Oleh: Tengku Azhar Al-Muhairy
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا * لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا .
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Al-Ahzab: 72-73)
Tafsir Ayat di Atas
Para Mufassirin berbeda pendapat di dalam menafsirkan kata amanah pada ayat di atas:
a) Imam Al-Aufi dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Yang dimaksud dengan al-amanah adalah, ketaatan yang ditawarkan kepada mereka sebelum ditawarkan kepada Adam ‘Alaihissalam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Lalu Allah berfirman kepada Adam, ‘ Sesungguhnya Aku memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Apakah engkau sanggup untuk menerimanya?’ Adam menjawab, ‘Ya Rabbku, apa isinya?’ Maka Allah berfirman, ‘Jika engkau berbuat baik maka engkau akan diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk maka engkau akan diberi siksa’. Lalu Adam menerimanya dan menanggungnya. Itulah maksud firman Allah, ‘Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh’.”
b) Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, ‘Amanah adalah kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan membalas mereka. Dan jika mereka menyia-nyiakannya, maka Allah akan menyiksa mereka. Mereka enggan menerimanya dan menolaknya bukan karena maksiat, tetapi karena ta’zhim (menghormati) agama Allah kalau-kalau mereka tidak mampu menunaikannya.” Kemudian Allah Ta’ala menyerahkannya kepada Adam, maka Adam menerimanya dengan segala konsekwensinya. Itulah maksud dari firman Allah:
“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” yaitu pelanggar perintah Allah.
c) Imam Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam berkata, “Amanah itu ada tiga: shalat, zakat, dan mandi junub.”
d) Imam Al-Qurthubi berkata: amanah meliputi semua tugas agama menurut pendapat yang paling kuat. Sebagaimana ia berkata dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun:8)
Amanah dan janji menggabungkan semua yang dipikul manusia berupa perkara agama dan dunia, ucapan dan perbuatan. Dan hal ini meliputi pergaulan dengan manusia, janji-janji, dan selain yang demikian itu. Dan kesudahan yang demikian itu adalah menjaga dan melaksanakannya.
Ketika amanah meliputi segala hal, yang diberi amanah harus menunaikan amanahnya, sama saja ia diberi amanah terhadap harta yang banyak atau hanya satu dinar. Karena Allah memerintahkan menunaikan amanah kepada pemiliknya, dan melarang berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta melarang mengkhianati semua amanah mereka. Dan Dia menjadikan di antara sifat orang-orang yang beruntung adalah bahwa sesungguhnya mereka menjaga janji dan amanah mereka. Dan jiwa manusia dengan fitrahnya cenderung kepada pemberi nasehat yang dipercaya (al-amin) dan berpegang kepada orang yang kuat lagi dipercaya, sehingga non muslim mengutamakan orang yang amanah. Diriwayatkan dalam cerita penduduk Najran, tatkala mereka setuju membayar jizyah, sesungguhnya mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami memberikan kepadamu apa-apa yang engkau minta kepada kami, utuslah bersama kami seorang laki-laki yang amin (dipercaya), dan janganlah engkau mengutus bersama kami kecuali orang yang amanah.’ Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً أَمِيْنًا حَقَّ أَمِيْنٍَ
‘Sungguh aku akan mengutus seorang laki-laki yang amanah bersamamu, orang yang benar-benar amanah.’ Dan beliau mengirim Abu Ubaidah.
Sesungguhnya di antara rizqi tiada taranya yang diberikan Allah kepada hamba dan tidak disimpan sesudahnya atas harta benda dunia apapun, adalah yang disebutkan dalam hadits:
أَرْبَعٌ إِذاَ كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: صِدْقُ الْحَدِيْثِ وَحِفْظُ اْلأَمَانَةِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَعِفَّةُ مَطْعَمِ.
“Empat perkara, apabila ada padamu, maka tidak mengapa engkau kehilangan dunia: benar ucapan, menjaga amanah, akhlak yang baik, dan menjaga makanan (dari yang tidak baik).”
Amanah merupakan salah satu rukun akhlak yang empat perkara, yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Bahkan bisa menjadi sebab datangnya dunia kepada hamba, karena manusia mendapatkannya padanya.
Amanah adalah sifat istimewa bagi para pemangku risalah (para nabi), sungguhnya setiap orang dari mereka berkata kepada kaumnya:
إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.” (QS. Asy-Syu’ara:107)
Amanah tersebut merupakan persaksian musuh-musuh mereka (para nabi) kepada mereka, seperti dalam dialog Heraclius (raja Romawi) dengan Abu Sufyan –radhiyallahu ‘anhu-, ketika Heraclius berkata: ‘Aku bertanya kepadamu, apa yang diperintahkannya kepadamu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia memerintahkan shalat, jujur, menahan dari yang haram, melaksanakan janji, menunaikan amanah- ia berkata: dan ini adalah sifat seorang nabi.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan di tempat yang lain dalam Ash-Shahih ‘…Dan aku bertanya kepadamu: apakah ia menipu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia tidak pernah menipu. Demikian pula para rasul, mereka tidak pernah menipu…’
Sungguh, jika ini merupakan sifat para penyeru risalah, maka sesungguhnya para pengikut mereka juga memiliki karasteristik seperti itu. Karena itulah beliau menyertakan definisi seorang mukmin dengan perilakunya yang istimewa, di mana beliau bersabda:
وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أمنهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
“Dan seorang mukmin adalah orang yang manusia memberikan amanah kepadanya terhadap darah dan harta mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Apabila sifat amanah sudah menyatu dengan pemiliknya, ia bergaul dengan sifat itu bersama yang dekat dan jauh, muslim dan non muslim. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Menipu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, sama saja terhadap muslim atau kafir zimmi.’ Demikian pula keadaan orang yang beriman, sehingga bersama orang yang terkenal sebagai pengkhianat dan masyhur sebagai penipu, sebagaimana dalam hadits:
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَتَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu.” (HR. Abu Dawud)
Yang demikian itu karena bahaya terjatuh dalam pengkhianatan dan rusaknya fitrah dengan membatalkan janji lebih berat dari pada membalas kepada pengkhianat dengan balasan serupa, dan karena sesungguhnya terjatuh sekali bisa disukai nafsu dan terus berada dalam kenistaan pengkhianatan.
Penipuan yang dilakukan orang-orang besar, para pemuka, dan pengkhianatan orang-orang yang berkedudukan lebih keji dan lebih jahat dari pada tergelincirnya kalangan awam, karena kesalahan orang-orang besar merupakan kerusakan besar.
Al-Qurthubi menjelaskan masalah ini dalam pembicaraannya tentang penipuan para pemimpin, ia berkata: ‘Para ulama kita berkata: Sesungguhnya penipuan yang dilakukan pemimpin lebih besar dan lebih keji darinya pada selainnya, karena mengandung kerusakan dalam hal itu. Maka sesungguhnya apabila mereka menipu dan diketahui hal tersebut dari mereka, tidak menepati janji secaya merata, musuh tidak merasa aman atas perjanjian dan tidak pula atas perdamaian dengan mereka. Maka bertambahlah kekerasannya dan besarlah bahayanya, dan hal itu membuat orang berlari dari agama dan menyebabkan celaan terhadap para pemimpin kaum muslimin. Dan para ulama berbeda pendapat, apakah boleh berjihad bersama pemimpin yang menipu?
Apabila berkhianat dari kalangan awam merupakan sifat tercela, maka sesungguhnya dari orang yang terpandang lebih tercela lagi, dan sampailah kehinaan seseorang saat rusaknya fitrahnya, yang Rasulullah menghitungnya termasuk dari mereka:
…وَاْلخَائِنُ الَّذِي لاَيَخْفَى عَلَيْهِ طَمْعٌ وَإِنْ دَقَّ إِلاَّ خَانَهُ, وَرَجُلٌ لاَ يُصْبِحُ وَلاَيُمْسِي وَهُوَ يُخَادِعُكَ عَلَى أَهْلِكَ وَمَالِكَ
“… dan pengkhianat yang tidak samar sifat tamak atasnya, sekalipun sangat kecil, kecuali ia berkhianat, dan laki-laki yang tidak berlalu pagi dan sore kecuali ia menipu engkau terhadap keluarga dan hartamu…” (HR. Ahmad dan Muslim)
Sudah terlalu sering hati kita seakan pecah saat kita melihat golongan-golongan ini berada di antara kaum muslimin. Maka mereka bersegera kepada setiap keinginan yang nampak, mereka berkhianat di setiap janji yang suci dan setiap benda yang dipelihara.
Tidak bersifat amanah bukan hanya mendapatkan kehinaan dan kenistaan di dunia, sesungguhnya ia akan mendapatkannya tergambar baginya di hari kiamat saat berada di titian, agar ia tersungkur karenanya dari atas titian, menuju dasar neraka jahanam, sebagai akibat menyia-nyiakan amanah dan melewati batas dalam melanggarnya, sebagaimana dalam hadits:
وَتُرْسَلُ اْلأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُوْمَانِ جَنْبَيِ الصِّرَاطِ يَمِيْنًا وَشَمَالاً…
“Dan dikirimlah amanah dan silaturrahim, maka keduanya berdiri di kedua sisi titian, sebelah kanan dan kiri…” (HR. Muslim)
Selamat bagi orang yang melaksanakan amanah dengan sebenarnya, maka ia berlari di atas titian (pada hari kiamat) tanpa rasa takut dan khawatir, tanpa rasa rugi dan penyesalan. Di mana tidak berguna lagi rasa rugi dan penyesalan atas orang yang meremehkan lalu berkhianat, dan terjatuh lalu menipu, karena nafsu syahwat atau rasa dendam yang buta…
Di antara gambaran amaliyah terhadap amanah: bahwa engkau memberi nasehat kepada orang yang meminta pendapatmu dan jujur kepada orang yang percaya terhadap pendapatmu. Disebutkan dalam hadits:
اَلْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Yang diminta pendapat adalah yang dipercaya.” (Shahih Al-Jami’)
…وَمَنْ أَشَارَ عَلَى أَخِيْهِ بِأَمْرٍ يَعْلَمُ أَنَّ الرُّشْدَ فِى غَيْرِهِ فَقَدْ خَانَهُ
“Dan barangsiapa yang memberi isyarat kepada saudaranya dengan perkara yang ia mengetahui bahwa petunjuk (kebenaran) ada pada yang lainnya, berarti ia telah berkhianat kepadanya.” (Shahih Al-Jami’)
Kebaikan apakah yang masih tersisa pada orang yang memberi saran yang tidak berguna kepada saudaranya, bahkan kemungkinan membahayakannya?
sumber: Majalah YDSUI