Oleh: Qodri Fathurrohman
Pada setiap bulan Rabiul Awal, ada satu tradisi tahunan yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW atau yang lebih terkenal dengan sebutan maulud nabi. Biasanya dalam acara tersebut disenandungkan kasidah yang di dalamnya terkandung unsur pengkultusan terhadap Nabi SAW hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungannya kepada Allah ta’ala. Selain itu dibacakan pula barzanji atau kisah tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Lalu ketika sampai pada perkataan: “dan lahirlah Musthafa SAW”, maka hadirin serentak berdiri. Mereka beranggapan bahwa ruh Rasulullah telah datang.
Paling tidak ada dua alasan kenapa mereka memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW, pertama karena hanya ingin meniru-niru orang Nasrani yang merayakan hari kelahiran Nabi Isa AS atau yang kedua sebagai bentuk kecintaan dan pengagungan mereka kepada Rasulullah saw atas jasa-jasa beliau kepada umat Islam. Ketika ada sebagian orang mengingatkan bahwa hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, begitu pula generasi salaf yang merupakan generasi terbaik umat ini, mereka berkata “Iya memang bid’ah, tapi itukanbid’ah hasanah.”
Awal mula kemunculannya
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah bahwa Daulah Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah yang memerintah Mesir dari tahun 357 H-567 H adalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan di dalam Islam yang banyak sekali jumlahnya, diantaranya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Padahal mereka adalah orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari golongan Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi.Ada pula yang mensinyalir bahwa mereka dari orang Majusi (penyembah api) bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok Atheis. Jadi tidak mungkin mereka melakukan yang demikian karena cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi karena ada maksud lain yang tersembunyi.
Pendapat lain mengatakan bahwa pertama kali yang merayakan maulud nabi adalah Shalahudin Al-Ayubi, yang menjabat Gubernur di Haramain (Makkah dan Madinah) dari tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub. Shalahuddin mempunyai niat untuk menghidupkan kembali semangat juang umat Islam dengan cara meningkatkan kecintaan umat kepada Nabi mereka.. Maka Shalahuddin sebagai gubernur haramain menganjurkan kepada seluruh jamaah haji, agar setelah kembali ke kampung halaman masing-masing, mereka segera mempersiapkan diri untuk menyambut perayaan maulud nabi di mana saja berada. Peringatan tersebut akan dimulai pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 580 Hijriah (1184 M). Namun perlu diketahui bahwa sambutan yang dilakukan Shalahuddin ini mendapat pertentangan dari para ulama. Di antara sebabnya adalah karena sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Begitu pula hari raya resmi menurut Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Bukti cinta kepada Rasul?
Mencintai Rasulullah adalah sebuah kewajiban setelah cinta kepada Allah SWT. Keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi SAW melebihi kecintaannya kepada diri sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Sebab beliau adalah orang yang mengenalkan manusia kepada Allah, yang menyampaikan syariat-Nya dan menjelaskan hukum-hukum-Nya. Sungguh besar jasa beliau terhadap umat Islam.
Parasahabat adalah orang yang paling cinta dan paling hormat kepada Rasululloh saw. Bahkan ketika Rasulullah saw berbicara kepada mereka, mereka tidak berani menajamkan pandangannya ke wajah Rasulullah SAW sebagai bentuk pengagungan mereka kepada beliau. Saking cintanya, merekapun siap menjadi tameng hidup bagi beliau di medanpertempuran. Meski demikian, mereka tidak berlebih-lebihan dalam menyanjung dan memuji Rasulullah saw sehingga mengangkat beliau di atas derajat para nabi dan rasul serta menisbatkan sebagian sifat ilahiyah kepada-Nya. Ketika ada salah seorang sahabat memanggil beliau dengan sebutan, “Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami..,” serta merta beliau bersabda: “Janganlah kalian terbujuk oleh syetan, aku adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian menyanjungku di atas derajat yang Allah berikan kepadaku.” Meski sebenarnya beliau layak dan berhak menyandang sebutan tersebut namun dengan penuh ketawadhu’an beliau lebih senang dipanggil dengan sebutan hamba dan Rasul-Nya.
Mestinya kecintaan kita kepada beliau kita ungkapkan dengan meneladani, mentaati dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunah-sunahnya, menyebarkan agama yang dibawanya serta memperjuangkannya dengan segenap kekuatan kita.
Bid’ah hasanah?
Jika ada yang menganggap perkara tersebut adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan merupakan tradisi baik yang perlu dilestarikan, berarti dia telah menganggap ada amalan ibadah yang baik yang belum diajarkan oleh Rasulullah SAW dan tidak diamalkan oleh para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Itu maknanya menuduh Rasulullah SAW berkhianat, karena beliau tidak menyampaikan satu kebaikan yang dia kerjakan sekarang ini.
Padahal Rasulullah SAW tidak meninggalkan satu kebaikan pun, kecuali beliau telah mengajarkannya. Abu Dzar Al Ghifary RA berkata, “Sungguh Rasulullah SAW telah meninggalkan kami dan tidak ada satu burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali telah disebutkan kepada kita ilmu tentangnya.” (HR. Ahmad) Yang demikian karena mengajarkan kebaikan adalah amanah yang Allah SWT berikan kepada setiap Rasul, sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya tidak ada satu nabi pun sebelumku, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada umatnya jalan kebaikan yang telah diketahuinya dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang telah diketahuinya” (HR. Muslim)
Kesimpulannya, mengadakan peringatan maulid Nabi meski tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan Rasulullah tetap termasuk perbuatan bid’ah. Karena pendekatan diri kepada Allah dan pengagungan kepada Rasul-Nya adalah termasuk ibadah, padahal ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali jika dilaksanakan dengan ikhlash dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Apalagi jika peringatan tersebut berisi acara-acara yang mengandung kemungkaran bahkan menjurus kepada kesyirikan seperti ikhtilath (campur baurnya laki-laki dan wanita), memuji Rasulullah dengan cara berlebih-lebihan dan menganggap ruh Rasulullah datang pada acara tersebut. Wallahu musta’an.
Sumber: majalah Ar-Risalah edisi 81
Kita hidup di ZAMAN AKHIR,
begitu banyyak problematik tentang agama samawi, salah satunya adalah ISLAM.
1. Begitu mudahnya Orang Islam mengatakan BID’AH ( apapun kelanjutannya).
Padahal kita sendiri mengetahui bahwa AL QUR”AN ( terkumpul menjadi 30 Juz )
itu bukanlah di zaman NABI MUHAMMAD pengumpulannya, bahkan dlm semua Hadist tidak akan di temukan PERINTAH NABI Untuk MENGUMPULKAN Al Qur’an dlm 30 Juz.
PERTANYAAN SAYA : kalau demikian apakah kita ketika membaca Al Qur’an saat ini bisa dikatakan BID’AH,
2. begitu mudahnya kita sebagai umat zaman akhir Mengeklaim Hak Veto ALLAH SWT !
Dlm beramal Ibbadah kita jangan menganggap bahwa ini dan itu tidak di terima oleh ALLLAH atau bahkan di tolak oleh ALLAH. gak usah repot lah DITERIMA atau TIDAK kita tidak usah banyak omong, karena itu adalah Hak ALLAH SWT kita jangan SU’UDZON kepada ALLAH mengatakan bahwa itu atau Ini ibadah di tollak oleh ALLAH karena BID”AH, orang yg mengatakan itu sebenarnya tidak menghormati ALLAH sebagai tuhannya karena mendahului kehendakNYA, Masya ALLAH A’udzubillahi mindzalik
Maaf ust ada yg sy tanyakn, krn tdk ada ruang tanya jwb jd sy nyisip disini
p’tanyaan :
jk kt ingin mengeluarkan zakat, mk zakat itu kt prioritaskn utk fakir miskin, kmd kt prioritaskn lg kpd fakir miskin yg bs mengelola zakat tersebut, bgmn pendapat ust ? Mohon bantuanya, trm ksih