Kata Sya’ban, menurut Ensiklopedi Islam, berasal dari kata syi’ab (jalan di atas gunung). Dikatakan Sya’ban karena pada bulan itu ditemui berbagai jalan untuk mencapai kebaikan. Menurut Syekh ‘Alamuddin as-Sakhawi, kata Sya’ban berasal dari kalimat ‘Tasya’ubil Qabail’ artinya berpecahnya kabilah-kabilah atau berpisah-pisahnya (bercabang-cabang) mereka.
Masyarakat Muslim banyak yang tidak mengetahui bahwa Sya’ban ini termasuk bulan yang disukai Rasulullah saw. Rasulullah saw ketika ditanya oleh beberapa orang shahabat tentang latar belakang puasanya di bulan Sya’ban itu, menjawab, “Bulan diangkatnya amal-amal kepada Robbul ‘alamin. Maka aku ingin diangkat amalku dan aku sedang puasa” ( HR. Nasa’i ).
Adabeberapa riwayat hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw sangat mencintai bulan Sya’ban. Kecintaannya itu ditunjukkan melalui sikap dan perbuatannya yang mencerminkan bahwa bulan Sya’ban ini memiliki nilai keutamaan tersendiri.
Keutamaan Sya’ban ini disampaikan Rasulullah saw, yang menurut penilaian para ahli hadits termasuk hadits yang shahih. Abdullah bin Abi Qais telah mendengar Aisyah berkata, ”Termasuk bulan yang paling disukai Rasulullah untuk melaksanakan puasa adalah bulan Sya’ban, lalu beliau menyambungnya dengan bulan Ramadhan (HR. Ahmad, Abu Daud, dan al-Hakim).
Dalam riwayat lain, Usamah bin Zaid berkata,”Aku telah bertanya, ’Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau puasa di bulan-bulan lainnya seperti puasa engkau di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah bulan yang dilupakan banyak manusia, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Itu adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Penguasa alam semesta (Allah), dan aku sangat suka jika amalku diangkat dan aku sedang berpuasa.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).
Tapi ada beberapa dalil yang dibuat-buat, bahkan dipalsukan. Sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai landasan akan keutamaan bulan Sya’ban itu sendiri.
Beberapa dalil yang dinyatakan oleh para ulama pakar ilmu hadits sebagai hadits palsu (maudhu’) berbicara tentang keutamaan bulan Sya’ban. Riwayat itu di antaranya,” Keutamaan bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya seperti keutamaanku dibanding seluruh para nabi. Dan keutamaan bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya seperti keutamaan Allah dibanding para hamba-Nya.”
Imam Ibnu Hajar mengatakan,”hadits tersebut palsu (maudhu’). Karena as-Saqthi salah seorang perawinya terkenal sebagai pemalsu hadits dan sanad. Dan perawi-perawi lainnya dalam hadits itu sama sekali tidak pernah meriwayatkan hadits ini.
Walaupun kita mengetahui keutamaan bulan Sya’ban ini, namun kita tidak boleh melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak dicontohkan Rasulullah SAW. Hadits-hadits shahih di atas menjelaskan kepada kita, bahwa untuk memperoleh keutamaan dari bulan Sya’ban ini dengan melakukan puasa, bukan dengan melakukan ritual dan memanjatkan do’ayang diada-adakan.
Barangkali karena keutamaan itulah yang menjadikan sebagian masyarakat Muslim kita melakukan ibadah dan ritual-ritual tertentu pada pertengahan bulan ini ( nishfu Sya’ban ). Mereka melakukan shalat khusus dan membaca Surah Yasin beberapa kali dengan cara tersendiri, dan mereka berkumpul serta memanjatkan do’a. Amalan-amalan itu mereka yakini bisa menambah rizki, memanjangkan umur dan menolak bala. Lantas, bagaimana pandangan syar’I terhadap amalan yang mereka lakukan pada malam nisfu sya’ban tersebut?
Berkumpul Dan Berdo’a Pada Malam Nisfu Sya’ban Menurut Perspektif Syar’i
Keutamaan malam pertengahan bulan, atau lebih dikenal dengan istilah nisfu sya’ban, memang ada dalil yang mendasarinya. Namun para ulama berbeda pendapat tentang kekuatan derajat periwayatannya. Sebagian kalangan menggunakan dalil-dalil lemah itu dengan alasan bahwa bila suatu hadits tidak terlalu parah kelemahannya, masih boleh digunakan landasan ibadah yang bersifat keutamaan. Sebagian lain ketat dalam menyeleksi dalil-dalil yang dianggap dhaif, sehingga semuanya dibuang begitu saja. Di antara dalil-dalil yang dianggap lemah itu misalnya hadits berikut ini:
إن الله تعالى يتجلى فيها على عباده ويستجيب دعاءكم إلا بعض العصاة
“Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat.”
Memang kalau kita mau jujur dengan hasil penelitian para muhaddtis, riwayat hadits ini tidak mencapai derajat shahih.Adasebagian kalangan yang menghasankan, tetapi tidak sedikit juga yang secara tegas mendhaifkannya.
Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu sya’ban. Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu sya’ban itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan Sya’ban tahun depan.
Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban itu, sebagaimana yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, tidak terdapat satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat dari Nabi saw dan para sahabat serta generasi pertama islam -yang merupakan sebaik baik generasi- bahwa mereka berkumpul di masjid masjid untuk menghidupkan malam ini dan membaca do’a do’a khusus serta melakukan shalat shalat khusus pula sebagaimana yang kita lihat di beberapa negri islam.
Di beberapa negri islam, pada malam nisfu sya’ban, orang orang berkumpul di masjid masjid. Mereka membaca suratyasin, kemudian melakukan sholat dua rakaat dengan niat untuk panjang umur, lalu sholat dua rakaat lagi dengan niat agar kaya. setelah itu, membaca do’a yang tidak diriwayatkan dari seorangpun golongan salaf, yaitu do’a yang panjang yang bertentangan dengan nash, dan maknanya bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam do’a itu mereka mengucapkan: ” Ya Allah, jika engkau mencatat aku di sisi-Mu dalam ummul kitab, sebagai orang yang celaka (sengsara), terhalang, terusir, atau sempit rizkiku, maka hapuskanlah Ya Allah dengan dengan karunia-Mu atas kesengsaraanku, keterhalanganku, keterusiranku dan kesempitan rizkiku. Dan tetapkanlah aku disisimu di dalam ummil kitab sebagai orang yang bahagia, diberi rizki, dan diberi pertolongan kepada kebaikan seluruhnya. Karean sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu adalah benar, di dalam kitab-Mu yang Engkau turunkan melalui lisan nabi-Mu yang Engkau utus: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz).”
Makna ayat yang disebut dalam bagian terakhir do’a di atas ( Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz). (QS Ar-Ra’d: 39) ialah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan dalam ummul kitab tidak mungkin dihapus atau ditambah dengan ketentuan baru. Kalau pun dihapus atau ditambah yang baru itu bukan pada catatan lauh mahfudz, melainkan pada selain itu, yaitu pada catatan malaikat dan yang lainnya. Jadi, bagaimana mungkin seorang hamba dapat meminta kepada tuhannya agar dia menghapuskan dan menetapkan sesuatu yang baru di dalam umul kitab?
Begitu pula do’a do’a yang mereka ucapkan seperti: “ jika engkau telah menentukan begini dan begitu…maka hapuskanlah ini dan itu, atau berbuatlah begini dan begitu..” hal itu menunjukan keraguan, padahal nabi saw menyuruh kita berdo’a kepada Allah dengan mantap dan sungguh sungguh, tidak boleh merasa bimbang dan ragu. dari sini kita dapat simpulkan bahwa doa nisfu sya’ban tersebut salah dan tidak mempunyai landasan sama sekali.
Dalam do’a tersebut juga terdapat ucapan: “ wahai tuhanku, dengan tajalli agung pada malam nisfu sya’ban yang mulia, yang pada malam itu segala urusan dijelaskan dan ditetapkan, hendaklah engkau hilangkan bala bencana dari kami, baik yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui..” ucapan di atas juga merupakan kesalahan, karena yang dimaksud malam dijelaskannya segala urusan yang penuh hikmah (tentang hidup, mati, rizki, nasib baik dan buruk, dan sebagainya) itu ialah malam diturunkannya al-qur’an, malam al-qadar, malam tajalli yang teragung, yaitu pada bulan ramadhan menurut nashal qur’an. Allah swt berfirman:
“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, “(QS. Ad dukhan:1-4)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS. Al qadar:1)
“bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an.” (QS. albaqarah: 185)
Jadi, secara meyakinkan dapat kita katakan bahwa yang dimaksud ‘malam dijelaskannya segala urusan yang penuh himah itu’ yang disebutkan dalam do’a nisfu sya’ban tersebut ialah malam al qadar pada bulan ramadhan sebagaimana ijma’ulama. Adapun riwayat dari Qadatah yang menyebutkan bahwa malam nisfu sya’ban itu malam dijelaskannya segala urusan yang penuh hikmah merupakan riwayat yang dhoif dan mutharib (tidak meyakinkan). Sebenarnya dari qatadah sendiri terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa malam itu ialah malam al qadar.
Ibnu katsir menilai dhaif hadist yang menerangkan bahwa pada malam nisfu sya’ban telah ditetapkan ajal manusia dari bulan sya’ban yang satu kebulan sya’ban yang lain. Hal ini bertentangan dengan nash nash al qur’an dan al hadist.
Dari sini kita tahu bahwa do’a nisfu sya’ban tersebut penuh dengan kekeliruan dan kesalahan, dan merupakan do’a yang tidak diriwayatkan dari nabi saw., dari generasi umat terbaik, dan tidak diriwayatkan oleh kalangan salaf.
Sedangkan masalah berkumpul-kumpul pada malam nisfu sya’ban dalam bentuk yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya’ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah saw maupun di zaman shahabat dan hal itu termasuk perkara bid’ah.
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah Beliau berkata bahwa salah satu bentuk ritual bid’ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah saw.
Ustadz ‘Athiyah Shaqr kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya’ban antara Maghrib dan Isya’ demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Allah swt. Semua itu memang dianjurkan. Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.
Dr. Yusuf al-Qaradawi, Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya’ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).
Dari pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa berkumpul dan berdo’a pada malam nisfu sya’ban adalah perkara bid’ah. Dalam urusan ibadah kita tidak boleh mengada-ngada, kita musti mengikuti jalan kebenaran yang telah ditempuh orang orang salaf, dan meninggalkan jalan bid’ah. Sebab, semua yang diada-adakan dalam ibadah adalah bid’ah, semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan tempatnya di neraka. semoga Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti apa yang datang dari rasulullah saw dan sahabat sahabat beliau. Wallahu a’lam.
Referensi:
- Ibn Qudamah, Al-Mughny (Qahirah: Hajru Li Ittiba’ah WaAn-NasyrWaAt-Tauji’, 1406)
- Al-Hafidh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (Bairut: Al-Maktabah Al-Isriyah, 1420)
- Al-Imam As Suyuthi, Ad Dur Al-Mantsur Fi At-Tafsir Bi Al-Ma’tsur (Bairut: Dar Al-Fikr, 1414)
- Ibn Jarir Ath Thabary, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil Ayyi Al-Qur’an (Bairut: Dar Al-Fikr, 1420)
- Ibn Taimiyah, Majmu Fatawa
- Abdul Aziz Bin Baz, Maqalat Wa Rasail Syaikh Abdul Aziz Bin Baz.
- Kholid Al Juraisy, Al Fatawa Al Syar’iyyah Fi Al Masail Al Asriyah Min Fatawa Ulama Al Bilad Al Haram, (Riyad: Mu’assasah Al Juraisy, 1420)
- Yusuf Qardhawi, Hadyu Al Islam Fatawa Mu’ashirah ( Bairut: Dar Alma’rifah, 1408) Cetakan Keempat. (By: Ryan Arief Rahman)
Sumber: Majalah YDSUI Juni 2012
Jazakillah 🙂