Ahad, 18 Juli 2020 bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1442 bagian akademik Ma’had ‘Aly An-Nuur mengundang Ust. Sudarisman Ahmad Lc. M.A. untuk memberikan materi terkait dinamika pendidikan Islam hari ini. Terkhusus di dunia pesantren.
Materi yang diangkat adalah materi yang sangat strategis, kata beliau.
Sebab apa?, sebab hari ini mau tak mau, suka tak suka kita berhadapan dengan realita itu. Realitas yang dimaksud adalah Era Millenial, sebuah era baru dengan kompleksitas problematika yang jauh berbeda dengan era sebelumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan era thalabul ilmi para salaf.
Karenanya, Para pendidik dan calon pendidik dituntut untuk lebih ekstra dalam meng-upgrade kemampuan dirinya untuk menyongsong tantangan itu.
Ketika memaparkan strategi dan solusi yang harus disiapkan, beliau berangkat dari teori Lingkaran Pengaruh dan Lingkaran Peduli.
Lingkaran Pengaruh maksudnya adalah lingkungan yang kita bisa punya peran riil di dalamnya. Di sini kita bisa berkontribusi.
Adapun Lingkaran Peduli, maksudnya, adalah sekumpulan orang yang seolah-olah perhatian sibuk berdiskusi tentang masalah-masalah yang dihadapi, tapi di lapangan tidak ada action-nya sama sekali.
Dalam hal ini, lingkaran pengaruh jauh lebih penting untuk diperhatikan daripada lingkaran peduli.
Pesantren menurut beliau, adalah lembaga yang tepat untuk menebar pengaruh dan menjadi inspirator kebaikan, bukan hanya pada ahlul ma’had tapi lebih dari itu pada lingkungan masyarakat dimana pesantren itu berdiri.
Karena idealnya pesantren itu, lanjut beliau, sebagai; Pertama; Pusat Keilmuan. Rasulullah tidak terlalu memperhatikan bangunan fisik. Kalau-lah Rasul mau bangun masjid Nabawi mewah, sangat bisa. Tapi perhatian lebih pada bagaimana membangun manusia. Sehingga saat futuhat manusianya sudah siap.
Artinya, pesantren tidak melulu fokus bagaimana membangun gedung atau melengkapi fasilitas fisik, tapi lebih dari itu, membangun manusianya harus menjadi prioritas utama.
Kedua: Rujukan Problem Masyarakat. Seperti apa teknis menjadikan pesantren menjadi rujukan masyarkat?. Caranya, jelas beliau, dengan: 1) basic ilmu yang kuat, 2) amanah, 3) profesional, menjadi mahkamah syariah; dalam arti, keberadaan pesantren harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Ilmu yang dipelajari harus ada bentuk riilnya di masyarakat, dan pesantren harus bisa berperan sebagai penjembatan antara problem dan solusi.
Ketiga; Memberi, dalam arti; berkontribusi kepada masyarakat secara luas tanpa pamrih, atas dasar paham akan kebutuhan masyarakat, mampu melibatkan diri dalam kegiatan kemasyarakatan. Oleh karenanya ahlul ma’had harus memiliki skill bergaul yang bagus.
Di akhir sesi, di hadapan seluruh mahasantri, beliau berpesan untuk menempa diri dari sekarang, karena kompleksitas masalah di masa depan akan jauh lebih rumit dari apa yang ada hari ini.
Semua masalah itu adalah tantangan yang harus dihadapi, bukan malah dihindari.
Ibda’ bi nafsik, mulai dari dirimu, tegas beliau. Karena semangat kontribusi yang tinggi tanpa diiringi upgrading yang memadai akan keropos dan pasti tidak akan bertahan lama.
Pesan itu mengakhiri serangkaian acara diskusi berbobot yang lumayan panjang di pagi menjelang siang tadi, wal hamdulillah.
Mudah-mudahan uraian materi dan diskusi itu mennginspirasi mahasantri untuk terus berbenah menjadi lebih baik lagi. [Bag. Akademik]