Khutbah Jum’at: 4 Faedah Muhasabah
Oleh Syamil Robbani
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
قَالَ اللَّه تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةِ فِي النَّارِ. أَمَّا بَعْدُ
Khutbah Pertama
Download PDF di sini.
Ma’âsyiral Muslimîn Arsyadani wa Arsyadakumullah.
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah atas rahmat dan karunia-Nya, kita dapat berkumpul bersama-sama dalam rangka berhimpun dalam majelis Jum’at yang mulia ini, guna melaksanakan salah satu rangkaian dari ibadah Jumat.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah ﷺ beserta keluarga beliau, para sahabat, tabiin, tabiut-tabiin, dan orang-orang yang senantiasa menghidupkan sunah-sunah beliau hingga hari Kiamat kelak.
Khatib berwasiat khususnya untuk diri sendiri dan umumnya untuk jamaah sekalian, marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala, takwa dalam arti melaksanakan segala perintah dan mencegah segala larangan-Nya.
Ma’âsyiral Muslimîn Arsyadani wa Arsyadakumullah.
Marilah pada kesempatan Jum’at kali ini, di akhir pekan bulan ini, di penghujung tahun 2022, kita semua merenung, muhasabah, dan mencermati amalan-amalan kita selama satu tahun penuh ini.
Apakah kita telah memaksimalkan waktu yang Allah berikan untuk beramal shalih?
Apa saja yang telah kita persembahkan untuk agama ini selama setahun penuh?
Seberapa banyak harta, tenaga, dan pikiran yang telah kita korbankan untuk Islam?
Marilah kita jawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan jujur, sehingga momen Jum’at singkat di penghujung tahun ini menjadi ajang muhasabah akbar dan batu loncatan kebaikan di awal tahun 2023 nanti.
Sebab, muhasabah adalah cara seorang muslim untuk mengevaluasi, menelaah, dan mengoreksi pribadi masing-masing dari berbagai kelemahan, kekurangan. dan kecacatan.
Sehingga hal tersebut menjadi pedoman baginya agar tidak mengulangi lagi di kemudian hari.
Imam Al-Mawardi menjelaskan makna muhasabah yaitu menelaah, mengevaluasi, dan mengoreksi perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya.
Apabila baik maka dia tingkatkan, namun jika buruk maka dia perbaiki dan berusaha tidak mengulanginya lagi. (Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, Al-Mawardi, 356)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kaum mukminin untuk senantiasa muhasabah dalam firmannya
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dengan perintah, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab kelak (di akhirat) dan perhatikanlah apa-apa yang telah kalian tabung dari amal shalih untuk hari Kiamat nanti.” (Tafsîr Al-Qur’an Al-Adhîm, Ibnu katsir, 8/77)
Sesungguhnya hisab seseorang nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang senantiasa menghisab dirinya di dunia.
Hasan Al-Bashri menerangkan bahwa sesungguhnya seorang mukmin itu adalah pemimpin bagi dirinya, ia selalu mengoreksi jiwanya karena Allah.
Dengan itu, kelak pada hari Kiamat hisabnya akan menjadi ringan karena senantiasa menghisab diri sendiri di dunia.
Maka sebaliknya hisab seseorang akan menjadi sulit bagi mereka yang tidak menghisab dirinya di dunia. (Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim, 2/157)
Ini disebabkan karena orang yang meninggalkan muhasabah atas dirinya akan menghantarkan kepada sikap mudah melakukan maksiat, berat dalam ketaatan, dan mengikuti hawa nafsunya.
Apabila keadaan ini terus-terus menerus menimpa seseorang maka hal itu akan menuntunnya kepada kerusakan hati.
Sebagaimana Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa salah satu sebab dari rusaknya hati seorang hamba adalah karena sikap meninggalkan muhasabah dan meremehkan sesuatu. (Ighâtsat al-lahfân, Ibnul Qayyim, 1/82)
Ma’âsyiral Muslimîn Arsyadani wa Arsyadakumullah.
Salafus shalih adalah orang-orang yang senantiasa mengevaluasi, introspeksi, dan bermuhasabah atas diri mereka. Kita dapati suri teladan yang baik dari kisah-kisah mereka yang selalu merenung, sibuk memperbaiki diri dari aibnya masing-masing.
Mereka adalah orang yang ahli ibadah, ahli jihad, dan senantiasa beramal shalih dalam kebaikan. Meski demikian, mereka tetap merasa takut jangan-jangan amal mereka tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Marilah kita meneladani orang-orang shalih sebelum kita. Berusaha mengikuti jejak-jejak kebaikan, menapaki tilas segala prestasi yang mereka raih dan menjadikan mereka qudwah, contoh serta ikon kebaikan yang layak diikuti.
Salah satu dari mereka adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sahabat mulia yang selalu merenung dan mengoreksi diri.
Beliau sering berkata kepada diri sendiri, “Wahai Umar. Seorang Amirul Mukminin. Demi Allah kau benar-benar harus bertakwa kepada Allah atau Allah benar-benar akan mengazab dirimu.” (Az-Zuhd, Ahmad bin Hambal, 95/600)
Potret teladan lainnya adalah Muhammad bin Wasi’ yang merenung dan bermuhasabah lalu berkata
لَوْ كَانَ لِلذُنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدرَ أَحَدٌ يَجْلِس إِلَّي
“Seandainya saja dosa itu mempunyai bau busuk, maka sungguh tidak ada seorang pun yang kuat duduk di sampingku (karena banyaknya dosa).” (Muhâsabatun Nafsi, 6)
Kisah lain datang dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Dia adalah orang yang termasuk tekun dalam muhasabah, sehingga menjadikannya sedikit berbicara.
Umar bin Abdul Aziz merupakan sosok yang sangat berhati-hati dalam berbicara karena khawatirkan hal tersebut (banyak bicara) menjadikannya berbangga diri. (Siyar ‘Alam Nubalâ, Adz-Dzahabi, 5/137)
Ma’âsyiral Muslimîn Arsyadani wa Arsyadakumullah.
Setelah memahami makna muhasabah, contoh teladan yang baik dari salaf dan bahaya dari meninggalkan muhasabah, hal selanjutnya yang perlu diresapi serta direnungkan adalah manfaat dari muhasabah.
Sebab dengan memahami faedah dari muhasabah ini akan memotivasi dan mendorong seseorang untuk senantiasa melazimi muhasabah di mana pun dan kapan pun. Sehingga menjadi batu loncatan kebaikan bagi seorang mukmin di kemudian hari.
Adapun faedah-faedah muhasabah adalah sebagai berikut:
Pertama, Menyingkap Aib dan Kekurangan Diri Pribadi.
Seseorang yang senantiasa mengevaluasi, bermuhasabah, dan mengoreksi diri sendiri tentu akan mengetahui kekurangan, kecacatan, dan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada dirinya.
Sehingga setelah mengetahui berbagai kekurangannya, seseorang bisa memulai untuk memperbaiki, mengobati, dan menyembuhkan hal-hal tersebut.
Sebab bagaimana mungkin seseorang akan mengobati suatu penyakit ketika tidak mengetahui penyakit apa yang dideritanya.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan dalam kitabnya
وَمَنْ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى عَيْبِ نَفْسِهِ لَمْ يُمْكِنهُ إِزَالَتُهُ
“Barangsiapa yang belum menyingkap aib-aib dirinya maka dia tidak akan mampu menghilangkan aib dan kekurangan tersebut.” (Ighâtsatu Al-Lahfân, Ibnu Al-Qayyim, 1/84)
Tujuan utama seseorang mengetahui aib serta kekurangan dirinya adalah untuk memperbaiki, membersihkan, dan menyucikan jiwa dari berbagai kekurangan.
Inilah jalan menuju kesuksesan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Allah berfirman
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). (QS. Asy-Syams: 9)
Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan ayat tersebut bahwa beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dari segala dosa, menjernihkannya dari berbagai aib, melembutkannya dengan ketaatan, dan memuliakannya dengan ilmu dan amal shalih.
Kedua, Menyadarkan Jiwa Untuk Mempersiapkan Diri Bertemu Rabb-Nya.
Faedah muhasabah selanjutnya adalah menjadikan seseorang sadar untuk mempersiapkan kehidupan akhiratnya, menata perbekalan, dan memperbanyak persediaannya.
Seorang mukmin akan benar-benar sadar bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah ibarat seorang musafir yang sedang singgah beristirahat sejenak untuk melanjutkan perjalanan menuju Rabbnya.
Disela-sela istirahatnya itu juga dia mengumpulkan bekal untuk menuju tujuan safarnya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah mengumpamakan kehidupan dunia dalam sabdanya
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا؟ مَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا، إِلا كَرَاكِبٍ سَارَ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ فَاسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaanku dan dunia hanya seperti seorang pengembara yang berjalan pada hari yang panas, lalu ia berteduh sesaat di siang hari di bawah sebuah pohon, kemudian bertolak lagi meninggalkannya.” (HR. Ahmad)
Oleh karenanya muhasabah juga menjadi indikasi dari kesempurnaan takwa seseorang.
Maimun bin Mahran pernah menjelaskan bahwa seorang hamba tidak akan bertakwa hingga dia menghisab dirinya sebagaimana dia menghisab temannya dari mana dia mendapatkan makan dan pakaiannya. (Sunan Tirmidzi, 4/638/2459)
Ma’âsyiral Muslimîn Arsyadani wa Arsyadakumullah.
Ketiga, Sungguh-Sungguh Dalam Beramal Shalih.
Orang yang bermuhasabah atas dirinya akan melahirkan sikap bersungguh-sungguh dalam beramal shalih.
Sebab muhasabah akan menyingkap hakikat dunia yang fana ini dan mengingatkan tentang kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Sehingga hal tersebut akan mendorongnya untuk memperbanyak amal shalih demi kehidupan yang abadi. Rasulullah ﷺ bersabda
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّه
“Orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Maksud dari دَانَ نَفْسَهُ adalah bermuhasabah terhadap dirinya sendiri terlebih dahulu di dunia sebelum dihisab pada hari Kiamat. (Sunan Tirmidzi, 4/638/2459)
Keempat, Memupuk Rasa Takut Kepada Allah (Khasyatullah) dan Muraqabah.
Seorang hamba yang melazimi muhasabah atas dirinya, akan memiliki khasyatullah (rasa takut kepada Allah), sehingga dia selalu merasa diawasi oleh Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang ada di bumi dan di langit (muraqabah).
Ketika bertambah rasa takutnya kepada Allah, maka bertambahlah ilmu seseorang, karena hakikat ilmu adalah ilmu yang menjadikan pemiliknya semakin takut kepada Allah.
Allah SWT berfirman
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (QS.Fâtir:28)
Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa siapapun yang mengenal Allah lebih dalam, maka semakin dalam pula rasa takutnya kepada Allah.
Dia akan berhenti dari maksiat serta bergegas bersiap diri untuk bertemu Dzat Yang Maha Kuasa. (Tafsîr Al-Karîm Ar-Rahmân, As-Sa’di, 688)
Inilah beberapa faedah dari muhasabah yang menjadi amalan dan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kita.
Semoga kita semua dapat meneladani jejak-jejak kebaikan mereka dan semoga kita dapat memahami faedah dari muhasabah tersebut serta melazimkannya dalam kehidupan kita.
أَقُولُ قَولِي هَذَا وَ اسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَ لَكُمْ وَ لِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفُرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمِ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ، وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ
وَقَالَ تَعاَلَى: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِى يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِكَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ نَصْرًا مُؤَزَّرًا، اَللَّهُمَّ ارْبِطْ عَلَى قُلُوْبِهِمْ، وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى، وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ لِي وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ