semaunya lalu ia miliki, apalagi sampai itu dibutuhkan oleh ayahnya. Begitu pula masih dibolehkan meskipun hal itu bukan hajat pentingnya.
Adapun Syaikh Utsaimin memberikan beberapa syarat bolehnya orang tua mengambil harta anak.
Pertama, Tidak memusnahkan harta dan tidak memudaratkan anak, juga bukan mengambil yang jadi kebutuhan penting anaknya Kedua, Tidak boleh mengambil harta tersebut dengan tujuan untuk memberikan pada yang lain. (Fatawa Islamiyah ; 108-109). Adapun syarat lain sebagaimana yang dijelaskan secara eksplisit dalam hadits riwayat baihaqi adalah mengambil harta anak untuk memenuhi kebutuhannya, bukan sekedar memenuhi keinginannya.
Lebih Baik Tidak Ambil
Meskipun mengambil harta anak itu diperbolehkan. Namun, jika orang tua memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, seyogianya tidak mengambil dan memanfaatkan harta milik anak. Lebih baik harta anak-anak disimpan di tempat khusus dan diserahkan kepada mereka saat mereka sudah dewasa. Hal ini akan menanamkan akhlaq amanah kepada mereka. Mereka telah mendapatkan contoh bagaimana beramanah dalam urusan harta dari orang yang—umumnya—paling mereka kagumi. Orang yang paling dekat dengan kehidupan mereka. Apalagi jika sepanjang masa tarbiyah anak-anak tahu persis bagaimana orang tuanya menjaga amanah harta. Wallahu a’lam. [Rashiduddin]