Saat ini kita hidup di era millenial, sebuah era yang penuh dengan kemajuan teknologi, saat ini kita bisa mendapatkan segala hal dengan mudah, mulai dari mengakses berita terkini, berhubungan dengan saudara yang jauh, hingga sekadar mencari hiburan dengan menonton film atau bermain game.
Namun, selain memiliki dampak positif, teknologi juga memiliki dampak negatif. Teknologi bak pisau bermata dua yang dapat memberikan dampak bumerang, tergantung untuk apa seseorang memanfaatkannya.
Salah satu dampak negatif dari kemajuan teknologi adalah merebaknya berita hoax. Berita hoax, atau hoaks, adalah berita bohong yang kebenarannya harus dibuktikan dan diperiksa terlebih dahulu melalui data dan fakta yang ada.
Penyebab menyebarnya berita hoax adalah mudahnya menggunakan teknologi sehingga siapapun dapat memanfaatkannya, termasuk mereka orang-orang tidak bertanggung jawab yang menyebarkan berita bohong dengan maksud tertentu.
Tentu saja berita hoax memiliki dampak yang buruk bagi masyarakat pada umumnya. Didasari niat buruk sang penyebar berita mulai dari menyebar kebohongan, menggiring opini, hingga memutarbalikan fakta.
Sebagai seorang muslim, kita harus bijak, berhati-hati dan memverifikasi setiap berita yang kita dapat.
Meneladani Perjuangan Para Ulama dalam Menjaga Keabsahan Hadits
Hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Definisi dari hadits adalah segala yang disandarkan kepada Nabi ﷺ, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (diam/persetujuan) atau sifat beliau. Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua sumber hukum yang saling melengkapi.
Terlebih, hadits setidaknya memiliki empat peran penting terhadap Al-Qur’an; sebagai penguat (ta’kid) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai penjelas maksud dari ayat Al-Qur’an, menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an, dan menghapus (naskh) ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. (Muhammad Hambal Shafwan/Studi Ilmu Hadits hlm 20-22)
Secara garis besar hadits memiliki beberapa macam tingkatan jika ditinjau dari kualitas periwayatannya, mulai dari hadits shahih, hasan, dhaif, hingga maudhu’. Tentu tidak semua hadits dapat dijadikan sumber hukum, hanya hadits yang memenuhi syarat-lah yang dapat dijadikan sumber hukum.
Adalah hadits shahih yang dapat dijadikan sumber hukum. Secara bahasa Shahih (الصحيح) berarti sehat, lawan dari kata saqiim (السقيم) yang berarti sakit. Adapun secara istilah hadits shahih berarti,
Hadits yang sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan sempurna kedhabitannya (hafalannya) sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan juga kecacatan. (Muhammad ‘Ijaj al-Khatib/Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu hlm 304)
Syarat Hadits Shahih
Para ulama telah memberikan syarat shahihnya sebuah hadits. Syarat tersebut ditetapkan demi menjaga keautentikan hadits tersebut, artinya para ulama memastikan betul agar setiap hadits yang diriwayatkan benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ. Terdapat lima syarat suatu hadits dikatakan shahih;
Pertama, Sanad yang bersambung
Syarat pertama shahihnya sebuah hadits adalah sanad yang bersambung. Sanad secara istilah berarti rangkaian para periwayat (rawi) yang menyampaikan matan.
Singkatnya, zaman kehidupan Nabi Muhammad ﷺ hingga zaman kehidupan kita saat ini memiliki jarak waktu yang sangat panjang. Seorang sahabat yang mendengar langsung sebuah hadits dari Nabi akan meriwayatkan hadits yang ia dengar kepada seseorang (periwayat) dari generasi selanjutnya.
Begitu seterusnya, dari satu generasi menuju generasi selanjutnya. Sehingga kita dapat menerima hadits Nabi Muhammad ﷺ meskipun hidup jauh dari masanya, disebabkan riwayat yang terus tersambung dari generasi ke generasi.
Kedua, Periwayat (rawi) yang bersifat ‘adil
Seorang periwayat hadits harus bersifat ‘adil. ‘Adil mencakup beberapa ketentuan; beragama Islam, mukallaf (orang yang telah terbebani hukum), melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah.
Adapun yang dimaksud dengan melaksanakan ketentuan agama adalah teguh dalam beragama, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, tidak berbuat dosa (fasiq), serta baik akhlaknya.
Sedangkan yang dimaksud menjaga muru’ah adalah menjaga diri dari perbuatan yang dapat mengurangi kehormatan dirinya di mata masyarakat, meskipun itu merupakan perbuatan yang halal.
Ketiga, Periwayat (rawi) yang bersifat dhabit
Syarat bagi periwayat hadits tidak hanya terkait dengan pribadinya, melainkan juga terkait dengan kemampuan hafalannya. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dan as-Sakhawi, yang dimaksud dengan dhabit ialah orang yang kuat hafalannya terkait apa yang telah ia dengar dan mampu menyampaikan kapanpun ia menghendakinya.
Keempat, Terhindar dari syudzudz
Hadits yang shahih tidak boleh terdapat syadz didalamnya. Syadz sendiri berarti seorang tsiqah yang berpendapat menyelesihi para tsiqah kebanyakan.
Kelima, Terhindar dari ‘illat
Terakhir adalah sebuah hadits shahih harus terhindar dari ‘illat. ‘Illat adalah suatu sebab tersembunyi yang merusak keshahihan hadits. Dikatakan tersembunyi karena tampak zhahir hadits yang terdapat ‘illat adalah sebagaimana hadits shahih pada umumnya.
Namun terdapat sebab kecil yang hanya bisa dianalisa oleh para ulama sehingga hadits yang mengandung ‘illat bukan merupakan hadits shahih. (Mahmud at-Thahhan/Taisir Mushthalah al-Hadits hlm 44)
Menangkal Hoax dengan Logika Ilmu Hadits
Layaknya para ulama’ yang berhati-hati dalam menjaga keotentikan sebuah hadits, kita juga dapat meneladani tauladan mereka dengan menjaga keotentikan sebuah berita yang beredar di era sekarang ini.
Kita dituntut untuk berhati-hati dalam menyeleksi berita, demi menangkal hoax yang berdampak negatif bagi semua elemen masyarakat.
Berikut diantara metode menangkal berita hoax serapan dari syarat hadits shahih menurut para ulama’;
Pertama, Memilih sumber yang terpercaya
Hari ini mengakses sebuah berita sangat mudah dilakukan, medianya pun beragam, mulai dari media cetak -meski perlahan mulai ditinggalkan-, hingga media online -seperti website ataupun media sosial- yang saat ini seakan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sumber berita terpercaya adalah media yang transparan, memiliki track record yang baik, lalu media yang tidak subjektif dalam menerbitkan sebuah berita.
Metode ini senada dengan syarat hadits shahih yang pertama yaitu sanad yang bersambung, keduanya merupakan bentuk kehati-hatian dalam memastikan sumber dari mana sebuah berita berasal. Demi menjaga keautentikan hadits ataupun berita.
Kedua, Bersikap kritis terhadap konten berita
Siapapun dapat menulis berita, namun tak semua orang memilliki kapasitas serta tanggung jawab terhadap apa yang ia tulis. Untuk itu kita dituntut agar memeriksa valid tidaknya sebuah berita.
Caranya beragam, mulai dari mencari referensi lain terkait berita yang sama, tidak mudah percaya dengan gambar atau video sebab keduanya mudah dimanipulasi, hingga tidak mudah terprovokasi dengan judul berita sebab terkadang sebuah tagline dibuat hiperbolis agar menarik perhatian, padahal realitanya tidak demikian.
Metode yang kedua ini senada dengan syarat hadits shahih ke-empat dan ke-lima, yakni memastikan agar tidak terdapat syudzudz dan illah pada sebuah hadits, karena kedua hal tersebit dapat merusak keabsahan sebuah hadits. Pun demikian demikian halnya dengan berita yang kita dapat. Wallahu a’lam bis shawwab. [fian]