Kenangan, satu kata yang sarat akan makna. Ia adalah satu peristiwa di masa lampau yang masih membekas di fikiran. Mengingatnya membuat seseorang merasa berada pada dimensi yang berbeda. Seberapa berhargakah sebuah kenangan?, itu tergantung dengan seberapa berhargakah objek kenangan itu baginya.
Kali ini kita akan berbicara kenangan, tapi bukan kenangan alay ala muda-mudi yang ditinggal pergi oleh kekasih hatinya. Bukan, kita berbicara tentang kenangan dari orang hebat kedua dalam Islam, yang mengenang sahabatnya, orang hebat pertama dalam Islam.
Dialah Umar bin Khattab yang mengenang sepak terjang dan dedikasi perjuangan sahabatnya, Abu Bakar as-Shiddiq.
Cerita kenangan ini ditulis oleh Ibnu Atsir dalam kitab beliau yang berjudul Jami’ al-Ushul (8/605).
Suatu hari, Umar bin Khattab sedang duduk bernostalgia bersama para sahabat yang lain, mereka sedang bernostalgia tentang masa-masa indah bersama sebagian sahabat dan saudara-saudara mereka yang sudah dipanggil Allah, wafat mendahului mereka.
Tetiba, Umar bin Khattab yang dikenal tempramen dan keras kepala itu menangis. Sambil terisak dan berlinang airmata, Umar berkata di hadapan sahabat-sahabatnya; “Aku berangan-angan andai seluruh amalku menyamai satu hari dan satu malam saja dari amalan sahabat Abu Bakar.”
Fikiran Umar bin Khattab mengembara melintasi ruang waktu, teringat saat-saat Rasul masih hidup. Umar teringat malam saat Rasulullah hijrah ke Madinah. Saat Abu Bakar berangkat menemani hijrah Rasul.
Hari itu, Rasulullah sudah dijadikan target untuk ditangkap atau dibunuh oleh kafir Quraisy Mekkah. Ketika mendengar berita itu, bergegas Rasulullah meminta Abu Bakar untuk menemaninya hijrah ke negri Madinah. Sambil mengendap-endap berangkatlah Abu Bakar menuju rumah Rasul untuk mempersiapkan segala perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan.
Keduanya sampai di Gua Hira, “Jangan masuk dulu wahai Rasulullah,” kata Abu Bakar, “Biarkan aku masuk mendahuluimu, aku khawatir di dalam ada sesuatu yang membahayakan keselamatanmu. Sekiranya hal itu ada, biar aku saja yang terkena bahaya dan dirimu selamat.”
Setelah memastikan tidak ada hal apapun yang membahayakan, Abu Bakar mengajak Rasul untuk masuk ke dalam gua.
Di dalam gua, mereka berdua duduk beristirahat. Di pangkuan Abu Bakar Rasulullah terlelap. Sementara Abu Bakar sendiri terjaga memastikan keamanan Rasul sekaligus sahabatnya itu aman. Saat itulah, tanpa disangka seekor kalajengking merayap perlahan ke kaki Abu Bakar dan menyengatnya.
Sengatan hewan itu sungguh luar biasa, sakitnya tak tertahankan, tapi rasa sakit itu ditahannya demi tidak ingin melihat Rasul yang sangat dicintainya itu bangun.
Sekuat apapun Abu Bakar telah berusaha menahan rasa sakit itu, tetap saja tak bisa. Hingga tanpa sadar, meneteslah airmatanya tepat mengenai wajah Sang Rasul. Rasulullah kaget, lalu setelah mengetahui apa yang terjadi, Rasulullah mengobati dengan air liurnya. Seketika sakit akibat sengatan itu sembuh.
Itu kisah tentang malamnya Abu Bakar yang dikenang oleh Umar bin Khattab.
Adapun siangnya; kejadian itu terjadi tidak berapa lama setelah Rasulullah wafat. Kabar wafatnya Rasul bagai petir menyambar di siang bolong. Mendung menggelayut di langit kota Madinah. Kaum muslimin berduka atas kabar yang mengejutkan itu.
Singkat cerita, Abu Bakar atas kesepakatan kaum muslimin diangkat menjadi khalifah penerus Rasul. Saat itu terjadi gerakan murtad secara massal. Mereka menyatakan keluar dari Islam dan menolak membayar untuk zakat. Ketika melihat realita yang demikian itu, Abu Bakar meminta pendapat sebagian sahabat senior.
Diantara mereka ada yang menyarankan untuk tidak terlalu keras menghadapi mereka yang murtad itu. Tapi dengan tegas Abu Bakar berkata, “Siapapun yang menghalangiku untuk menumpas para pembangkang itu, aku mengumumkan perang atasnya.”
Umar bin Khattab yang saat itu mendengar apa yang dikatakan Abu Bakar berkata,”Wahai Khalifah Rasulullah, jangan bertindak gegabah, berlemah-lembutlah kepada mereka.” Ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan Umar, Abu Bakar menimpali, “Bukankah pada masa jahiliyah engkau terkenal garang, tapi kenapa setelah masuk Islam engkau justru melunak?, wahyu telah terputus, agama telah sempurna, apakah agama ini akan berkurang sementara aku masih hidup?.”
Sebuah pertanyaan menohok yang membuat Umar bin Khattab diam seribu bahasa.
Dua peristiwa itu tergambar jelas dalam benak Umar bin Khattab. Seolah-olah peristiwa itu baru terjadi kemarin sore, dan seolah-olah waktu berputar mundur beberapa tahun ke belakang. Begitu terkenang dan membekasnya perisiwa itu.
Zaman telah berlalu, antara zaman kita dan zaman mereka terpaut rentang waktu yang sangat jauh. Tapi inspirasinya abadi. Karena manusia memang fana, yang abadi adalah kenangannya. Kenangan orang atas diri seseorang setelah dirinya tiada adalah umur yang kedua bagi manusia.
Dalam hidup ini, orang-orang datang dan pergi silih berganti. Ada yang menginspirasi, namun tak jarang pula yang menggoreskan luka di hati. Ingin seperti apa kita dikenang orang nanti sangat berbanding lurus dengan apa yang kita kerjakan hari ini.
Dari Umar bin Khattab kita belajar cara mengenang, dan dari Abu Bakar as-Shiddiq kita belajar cara membuat kenangan. Wallahu a’lam bisshawab. (Ashabul Yamin)