Tidak berpuasa ramadhan hukumnya boleh jika terdapat beberapa udzur syar’i, penjelasan udzur syar’i tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, perjalanan. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“….dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
Dalam bahasa arab, safar (perjalanan) artinya kepergian yang memerlukan biaya serta menempuh jarak tertentu. Tidak ada nash syar’I menganai hal ini, hanya saja ada isyarat tentangnya, yaitu sabda nabi saw dalam haidt shahih,
لا يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ إِلا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“ wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh melakukan perjalanan sejauh jarak sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Ibnu Huzaimah)
لا تسافر المرأة فوق ثلاث الا مع ذي محرم
“Tidak (boleh) wanita bepergian di atas 3 (hari) kecuali bersama mahramnya.” (HR Muslim)
لا تسافر امرأة ثلاثة أيام فصاعدا إلا مع أبيها أو ابنها أو أخيها أو زوجها أو ذي محرم
“Tidak boleh wanita bepergian 3 hari lebih kecuali bersama ayahnya, anaknya, saudara laki-lakinya, suaminya atau mahramnya.” (HR Al-Baihaqi)
Orang yang sedang safar dan menempuh jarak yang memperbolehkannya shalat qashar, maka diperbolehkan untuk berbuka pada bulan Ramadhan, sesuai kesepakatan para ‘ulama, baik dia mampu untuk melakukan shaum ataupun tidak, dan baik shaumnya itu memberatkan dirinya maupun tidak.
Adapun jarak yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalatnya dan berbuka, menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad adalah perjalanan yang ditempuh dengan unta atau berjalan kaki selama dua hari, misalnya perjalanan antara Makkah dan Jeddah, atau perjalanan yang berjarak 16 farsakh, yaitu sekitar 48 mil ( 88,7 Km). Dan menurut Imam Abu Hanifah adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari.
Syaratnya menurut jumhur adalah perjalanan dimulai sebelum terbit fajar dan tiba di tempat yang menjadi titik awal bolehnya qashar dalam keadaan telah meninggalkan rumahnya. Adapun madzhab hanbali membolehkan musafir untuk tidak berpuasa meskipun dia berangkat dari negrinya pada siang hari, walaupun kebarangkatannya itu sesudah waktu dzuhur.
Ada dua syarat lain menurut jumhur ulama, yaitu : perjalanan itu mubah, dan tidak diniati untuk bermukim selama empat hari. Madzhab maliki membolehkan tidak berpuasa karena perjalanan dengan empat syarat; perjalanan itu jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar, perjalanan itu harus mubah, berangkat sebelum terbit fajar apabila itu adalah hari petama, dan meniatkan untuk tidak berpuasa pada malam hari.
Jika seorang musafir berpuasa, maka sah puasanya dan gugur kewajibannya. Ulama empat madzhab bersepakat akan hal tersebut. pendapat mereka berlandaskan pada hadist anas, beliau berkata,
كنا نسافر مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم يعب الصائم على المفطر ولا المفطر على الصائم
” dulu kami sering melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw, tapi tidak pernah orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, juga tidak pernah terjadi sebaliknya.”
Kedua, sakit.
Yaitu kondisi yang mengakibatkan berubahnya tabiat menjadi rusak. Kondisi seperti ini dibolehkan tidak berpuasa, sama seperti perjalanan, dengan dalil firman Allah swt,“….dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
Ukuran sakit yang membolehkan tidak berpuasa adalah sakit yang mendatangkan kesukaran berat bagi penderitanya, atau dikhawatirkan akan mati jika berpuasa, atau dikhawatirkan penyakitnya tambah berat atau lambat sembuhnya disebabkan berpuasa. Jika si sakit tidak terancam bahaya apapun jika berpuasa (seperti penderita kudis, sakit gigi, linu di jari jemari, bisul dan sejenisnya) dia tidak boleh meninggalkan puasa.
Jika ada dugaan kuat akan terjadi kebinasaan lantaran berpuasa, atau terjadi mudarat yang berat (misalnya disfungsi salah satu indra), maka wajib meninggalkan puasa.
Menurut maadzhab maliki orang sakit memiliki empat keadaan, yaitu sebagai berikut: pertama, sama sekali tidak mampu berpuasa atau khawatir menyebabkan kematian atau khawatir lemah tubuhnya. Dalam kedaan ini boleh meninggalkan puasa. Kedua, mampu berpuasa namun dengan kondisi berat. dalam kedaan ini diperbolehkan meninggalkan puasa. Ketiga, mampu berpuasa namun dengan sukar serta khawatir sakitnya bertambah parah. Dalam keadaan ini wajib tidak berpuasa. Keempat, puasa tidak berat dan dengannya tidak khawatir bertambah parah sakitnya. Dalam kedaan ini tidak boleh meninggalkan puasa.
Para ulama bersepakat bahwa orang sakit maupun musafir tidak sah berpuasa sunnah pada bulan ramadhan. Begitu juga menegrjakan puasa wajib lainnya di bulan ramadhan.
Orang sakit dan musafir menurut madzhab syafi’I harus membayar kafarah disamping mengqadha puasa apabila telah datang bulan ramadhan berikutnya, sementara belum mengqadhanya. Kafaratnya adalah memberi makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya dari jenis makanan pokok yang berlaku secara umum di negrinya.
Ketiga, hamil dan menyusui.
Wanita hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika khawatir atas dirinya atau anaknya mendapat mudarat, dan kekhawatiran tersebut berupa lemahnya kecerdasan, mati atau sakit. Kekhwatiran tersebut ditentukan dengan praduga kuat dengan berlandasakan pada pengalaman sebelumnya atau dengan landasan informasi seorang dokter muslim yang kredibel dan terpercaya.
Dalil bolehnya tidak berpuasa bagi dua wanita tersebut adalah qiyas kepada orang sakit dan musafir, juga berdasakan sabda nabi saw,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ ، وَشَطْرَ الصَّلاةِ ، وَعَنِ الْحُبْلَى ، أَوِ الْمُرْضِعِ
“ sesungguhnya Allah azza wa jalla telah menggugurkan kewajiban puasa dan separuh shalat dari pundak musafir, dan menggugurkan puasa dari pundak wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.” (H.R.Ahmad)
Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan keselamatan jiwa mereka, atau beserta anak-anak mereka sendiri, maka diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka. Namun wajib untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya dan tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya orang sakit yang diperbolehkan berbuka. (Al-Mughni, 3/139, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’,10/220,161)
Dan jika mereka hanya mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya saja, bukan keselamatan jiwa mereka sendiri, maka diperbolehkan berbuka, dan diwajibkan untuk mengqadha’ shaum yang ditinggalkannya, ditambah dengan membayar fidyah shaum yang ditinggalkannya, karena sebenarnya mereka mampu untuk melaksanakan shaum. (Al-Mughni, 3/139, Majmu’ Fatawa,25/218)
Namun Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan shaum cukup baginya untuk membayar fidyah, tidak perlu untuk mengqadha shaum yang ditinggalkannya.
Dari Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu ‘Umar RA ditanya tentang wanita hamil bila khawatir terhadap (kesehatan) anaknya. Dia menjawab, “Dia berbuka dan memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sebanyak satu mud gandum.” Dan Ad-Daroquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar RA dan dia menshahihkannya, ia berkata, “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak wajib mengqhada.’ Dan dia meriwayatkan dari jalur yang lain, “Bahwasanya istrinya bertanya kepadanya disaat dia sedang hamil, ia berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin setiap hari dan dia tidak wajib mengqhada.” Dan isnadnya jayyid (baik). Dan dari jalur ketiga, darinya, “Sesungguhnya anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, dan dia sedang mengandung. Lalu dia merasa kehausan di bulan Ramadhan. Maka dia menyuruhnya berbuka, dan memberi makan satu orang miskin setiap hari.”
Sedangkan ukuran fidyah adalah satu mud gandum, yang sepadan dengan ¼ sha’ atau 675 gram bahan makanan lain.
Kelima, usia lanjut.
Allah SWT berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“…dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (tidak shaum) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” ( QS. Al Baqarah: 184 )
Ibnu ‘Abbas RA berkata, “Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) bagi laki-laki atau wanita tua renta yang apabila tidak sanggup menjalankan shaum, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan setiap harinya memberi makan seorang miskin sebagai ganti satu hari shaumnya.” (Lihat shahih Bukhari, no. 4505, Tafsir Ath-Thabari, 2/79)
Para ulama ber’ijma bahwa orang tua renta, yang tidak mampu berpuasa sepanjang tahun, boleh tidak berpuasa. Dan tidak wajib mengqadha karena tidak memiliki kemampuan. Diwajibkan atasnya hanya membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin setiap hari.
Keenam, rasa lapar dan haus yang luar biasa.
Boleh tidak berpuasa (tapi wajib mengqadha) bagi orang yang mengalami rasa lapar atau haus yang amat sangat, dengannya dikhwatirkan menyebabkan kematian, menurun kecerdasannya, atau salah satu indranya tidak berfungsi dengan baik, sehingga dengan kondisi tersebut tidak mampu berpuasa. Jika dikhawtirkan menyebabkan kematian lantaran berpuasa, maka haram mengerjakan puasa. Berdasakan firman Allah,
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“ … dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-baqarah:195)
Ketujuh, pemaksaan.
Boleh tidak berpuasa bagi orang yang dipaksa orang lain, namun harus mengqadha puasanya menurut jumhur ulama. Sedangkan menurut madzhab syafi’I puasa orang yang dipaksa tidak batal. Dan Apabila seorang wanita disetubuhi secara paksa atau dalam kedaan tertidur, maka dia harus mengqadha puasanya.
Inilah penjelasan udzur syar’I yang membolehkan bagi orang yang mengalaminya untuk tidak berpuasa. adapun haidh, nifas dan gila yang menimpa kepada orang yang sedang bepuasa membolehkan untuk menghentikan puasanya; kondisi tersebut justru membuat puasanya tidak wajib, dan bahkan tidak sah. Wallahu a’lam.
sumber: Majalah YDSUI Juli 2012