Peran Hafalan dan Tulisan dalam Pewarisan Khazanah Keislaman
Oleh Izuddin Hadidullah
Khazanah Keislaman
Apabila melihat sejenak ke belakang perihal perkembangan perbendaharaan keilmuan Islam, kita akan dapati banyak metodologi yang digunakan oleh para pelaku sejarah.
Bermula dari era kehidupan Rasulullah yang berasal dari bangsa yang tak mengenal hitungan dan bacaan, kemudian berubah masa kepada para pengganti beliau yang semakin menerima perubahan yang bersifat konstruktif.
Terutama pada keterbukaan para Sahabat untuk menerima nilai-nilai kebudayaan asing yang tidak berselisih silang dengan Islam. Baik dari sisi ketatanegaraan, kemiliteran, sosial kemasyarakatan, dan masih banyak lagi.
Termasuk yang tak kalah menariknya adalah bagaimana kaum muslimin sampai pada tahap menerjemahkan ilmu-ilmu esensial dari bangsa-bangsa lain.
Inilah hasil kompromistis yang paling luas dalam sejarah keilmuan Islam. Atas dasar keputusan tersebut, peradaban Islam terlampau pesat menjadi mercusuar di antara sekian peradaban yang ada di muka bumi.
Meskipun demikian, tak dipungkiri juga bahwa masih banyak dirasakan dampak negatif dari hal tersebut seperti konfrontasi pemikiran antar muslim karena perbedaan pandangan dan sikap.
Walaupun wahyu pertama turun dalam konteks perintah membaca yang sangat erat berkaitan dengan tulisan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengambil kebijakan untuk melarang keras penggunaan tulisan sebagai metode penjagaan ilmu.
Beliau lebih mengkhawatirkan dampak tercampurnya kalam ilahi dengan kalam nabawi di kalangan Sahabat sehingga menimbulkan kerancuan sumber hukum di kemudian hari.
Bukan seutuhnya menolak penggunaan ilmu tulis sebagai penjaga keilmuan. Beliau sendiri memiliki Zaid bin Tsabit selaku sekretaris pribadi yang mendokumentasikan wahyu dan keperluan strategis lainnya.
Beliau juga memberi izin untuk menuliskan ulang kepada beberapa utusan apa yang telah disampaikan dalam khutbah wada’. Tak luput juga para Sahabat yang secara personal mencatat apa yang pernah disabdakan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sepeninggal beliau muncullah generasi-generasi yang memiliki ciri khas tersendiri dalam memelihara keautentikan khazanah Islam dan perkembangan peradaban. Setiap generasi memegang perannya masing-masing hingga saat ini.
Generasi sahabat lebih berfokus pada pembentukan fondasi penulisan Al-Qur’an, sedangkan generasi kedua dan ketiga lebih mengutamakan pewarisan serta keautentikan sabda-sabda Nabi melalui jalur periwayatan yang terpercaya.
Setelah sumber-sumber Islam terjaga, barulah generasi setelahnya mengambil peran untuk menjaga dan mengembangkan sesuai kecenderungan masing-masing.
Terjaga, sebab dua sumber utama Islam tetap relevan dan autentik. Berkembang, sebab interpretasi ulama dari masa ke masa atas dua sumber tersebut yang mengacu pada perkembangan zaman dan kedinamisan ilmu pengetahuan.
Al-Hafidz, Para Penjaga Peradaban
Pernah mendengar perihal kecepatan hafalan Qatadah bin Du’amah? Beliau selesai menghafal Shahifah Jabir bin Abdullah dalam sekali dengar.
Atau kekuatan hafalan Ashim bin Abi Najud? Hafalan Al-Qur’an-nya tidak luntur sama sekali meski tidak diulang selama dua tahun sebab sakit.
Atau keluasan hafalan Imam Bukhari? Beliau mampu hafal seratus ribu hadits shahih dan dua kali lipatnya untuk hadits yang tidak shahih.
Keajaiban-keajaiban tersebut juga terjadi dalam bidang keilmuan yang lain. Dalam bidang Nahwu tercatat Ali bin al-Mubarak al-Ahmar sang ahli Nahwu yang hafal 40 ribu hujjah Nahwu berupa sya’ir Arab.
Juga kisah Abu Zakaria al-Fara’ yang mendiktekan seluruh kitab Nahwu-nya dengan hafalan. Dalam bidang Tafsir kita juga pernah mendapati catatan sejarah bahwa Abu bakar al-Anbari benar-benar hafal 120 tafsir Al-Qur’an beserta periwayatannya.
Tak hanya itu, beliau juga mampu mendiktekan buku “Syarh Kafi” sejumlah 1000 lembar dengan hafalan, demikian seterusnya. Setiap zaman pasti memiliki tokoh-tokoh emas yang berkemampuan hafalan di luar batas kebiasaan.
Dengan cara inilah sumber-sumber Islam terjaga. Sebab sejatinya ilmu hakiki itu ada di dalam dada seseorang yang tidak akan hilang di mana-pun dan kapan-pun. Abdurazzaq bin Hammam berkata, “Setiap ilmu yang tidak bisa masuk bersama pemiliknya ke dalam kamar mandi, hakikatnya bukanlah ilmu.”
Dalam pandangan Islam, para penghafal ilmu adalah hujjah yang tak terbantahkan sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah
من حفظ حجة على من لم يحفظ
“Orang yang hafal itu adalah hujjah bila dibanding orang yang tidak hafal.”
Selain berfungsi sebagai penjaga peradaban keilmuan Islam, hafalan adalah jaminan bagi seseorang mendapatkan manfaat dan bermanfaat kepada orang lain.
Ilmu tanpa hafalan ibarat ilmu yang kurang bermanfaat. Bagaimana bisa seseorang menyampaikan dan mengamalkan ilmu sedangkan ia tidak hafal dan ingat apa yang ingin disampaikan dan diamalkan.
Inilah yang menjadi pegangan kuat salah seorang ulama kelahiran tahun 100 H. Kholil bin Ahmad yang berkata, “Tidak ada satu pun kata yang aku tulis kecuali aku hafalkan dan tidak ada yang aku hafalkan kecuali aku mendapatkan manfaatnya.”
Oleh sebab itu al-Askari mewasiatkan kepada generasi Islam, “Apa pun ilmu yang kamu kumpulkan, meski sedikit namun berbentuk hafalan itu akan lebih bermanfaat. Sebaliknya, jika ilmu itu banyak tapi tidak dihafal maka cukup sedikitlah manfaat yang didapat.”
Di antara fungsi lain dari hafalan adalah barometer kredibilitas seorang alim. Hal ini dapat dinilai dari bagaimana penyampaian seseorang. Apabila penyampaiannya hanya paparan pendapat pribadi tanpa disertai hujjah, dalil dan nukilan para ulama kibar maka keilmuannya perlu diteliti.
Sebab sejatinya penyampaian adalah buah dari apa yang dihafalkan. Hafalan adalah buah dari apa yang telah ditulis. Sedangkan tulisan adalah buah dari apa yang telah dibaca dan didengar.
Kholifah Ma’mun pernah mewasiatkan kepada anak-anaknya, “Tulislah apa yang terbaik yang pernah engkau dengar. Hafalkan apa yang terbaik dari apa yang engkau tulis, dan sampaikan apa yang terbaik dari apa yang engkau hafalkan.”
Dari keterangan di atas dapat kita kerucutkan bahwa hafalan para ulama adalah bukti keautentikan Ilmu keislaman. Di antara bentuk dari acuannya adalah penggunaan sistem periwayatan yang dipenuhi oleh para hafidz (hafal) dan tsiqah (terpercaya).
Selain itu juga membuktikan bahwa para pemikir Islam adalah para ahli yang kredibilitasnya diakui khalayak dan keilmuannya tak terbantahkan oleh siapa pun. Dari sinilah muncul istilah “Al-Hafidz, Para Penjaga Peradaban.”
Mualif, Para Pewaris Wawasan
Jika kita cermati kembali, wawasan yang bersandar pada hafalan memiliki beberapa kekurangan dibandingkan dengan tulisan. Sekuat apa pun hafalan seseorang, kiranya perlu diteliti ulang sumber dari ucapannya dan ketepatan konteksnya.
Barangkali luput satu dua pemaparan sehingga menutup pandangan utuh pada suatu gagasan dalam sebuah pemikiran. Oleh karena itu, dalam ranah akademik hasil wawancara dan penyampaian seseorang hanya dapat dijadikan sebagai sumber sekunder dibanding sumber-sumber primer lainnya.
Dahulu para muhaditsin (para penghafal hadits) juga telah menyadari hal ini. Mereka menyimpulkan bahwa tidak bisa bertumpu pada hafalan semata.
Ibnu Main saja menganggap wajar muhadits yang pernah salah dalam menyampaikan hadits. Justru beliau terheran-heran dengan seseorang yang menyampaikan hadits namun tidak salah sama sekali.
Ibnu Mahdi juga menganggap manusiawi apabila seorang muhadits pernah salah, selama tidak lebih dari 50 hadits. Dengan ini para ulama menyimpulkan, disebutkan dalam “Syarh Tadwin Sunnah”
من حفظ فر ومن كتب قر
“Barang siapa yang menghafal (suatu saat) akan hilang (hafalannya), namun siapa yang menulis ilmunya akan tetap.”
Perlu kita ketahui, tulisan adalah penyeimbang hafalan. Karena sumber autentik primer yang dapat dipercaya di sepanjang zaman adalah tulisan.
Dari sinilah muncul gagasan pembukuan sunah-sunah Nabi yang dilakukan oleh para pendahulu. Mereka menilai bahwa para hafidz (orang yang hafal lebih dari seratus ribu hadits) akan wafat seiring berlalunya masa.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada muridnya ar-Rabi, “Ketahuilah, semoga Allah merahmati kalian, ilmu ini akan pergi sebagaimana unta akan lari, maka jadikan tulisan sebagai penjaga dan pena sebagai penggembalanya.”
Adalah Imam Ahmad, muhadits penghafal satu juta hadits. Setelah mendalami dunia ilmu hadits dan menemui 414 muhadits, beliau bercerita pernah mengambil hadits dari sekelompok kaum dengan hafalan mereka dan sebagian dengan tulisan.
Kemudian disimpulkan, orang yang paling mutqin (kuat hujjahnya) adalah mereka yang menggunakan catatan. Begitulah posisi hafalan yang disandingkan dengan tulisan dibandingkan orang yang mengandalkan hafalan semata.
Tatkala hafalan itu didudukkan sebagai barometer kredibilitas keilmuan seseorang maka tulisan adalah buah dari kepercayaan yang kekal bagi penulis, demikianlah yang dikatakan oleh Kholil al-Farohidi.
Khotib al-Baghdadi dalam kitab “Taqyid Ilmi” juga mewanti-wanti, “Kalaulah kita hanya bersandar pada kekuatan hafalan dan kemampuan ingatan terhadap ilmu, maka sungguh kerdil apa yang disebut dengan ma’rifat (ilmu pengetahuan).”
Begitulah peradaban Islam terbangun, selain dari pada karya besar berupa sistem sanad yang terpercaya. Dalam bidang literatur Islam, kaum Muslimin tidak memiliki kurang suatu apa.
Bahkan banyak tokoh-tokoh Islam yang memiliki tulisan melebihi batas kewajaran sama seperti tokoh-tokoh penghafal.
Pernahkah kita membayangkan bagaimana Ibnu Hajar al-Atsqalani menulis 270 karya tulis atau betapa cendekianya Ibnul Jauzi yang tercatat melahirkan 300 kitab di berbagai cabang keilmuan.
Lebih-lebih sejarah warisan seorang Jalaludin Suyuti berupa 600 judul buku banyaknya. Demikian terus menerus warisan Islam yang agung ini terjaga dan semakin bertambah dari masa ke masa.
Hafalan dan Tulisan, Sayap yang Tidak Terpisah
Sejatinya budaya ini telah dipelopori oleh konsep para muhadits tentang salah satu kriteria hadits yang diterima yaitu ketepatan hafalan dan tulisan.
Mereka menjaga keautentikan khazanah Islam dengan hanya mengambil hadits kepada orang yang kuat hafalan, yakni orang yang memiliki hafalan tetap dan mampu menyampaikannya kapan pun dan di mana pun.
Jika tidak kepada mereka maka kepada para pemilik catatan, tulisan, dan buku. Dengan kriteria kitab harus bersumber dari manuskrip yang terpercaya, cetakan atau tulisan yang bebas dari kesalahan serta dipegang oleh orang yang tepat.
Konsep inilah yang dijaga dan berkembang hingga ke bidang ilmu lain dan bahkan menjadi karakteristik khazanah keislaman dari masa ke masa. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa peradaban dan syariat Islam akan terus terjaga dan berkembang melalui dua metodologi yang tidak dimiliki oleh budaya lain.
Hafalan dari para ulama terpercaya dalam bentuk sanad yang terjaga kualitas pembawa dan isinya. Kemudian tulisan sebagai warisan keilmuan yang akan kekal selamanya.
Dua hal tersebut ibarat sepasang sayap bagi seekor burung. Mereka tidak dapat terbang kecuali dengan keduanya. Demikian pula khazanah Islam, tidak dapat berdiri dan berkembang bahkan runtuh kecuali dengan dua metodologi yang tetap terjaga tersebut. Wallahu a’lam bi shawab.