Sa’id bin Musayyib, Penghulu Para Tabi’in
Oleh Abdurrahman Taqwa (Mahasantri Semester III Ma’had Aly An-Nuur)
Suatu ketika, seorang ulama bernama Ali bin Zaid bercerita kepada teman duduknya, Hammad bin Salamah, tentang seorang tabi’in yang ditakuti oleh Sang Jagal, Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Beliau adalah Sa’id bin Musayyib, seorang yang paling faqih pada zamannya.
Pada suatu hari, seseorang bertanya kepada beliau, “Ada apa dengan Hajjaj bin Yusuf sehingga ia tidak pernah mengutus seseorang kepadamu dan mengganggumu?”
Sa’id menjawab, “Demi Allah aku tidak tahu apapun tentang hal itu. Kecuali sebuah kejadian di suatu hari. Ketika Hajjaj menunaikan shalat bersama ayahnya Yusuf, di masjid, ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Maka aku mengambil sebuah tongkat dan memukul untuk menegurnya.”
Aku mendengar bahwa Hajjaj berkata, “Demi Allah, setelah kejadian itu aku selalu memperbagus shalatku.” ujar Ali kepada Hammad.
Siapakah sebenarnya seorang tabi’in pemberani tersebut? Mengapa beliau sangat dihormati orang-orang, bahkan seorang Hajjaj pun segan kepadanya?
Beliau adalah Sa’id bin Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb bin A’idz bin Imran bin Makhzum, beliau berasal dari bani Makhzum. Beliau lahir pada tahun ke-delapan masa kekhilafahan Umar bin Khatthab, tahun 81 Hijriyyah. Ayah beliau adalah salah satu sahabat Nabi yang ikut berbaiat pada peristiwa Bai’atur Ridwan.
Beliau adalah seorang tabi’in terkemuka, dan terpercaya di zamannya. Para ulama mengakui keunggulannya diatas ulama-ulama lain dalam banyak bidang ilmu, diantaranya ilmu hadits, tafsir dan fiqh. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh lingkungan tempat beliau menghabiskan masa kecilnya, yakni Madinah.
Di sanalah rasa haus beliau akan ilmu terpuaskan dengan petuah-petuah sahabat Utsman, Ali, dan banyak sahabat nabi lainnya, termasuk mertua beliau sendiri, sahabat Abu Hurairah.
Beliau dikenal sebagai ahli ilmu yang wara’, dan tekun beribadah. Selama 40 tahun beliau tidak pernah absen melaksanakan ibadah haji. Selain itu, selama 40 tahun itu pula beliau juga selalu pergi ke masjid sebelum muadzin mengumandangkan adzan.
Seorang ulama bernama Muhammad menuturkan perkataan Ma’khul, “Aku telah berkelana menuntut ilmu di segala penjuru bumi, dan tidak kudapatkan seseorang yang lebih alim dari Sa’id bin Musayyib.” Imam Az-Zuhri dan Qatadah juga mengatakan hal serupa. Imam Ibnu Katsir bahkan mengakui beliau sebagai pemimpin generasi Tabi’in secara mutlak.
Walaupun beliau adalah seorang ahli ibadah yang tekun, ibadah tidak membuat Sa’id bin Musayyib menelantarkan diri dan keluarganya. Ahmad bin Abdillah Al-Ajaliy menyatakan bahwa beliau adalah seorang yang shalih, faqih dan tidak pernah mengambil pemberian dari khalifah.
Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan menawarkan uang kepada Sa’id bin al-Musayyab sebanyak tiga puluh ribu dirham sebagai hadiah, Sa’id menjawab, “Saya tidak membutuhkannya dan tidak membutuhkan Bani Marwan hingga saya bertemu Allah dan mengadili antara saya dan mereka.”
Hal tersebut beliau lakukan semata karena kehati-hatian (wara’) beliau. Sa’id lebih mengutamakan nafkah keluarganya berasal dari hasil kerjakerasnya sendiri. Bahkan nilai perniagaan beliau mencapai 400 dinar.
Saking wara’nya kepada diri sendiri dan keluarga, beliau bahkan berani menolak pinangan Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk menikahkan putri beliau dengan Al-Walid, putra mahkota dinasti Umawiyah.
Beliau justru lebih mengutamakan salah satu muridnya, Abdurrahman bin Wahab, untuk menjadi suami dari putri beliau. Walaupun menantunya tersebut hanyalah seseorang yang miskin dan yatim. Namun, dia adalah murid Sa’id bin musayyib yang paling tekun.
Suatu hari Sa’id mendapati muridnya tersebut tidak hadir, padahal sebelumnya sekalipun dia tidak pernah absen. Beberapa hari kemudian, datanglah Abdurrahman pada majelis beliau. Ternyata penyebab ketidakhadirannya adalah karena istrinya meninggal.
Mengetahui kejadian tersebut, Sa’id menawarkan putrinya untuk menjadi istri Abdurrahman tanpa berpikir panjang. Abdurrahman pun terkejut mendengarnya. Ia juga heran mengapa Syaikh-nya rela menikahkan dengan seorang pemuda miskin.
Namun Sa’id menjawab, “Bila seseorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya.”
Abdurrahman yang kebingungan lantas pulang menuju rumahnya untuk mempersiapkan pernikahannya. Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak memiliki apapun untuk itu. Bahkan dia sendiri kebingungan mencari hutang untuk biaya tersebut.
Selang beberapa lama, pintu rumahnya diketuk. Ternyata Sa’id datang membawa putrinya untuk tinggal bersamanya. Ia pun mengumumkan pernikahannya dengan putri Sa’id kepada tetengganya.
Sontak semua orang pun kaget, karena belum lama tersiar kabar penolakan Sa’id atas pinangan Khalifah untuk putrinya, hari ini beliau justru lebih memilih seorang pemuda miskin untuk menjadi suami dari putrinya.
Singkat cerita, Abdurrahman melewati hidup baru bersama istrinya seakan diriku berada di taman-taman surga. Lalu di hari ketujuh, ia pun meminta izin pada istrinya untuk keluar.
“Mau ke mana wahai suamiku?” tanya sang istri.
“Ke majelis ilmu Sa’id ibn Al-Musayyib.” jawab Abdurrahman.
“Tetaplah di rumahmu, karena semua ilmu Ayahku telah ada pada diriku.” sahut istrinya.
Sa’id bin Musayyib pernah ditanya oleh seorang kawan, “Mengapa Anda menolak pinangan Amirul Mukminin lalu justru nikahkan putrimu dengan orang awam?”
Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”
Beliau ditanya, “Apa maksud Anda wahai Syaikh?”
Beliau berkata, “Bagaimana pandangan kalian bila misalnya dia pindah ke istana Bani Umayah lalu bergelimang di antara ranjang dan perabotnya? Para pembantu dan dayang mengelilingi di sisi kanan dan kirinya dan dia mendapati dirinya sebagai istri khalifah. Bagaimana kira-kira keteguhan agamanya nanti?” Wallalahu a’lam bi shawab.
Referensi
An-Nukat ‘Ala Kitab Ibni Shalah, oleh Abu Al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar Al-‘Asqolaniy, ‘Imadah Al-Bahts Al-‘Ilmiy Universitas Islam Madinah, catakan pertama 1983 M.
Sullam Al-Wushul ila Thabaqat Al-Fuhul, oleh Muhammad bin Abdullah Al-Qushtahnthiniy Al-Utsmaniy, dikenal sebagai Haji Khalifah dan Katib Jalabiy, Maktabah irsika Istanbul, Turki, 2010 M.
Al-‘Urf Asy-Syadid Syarhu Sunan At-Tirmidzi, oleh Muhammad Anwar Syah bin Mu’dzham Syah Al-Kasymiri Al-Hindi.
Siyar A’lam An-Nubala, oleh Imam Adz-Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah cet. ke-tujuh 1990 H.
Al-Bidayah wan Nihayah, oleh Imam Ibnu Katsir, Dar Al-Ma’rifah cet. ke-lima 1999 H.