Alhamdulillah pada Ramadhan tahun ini Ma’had Aly An-Nuur bekerja sama dengan lembaga dakwah UMAIS (Ukhuwah Mahabbah Islamiyah) dan GTA (Griya Tabungan Akhirat) berkesempatan mengadakan kegiatan Safari Dakwah Romadhon (SADARO).
Kegiatan safari ini diikuti oleh 50 orang mahasantri yang duduk di semester IV dan VI.
Mereka yang ikut dalam kegiatan ini disebar ke daerah-daerah pelosok se-Indonesia, seperti, Fak-Fak, Lombok, Pedalaman Lampung, Gunungkidul, dan daerah-daerah pelosok lainnya.
Berikut salah satu kisah mahasantri yang bertugas di Kelurahan Bendung, Kec. Semin, Gunungkidul, Yogyakarta.
***
Bakda shalat Shubuh di Ramadhan hari ke-enam, bertepatan dengan hari Jumat, 08 April 2022, setelah kegiatan tahsin bersama, saya diajak ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Kelurahan Bendung, Kec. Semin, Yogyakarta untuk membersamai mereka panen cabai di ladang.
Kegiatan panen di bulan Ramadhan ini adalah kali kedua sepanjang tahun 2022.
Perlu diketahui, mayoritas ibu-ibu di kelurahan Bendung ini adalah Ibu Rumah Tangga (IRT). Namun seiring dengan datangnya Pandemi Covid-19 yang berdampak pada merosotnya perekonomian, ada ide untuk membantu memenuhi kebutuhan dengan memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam, menanam cabai.
Pemilik ide itu namanya Bu Parti.
“Jadi begini tadz,” kata beliau, “Sejak Pandemi beberapa tahun lalu yang berdampak terhadap ekonomi pasar, jadinya barang dagangan yang dijual jadi mahal-mahal. Kami ibu-ibu bisanya cuma ngerumpi dan sambat, gitu.”
“Namanya juga ibu-ibu kan tadz,”, lanjut beliau, “Harap dimaklumi, hehe. Nah, setelah bincang lama, gitu, akhirnya saya (Bu Parti) ngusulkan untuk kita, ibu-ibu, khususnya di Kelurahan Bendung sini untuk bercocok taman, sehingga bisa membantu kebutuhan pokok sehari-hari dan hasilnya bisa di jual, uangnya ntar dimasukkan kas.”
Ide dari Bu Parti disetujui oleh ibu-ibu yang lain, dan membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Alhamdulillah, dengan membersamai mereka, saya bisa menyaksikan sendiri hasil panen-nya.
Ada cerita menarik disela-sela acara bungkus membungkus setelah panen. Ada ibu yang nyeletuk, “Oh ya, tadz, ini kan Bu Sarmin pesan mau beli cabe campur 1 kg, nah saya mau lebihin dikit tadz, nanti ini termasuk sedekah atau pemberian ya?,”
Wah, pertanyaan-nya sederhana, sih, tapi agak susah juga jelasin secara sistematis, batin saya.
Tiba-tiba saya teringat penjelasan bab Fikih Muamalah tentang perbedaan arti dari istilah sedekah, hibah dan barang pemberian (hadiah) yang dijelaskan oleh dosen kami, Ust. Ilyas Mursito (hafidzahullah) di bangku kuliah.
Saya jelaskan ke ibu-ibu materi itu.
Sambil menimbang orderan cabai, ibu-ibu menyimak penjelasan saya dengan antusias. Alhamdulillah mereka paham.
Pelajaran yang coba saya ambil; kadang dakwah tak harus selalunya di mimbar dan masjid-masjid saja. Membersamai, melihat dan mendengar langsung kondisi masyarat membuat seorang da’i bisa memberikan materi (solusi) yang tepat atas problematika sosial masyarakat berdasar fakta yang sebenarnya di lapangan. Seperti dakwah Walisongo, kurang lebih. Wallahu a’lam.
Da’i SADARO Semin, Gunungkidul
Ghoyyats Fikru Shorih