Makna Kesucian Dari Bulan-Bulan Haram (Asyhurul Hurum)
Oleh:Tengku Azhar, S.Sos.I
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِين
“Sesungguhnya bilangan bulan-bulan di sisi (hukum) Allah ialah dua belas bulan, (yang telah ditetapkan) dalam Kitab Allah semasa Ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu ialah agama yang betul lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar laranganNya); dan perangilah kaum kafir musyrik seluruhnya sebagaimana mereka memerangi kamu seluruhnya; dan ketahuilah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.”
Tafsir Ayat
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah menetapkan bilangan bulan itu dua belas semenjak Dia menciptakan langit dan bumi. Yang dimaksud dengan bulan di sini ialah bulan Qamariah karena dengan perhitungan Qamariah itulah Allah menetapkan waktu untuk mengerjakan ibadah yang fardhu dan ibadah yang sunnah dan beberapa ketentuan lainnya.
Maka menunaikan ibadah haji, puasa, ketetapan mengenai iddah wanita yang diceraikan dan masa menyusui ditentukan dengan bulan Qamariah bukan Syamsiah.
Di antara bulan-bulan yang dua belas itu ada empat bulan yang ditetapkan sebagai bulan haram yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Keempat bulan itu harus dihormati dan pada waktu itu tidak boleh melakukan peperangan. Ketetapan ini berlaku pula dalam syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai kepada syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kalau ada yang melanggar ketentuan ini maka pelanggaran itu bukanlah karena ketetapan itu sudah berubah, tetapi semata-mata karena menuruti kemauan hawa nafsu sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum musyrikin. Biasanya orang-orang Arab amat patuh kepada ketetapan ini sehingga apabila seseorang terbunuh saudaranya atau bapaknya lalu ia bertemu dengan pembunuhnya pada salah satu bulan haram ini dia tidak akan berani menuntut balas, karena menghormati bulan haram itu.
Padahal orang Arab sangat terkenal semangatnya untuk menuntut bela dan membalas dendam. Itulah ketetapan yang harus dipenuhi karena pelanggaran terhadap ketentuan ini sama saja dengan menganiaya diri sendiri karena Allah telah memuliakan dan menjadikannya bulan-bulan yang harus dihormati. Kecuali kalau kita dikhianati atau diserang pada bulan haram itu maka dalam hal ini wajib mempertahankan diri dan membalas kejahatan dengan kejahatan pula sebagaimana tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Artimya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram, katakanlah: “Berperang pada bulan itu adalah dosa besar tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan membuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran)”. (QS. Al-Baqarah: 217)
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin supaya memerangi kaum musyrikin karena mereka memerangi kaum Muslimin. Mereka memerangi kaum Muslimin bukan karena balas dendam, atau fanatik kesukuan atau merampas harta benda sebagaimana biasa mereka lakukan di masa yang lalu terhadap kabilah lain, tetapi maksud utama adalah menghancurkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan memadamkan cahayanya.
Maka wajiblah bagi setiap muslim bangun serentak memerangi mereka sampai agama Islam itu tegak dan agama mereka hancur binasa. Hendaklah ditanamkan ke dalam dada setiap muslim semangat jihad yang berkobar-kobar serta tekad dan keyakinan bahwa mereka pasti menang karena Allah selamanya menolong orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.
Definisi Asyhurul Hurum (Bulan-Bulan Yang Dihormati)
Ibnu Jarir Ath-Thabari –rahimahullah– meriwayatkan melalui sanadnya, dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu– sehubungan dengan pengagungan Allah terhadap kesucian bulan-bulan ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala telah menjadikan bulan-bulan ini sebagai (bulan-bulan yang) suci, mengagungkan kehormatannya dan menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini menjadi lebih besar dan menjadikan amal shalih serta pahala pada bulan ini juga lebih besar.”
Orang-orang Arab pada masa Jahiliyah mengharamkan (mensucikan) bulan ini, mengagungkannya serta mengharamkan peperangan pada bulan-bulan ini. Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– mengatakan, “Bulan-bulan yang diharamkan (disucikan) itu hanya ada empat. Tiga bulan secara berurutan dan satu bulannya berdiri sendiri (tidak berurutan) lantaran adanya manasik Haji dan Umrah.
Maka, ada satu bulan yang telah diharamkan (disucikan) yang letaknya sebelum bulan-bulan Haji, yaitu bulan Dzulqa’dah, karena ketika itu mereka menahan diri dari perang. Sedangkan bulan Dzulhijah diharamkan (disucikan) karena pada bulan ini mereka pergi menunaikan ibadah Haji, dan pada bulan ini mereka menyibukkan diri dengan berbagai ritual manasik Haji.
Sebulan setelahnya, yaitu bulan Muharram juga disucikan karena pada bulan ini mereka kembali dari Haji ke negeri asal mereka dengan aman dan damai. Adapun bulan Rajab yang terletak di tengah-tengah tahun diharamkan (disucikan) karena orang yang berada di pelosok Jazirah Arabia berziarah ke Baitul Haram. Mereka datang berkunjung ke Baitul Haram dan kembali ke negeri mereka dengan keadaan aman.”
Beberapa Keberkahan Dan Keutamaan Bulan-Bulan Haram
Telah dijelaskan di muka mengenai kemuliaan bulan-bulan haram ini atas bulan-bulan lainnya, serta agungnya kesucian bulan-bulan haram ini. Maka sekarang, penulis akan memaparkan beberapa keutamaan dan keberkahan yang terkandung dalam setiap bulan haram (yang disucikan) ini.
1. Bulan Dzulqa’dah
Dia merupakan salah satu bulan Haji (asyhurul hajji) yang dijelaskan oleh Allah dalam friman-Nya:
“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS.Al-Baqarah:197)
Asyhurun ma’luumaat (bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang tidak sah ihram Haji kecuali pada bulan-bulan ini (asyhurun ma’luumaat) menurut pendapat yang shahih. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).
Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan Haji (asyhurul hajji) adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan bulan ini, bahwa empat kali ‘Umrah Rasulullah shalallahu ‘Alaihi Wassalam terjadi pada bulan ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau yang dibarengi dengan Haji, walaupun ketika itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berihram pada bulan Dzulqa’dah dan mengerjakan ‘Umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan Hajinya. (Lathaa if al Ma’aarif, karya Ibnu Rajab; Zaadul Ma’aad).
Ibnul Qayyim menjelaskan pula bahwa ‘Umrah di bulan-bulan Haji setara dengan pelaksanaan Haji di bulan-bulan Haji. Bulan-bulan haji dikhususkan oleh Allah dengan ibadah Haji, dan Allah menjadikan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara ‘Umrah merupakan Haji kecil, maka waktu yang paling utama untuk ‘Umrah adalah pada bulan-bulan Haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan Haji tersebut.
2. Bulan Dzulhijjah
Diantara beberapa keutamaan dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh manasik Haji dilakukan pada bulan ini. Kesemuanya itu merupakan syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di dalamnya, sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan, lalu tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang agung. (sebagaimana yg dijelaskan pada artikel khusus tentang bulan Dzulhijjah, keutaman sepuluh hari pertama Dzulhijjah).
3. Bulan Muharram
Di antara keutamaan dan keberkahan bulan ini, sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa yang jatuh pada) bulan Allah, (yaitu) Muharram…” (HR. Muslim)
Ibnu Rajab –rahimahullah- mengatakan, “Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam menamakan Muharram dengan bulan Allah (syahrullaah). Penisbatan nama bulan ini dengan lafazh ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini, karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan (menisbatkan) lafazh tersebut kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki oleh makhluk-nya tersebut dan seterusnya. ”
Sebagian ulama memberikan alasan yang mengaitkan tentang keutamaan puasa pada bulan ini. Maksudnya, bahwa sebaik-baik bulan untuk melakukan puasa sunnah secara penuh setelah bulan Ramadhan, adalah Muharram. Karena berpuasa sunnat pada sebagian hari, seperti hari ‘Arafah atau enam hari di bulan Syawal lebih utama (afdhal) daripada berpuasa pada sebagian hari-hari bulan Muharram.
Diantara keberkahan bulan Muharram berikutnya, jatuh pada hari kesepuluh, yaitu hari ‘Asyura. Hari ‘Asyura ini merupakan hari yang mulia dan penuh berkah. Hari ‘Asyura ini memiliki kesucian dan kemuliaan sejak dahulu. Dimana pada hari ‘Asyura ini Allah Ta’ala menyelamatkan seorang hamba sekaligus Nabi-Nya, Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya serta menenggelamkan musuhnya, Fir’aun dan bala tentaranya.
Sesungguhnya Nabi Musa ‘Alaihis Salam berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukurnya kepada Allah. Sedangkan orang-orang Quraisy di zaman Jahilliyah juga berpuasa pada hari ini, begitu juga Yahudi. Mereka dulu berpuasa pada hari ‘Asyura. Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, puasa ini pada mulanya wajib bagi kaum muslimin sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kemudian (berubah) menjadi sunnah. Sebagaimana yang tedapat dalam ash-Shahihain dari ‘Aisyah –radhiallahu- anha, ia berkata:
“Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa ‘Asyura pada zaman Jahilliyah. Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam sendiri juga berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau terus melaksanakan puasa ‘Asyura, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Lalu ketika diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan, beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang mau berpuasa ‘Asyura, berpuasalah dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, tinggalkanlah’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:
“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik)
Setelah menelaah hadist ini, Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– menyatakan,“Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam tentang fadhilah bulan Rajab di hadits-hadits yang lain. Bahkan kebanyakan hadits yang tersebar tentang keutamaan bulan Rajab ini yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam adalah dusta …”(Iqtidhaa-ush Shiraatil Mustaqiim).
Ahlul bid’ah telah memalsukan banyak hadits tentang keutamaan bulan yang disucikan ini, dan juga tentang kekhususan sebagian ibadah yang dilakukan pada bulan ini, seperti shalat dan puasa. Dan diantara orang yang mengingatkan hal ini adalah Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani –rahimahullah– dalam risalahnya, Tabyiinul ‘Ajab bi Maa Warada fii Fadhli Rajab.
Dalam risalah ini beliau menjelaskan, “Tidak muncul satupun hadits shahih tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula tentang puasanya, tidak tentang puasa tertentu, dan tidak juga tentang mendirikan shalat malam tertentu di bulan ini yang dikuatkan oleh sebuah hadits yang layak untuk dijadikan sebagai hujjah.” Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits yang meriwayatkan hal ini dan menjelaskan hukum-hukum dari hadits tersebut.
Ibnu Rajab –rahimahullah– menyatakan: “Tidak benar bahwa di dalam bulan Rajab terdapat shalat tertentu yang khusus untuk bulan ini saja.” Lalu dia mengatakan, “Tidak benar dalam keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus terdapat satu riwayat dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam dan para Sahabatnya.” Karena itu kebanyakan ulama Salaf membenci pengkhususan bulan Rajab dengan puasa.
Abu Bakar Ath-Thurthusi telah merinci masalah ini dengan mengatakan: “Shaumnya seseorang (yang dikhususkan) pada bulan ini dimakruhkan dari tiga segi, di antaranya bahwa pengkhususan kaum muslimin dengan puasa setiap tahunnya (pada bulan ini) akan menyebabkan orang-orang awam mengira bahwa hal itu adalah fardhu seperti halnya Ramadhan, atau mereka akan mengira bahwa hal itu adalah sunnah yang tetap. dikhususkan oleh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan shaum rutin, atau shaum yang didalamnya dikhususkan dengan keutamaan pahala atas seluruh bulan …”
Kemudian beliau mengatakan, “Jika ditinjau dari bab keutamaan-keutamaan Sunnah Nabi atau dari praktiknya, tidak wajib dan tidak pula sunnah menurut kesepakatan dan tidak ada lagi anjuran melakukan puasa melainkan puasa yang sudah ditentukan.”
Adapun Umrah di bulan Rajab telah disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa umrah dibulan Rajab itu adalah hukumnya sunnah menurut pendapat mayoritas generasi Salaf. Diantaranya Umar bin Khaththab –radhiallahu anhu- dan Aisyah –radhiallahu anha-. Wallahu A’lamu bish Shawab