Hukum Seorang Guru Menerima Hadiah Dari Pihak Murid
Penulis: Izzuddin Hadidullah (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Memberikan hadiah kepada orang lain merupakan perkara yang dianjurkan dalam Islam. Terlebih, kepada orang yang menurut pribadinya adalah pihak yang harus dihormati, dicintai, dan dikasih sayangi.
Bahkan Nabi Muhammad ﷺ selalu memberi hadiah dan menerima hadiah dari orang lain. Beliau juga mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk melakukan hal itu.
Disebutkan dalam sebuah hadis dari sahabat agung Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Duhai para wanita muslimah, janganlah kalian saling meremehkan satu tetangga dengan tetangga yang lain, meski hanya memberi hadiah satu bagian kaki kambing.” (HR. Bukhari: 5558)
Tak sebatas di situ, Rasulullah ﷺ juga memiliki kebiasaan membalas hadiah dari orang lain. Setiap kali diberi hadiah, beliau tidak lupa membalas dengan hadiah lain.
Ihwal ini sebagaimana yang dikabarkan oleh Ibunda Aisyah, istri beliau yang dirawatkan oleh Imam Bukhari (HR. Bukhari: 2396).
Semakin banyak memberi hadiah maka semakin bertambah pula kecintaan seseorang. Inilah tujuan saling memberi hadiah. Agar saling mencintai (HR. Bukhari/Adab al-Mufrad: 594) dan menghilangkan kebencian hati. (HR. Ahmad: 8882)
Namun, jika hadiah dikaitkan dengan beberapa kepentingan yang sudah direncanakan di awal, bisa jadi yang semula hukumnya dianjurkan menjadi perkara yang dilarang karena dikategorikan sebagai suap ataupun gratifikasi ataupun ghulul (mencuri rampasan perang).
Adapun kasus kekinian yang masih sering ditanyakan adalah perkara bolehkan guru di sebuah lembaga pendidikan menerima hadiah dari murid ataupun wali murid. Berikut penjelasan singkatnya:
Membedakan dari sisi pengertian.
Agar tahu secara pasti apakah pemberian itu dibenarkan menurut syariat, marilah kita mengkaji pengertian beberapa istilah terkait barang pemberian.
Sedang istilah barang pemberian berkisar pada “hadiah” (hadiah), “hibah” (pemberian) dan “risywah” (suap).
Dalam mendefinisikan “hadiah“, para fuqaha’ membahasakannya dengan ungkapan:
التمليك بغير عوض على وجه المودة والمحبة وصلة الرحم
“Hak memiliki (pemberian) tanpa ada (syarat) timbal balik yang didasari atas kecintaan, kasih sayang dan menyambung kerabat.”[1]
Sedangkan istilah “hibah” dijabarkan sebagai:
تَمْلِيكُ الْمَال بِلاَ عِوَضٍ فِي الْحَال
“Hak memiliki (pemberian) tanpa ada (syarat dan tujuan tertentu) yang diterima seketika.”[2]
Dan mengidentifikasikan “risywah” (suap) sebagai:
كل مال يدفع ليبتاع به من ذي جاه عوناُ على ما لا يحل
“Setiap harta yang dikeluarkan untuk mencari timbal balik dari seseorang yang berkedudukan berupa bantuan atas sesuatu yang tidak dibenarkan.”[3]
Maka secara ringkas ketiganya dapat dibedakan karena maksud dan tujuan. Adapun hadiah itu bertujuan untuk lebih berkasih sayang dan tanda kasih.
Sedangkan hibah (pemberian) adalah barang yang diberikan secara langsung secara cuma-cuma tanpa tendensi apapun. Dan suap, jelas bahwa tujuannya adalah menuntut balas jasa dalam urusan tertentu.
Dr. Afnan binti Muhammad, guru besar fikih universitas Ummul Qura bidang syariat dalam kitabnya “Taqrib Aqwal fi Hukmi Hadaya Ummal” (hlm. 132) menyebutkan, “Tujuan (hadiah) adalah untuk saling berkasih sayang. Kasih sayang di sini merupakan tujuan yang benar.
Namun, terkadang hadiah juga bertujuan untuk membantu kelancaran suatu urusan tertentu. Maka yang seperti ini berubah status menjadi suap.”
Lebih dalam lagi adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikh Abdurahim bin Hasyim tentang perbedaan antara hadiah dan suap.
Beliau menjelaskan dari sisi tujuan, bahwa hadiah dimaksudkan untuk berkasih dan mengasihi. Sedangkan tujuan dari suap adalah meminta bantuan untuk suatu urusan yang disyaratkan di awal.
Jika ditinjau dari publikasi, hadiah tidak ada masalah jika diumumkan, lain halnya dengan suap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Sedangkan dari sisi waktu penerimaan, kebanyakan hadiah diberikan setelah hasil didapatkan. Sementara itu, suap justru diberikan sebelumnya.[4]
Beliau menjelaskan bahwa hadiah mayoritasnya diberikan setelah hasil karena tidak menutup kemungkinan juga bahwa suap diberikan setelah hasil sebagaimana hadiah.
Jadi, indikator waktu penerimaan pemberian bukanlah faktor utama pembeda antara keduanya. Demikian berdasarkan hadis Nabi dari Abu Umamah
“Barang siapa yang memberi suatu pertolongan pada seseorang kemudian diberi suatu hadiah dan diterima maka ia telah mendatangi pintu riba yang besar .”[5]
Ringkasnya, setelah membandingkan pengertian yang ada, maka faktor utama suatu pemberian dikategorikan boleh ataupun terlarang adalah karena faktor kepentingan si pemberi.
Apakah di dalamnya terdapat tendensi untuk sebuah tujuan tertentu atau sebatas simbol balas budi, penghormatan dan rasa terima kasih, atau bahkan memang tidak ada tujuan duniawi sama sekali.
Hukum gratifikasi[6] pegawai.
Sebenarnya hukum permasalahan ini sudah jelas. Termasuk perkara yang disepakati oleh para ulama atas keharamannya. Serta banyak sekali dalil yang saling menguatkan.
Seperti sabda Nabi ﷺ
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا، فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang telah kami pekerjakan dan telah kami beri rezeki (upah tetap) maka semua harta yang dia dapatkan di luar hal itu adalah harta ghulul.”[7] (HR. Abu Dawud: 2943)
Ditegaskan juga dengan kebijakan beliau manakala mengutus Ibnu Lutbiyah untuk mengambil harta sedekah wajib (zakat) dari Bani Sulaim. Sekembalinya dari sana ia mendapatkan hadiah dari kabilah tersebut.
Alih-alih memberikan zakat serta hadiah tersebut kepada Rasulullah ﷺ ia justru mengambil hadiah tersebut karena memang diberikan kepadanya. Mendengar kabar tersebut Nabi ﷺ mengingkarinya dan bersabda
فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ، حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا
“Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibumu, sampai hadiah itu menghampirimu sendiri, jika memang kamu jujur (bisa melakukannya).” (HR. Muslim : 1832)
Imam Syaukani juga menyimpulkan, “Secara umum hadiah yang diberikan kepada hakim atau yang semisalnya (pegawai) termasuk dari bentuk suap.
Sebab, pemberi jika tidak ada kebiasaan untuk memberi kepada hakim (secara personal) sebelum diangkatnya, ujungnya ia tidak akan memberi kecuali karena sebuah tujuan, … dan semua itu haram.
Kemungkinan terendahnya adalah untuk mencari kedekatan kepada hakim … sehingga tidak ada tujuan lain kecuali ingin mempengaruhi kebijakan atas lawannya.”[8]
Tidak heran Ibnu Qudamah juga berpikir demikian dengan mengatakan, “Munculnya hadiah setelah adanya jabatan mengindikasikan bahwa hadiah tersebut bertujuan untuk sebuah kepentingan.”[9]
Meskipun disengaja ataupun tidak, atas tujuan yang dibenarkan ataupun tidak, dan sebelum ataupun setelahnya. Seluruhnya mengindikasikan pemberian tersebut terdapat unsur suap.
Maka konklusi dari kedua hadits dan uraian para ulama di atas jelas menerangkan haramnya menerima tip di luar upah yang diberikan ketika ia dipekerjakan seseorang. Baik itu memang diberikan khusus secara pribadi atau diberikan atas profesionalitasnya.
Apakah guru juga termasuk pegawai.
Kalaulah kita cermati lebih dalam, permasalahan hadiah para pegawai yang dilarang Rasulullah ﷺ dan yang dijelaskan oleh para fuqaha’ dalam kitab-kitab fikih, justru berkisar pada instansi kepemerintahan.
Jarang sekali menjamah pada instansi swasta ataupun badan usaha kekinian. Maka apakah lembaga-lembaga tersebut juga dapat dikiaskan dalam masalah ini dengan para petugas pemerintahan.
Dalam hukum ketatanegaraan Indonesia dicantumkan bahwa guru non-ASN apapun itu bentuknya termasuk dari golongan pegawai perusahaan. Dan yayasan adalah perusahaan dalam bidang pendidikan.
Disebutkan dalam Undang-Undang Serikat Pekerja bahwa pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka pegawai, guru, dan dosen swasta termasuk pekerja atau buruh.
Oleh karena itu, para ulama kontemporer juga berupaya untuk mendefinisikan pegawai dengan pengertian yang sesuai dengan masa kini.
Di antaranya adalah dari kitab “Mu’jam Lughah Fuqaha’“, menurut Dr. Muhamad Rawas Qol’ah pegawai adalah
من يختص عمله بغيره من دولة أو شركة أو مؤسسة أو فرد في محل تجاري أو مزرعة أو مصنع أو ورشة ونحوها
“Pihak yang dikhususkan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan oleh sebuah negara, korporasi, yayasan, perorangan dalam ranah bisnis usaha, pertanian, industri, teknisi, dan lain sebagainya.”[10]
Dari pengertian di atas nampaknya para fuqaha’ kontemporer memasukkan dalam pengertian pegawai seluruh pihak yang bekerja untuk sebuah lembaga ataupun perorangan.
Oleh karena itu Dr. Abdurahman bin Ibrahim dalam kitabnya menyetujui pengertian pegawai di atas.[11] Sebab memang tidak ada perbedaan yang mencolok antara pegawai pemerintahan ataupun swasta dalam hak dan wewenang.
Hukum guru menerima hadiah dari wali murid, atau murid.
Sehubung pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah karyawan dan karyawan tidak berhak menerima hadiah di luar upah pekerjaannya.
Namun di sini terdapat dua faktor tinjauan yang mempengaruhi hukumnya. Dijelaskan oleh Syaikh Shalih Munajid, kiranya perlu melihat sisi: tujuan dan kebiasaan.
Maksud dari tujuan adalah apakah pemberi berniat untuk mengamalkan sunah memberi hadiah atas dasar cintanya atau dengan sadar menginginkan sesuatu lebih.
Apabila atas dasar cinta, kata Ibn Abidin[12] tidak mengapa untuk mengambilnya. Sedangkan jika terdapat suatu hal maka minimal hukumnya adalah makruh.
Imam Syihabudin ar-Ramli ketika membicarakan hadiah seorang mufti, pengajar Al-Qur’an dan ahlul ilmi meski membolehkan bagi mereka untuk menerima hadiah, tetap saja ada ketentuannya.
Seperti tidak ada tendensi apa pun dari pemberi tersebut.
Jika tidak, maka kata beliau, “Apabila seorang mufti menerima hadiah agar bermudahan dalam berfatwa, jika dalam kebatilan maka ia termasuk fajir, mengganti hukum Allah dan menjual dengan harga yang rendah, dan jika dalam hal yang benar maka hukumnya makruh yang sangat dibenci.”[13]
Kutipan di atas tidak sebatas pada mufti saja melainkan para pengajar yang tidak ada kaitannya dengan lembaga tertentu.
Karena pada zaman dahulu profesi tersebut berdiri sendiri di luar lembaga pemerintahan atau swasta. Murni mengambil upah dari swadaya masyarakat yang cuma-cuma.
Dan jika para guru zaman dahulu aturan hukumnya sebegitu ketat, lantas selayaknya guru hari ini lebih tidak berhak menerima hadiah karena terhitung karyawan dari sebuah lembaga pendidikan. Sebab jarang sekali didapati guru lepas yang tidak terikat dengan suatu badan lembaga tertentu.
Kemudian, jika memang dalam konteks hadiah yang diperbolehkan. Dari sisi “kebiasaan”, hari ini memberi hadiah kepada guru yang telah memiliki gaji tetap dari lembaga pendidikan sering dinilai sebagai gratifikasi.
Meski dengan niatan tulus. Sebab dapat membuat hati guru condong pada murid tersebut sehingga memberikan perlakukan khusus ataupun dispensasi lainnya.
Sehingga hukum hadiah yang boleh tersebut menjadi tidak boleh diterima karena penilaian buruk ini. Bahkan jika hadiah tersebut diberikan setelah penerimaan hasil ujian.
Sebab tidak menutup kemungkinan di ujian mendatang seorang guru hatinya dapat luluh dan mengharap pemberian di penerimaan rapot mendatang.
Manakala hadiah itu diberikan setelah proses pendidikan berakhir maka juga tidak bisa terlepas dari yang namanya hasil riba, sebagaimana yang tercantum dalam hadis Abu Umamah yang terlah dijelaskan sebelumnya.
Pemberian hadiah kepada guru tertentu juga memiliki potensi ketimpangan antar sesama guru. Sehubung hadiah tersebut biasa hanya diberikan kepada wali kelas, guru favorit, dan pihak tertentu saja.
Sedangkan masih banyak jajaran guru dan perangkat sekolah yang tidak kalah berjasanya dalam proses pembelajaran. Dari sini bisa muncul benih-benih kecemburuan sosial, iri dengki dan kompetitif non-produktif.
Sehingga jangka panjangnya akan mempengaruhi profesionalitas kinerja kerja sang guru.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menerima hadiah dari pihak murid apa pun itu tujuannya, minimal berkonsekuensi hukum makruh dan bahkan haram.
Berdasarkan bahwa hadiah tersebut secara hukum termasuk dari hadiah karyawan yang bersifat haram, serta faktor lain yang menguatkan larangannya.
Seperti faktor kesamaan bentuk dengan gratifikasi di instansi pemerintah dan juga faktor kecemburuan sosial yang akan muncul dalam jangka panjang.
Boleh menerima hadiah dengan ketentuan.
Ternyata, di beberapa kondisi tertentu seorang guru dibolehkan untuk menerima sebuah hadiah dari pihak murid.
Ini mungkin menjadi salah satu solusi bagi pihak yang keberatan atas larangan menerima hadiah. Serta menjadi rekomendasi para pemegang keputusan untuk bersikap atas kasus tersebut.
Menerima hadiah setelah diberikan izin oleh pihak atasan termasuk perkara yang diperbolehkan.
Manakala pemimpin sudah memberi izin kepada bawahannya untuk menerima hadiah -dalam proporsi tertentu- maka tidak ada masalah.
Hal ini berdasarkan arahan Nabi kepada Muadz ketika diutus ke negri Yaman. Nabi bersabda :
أتدري لم بعثت إليك، لا تصيبن شيئاً بغير إذني فإنه غلول
“Tahukah engkau kenapa aku mengutus seseorang (memanggilmu kembali)? Jangan engkau mengambil sesuatu tanpa seizinku karena hal itu merupakan bentuk khianat (dalam urusan rampasan perang).” (HR. Tirmidzi : 1336)
Dari hadits di atas secara tidak langsung dapat disimpulkan, jika seseorang telah mendapatkan izin pimpinan atas hak sebuah hadiah maka tidak mengapa ia mengambilnya.
Tentunya jajaran pemimpin juga harus mengambil keputusan bijak tentang prosedur kebolehannya. Atau bisa juga dengan mengumpulkan semua hadiah kemudian dibagi keseluruhan dengan bagian yang sesuai pula.
Atau penerima hadiah boleh memiliki barang-barang tertentu, seperti barang yang tidak bisa dibagi dan barang yang bersifat personal.
Adapun dari pihak guru yang diberi hadiah, hendaknya bersikap dewasa dan bijak menerima keputusan yang ada. Dan berlapang dada jika hadiah yang diberikan tidak boleh dimanfaatkan.
Serta hendaknya membalas hadiah dari wali murid agar tidak ada rasa hutang budi sama sekali. Imam Syafi’i pernah berkata,
“Jika ia diberi hadiah … karena (sikap) penghormatan dan rasa terima kasih atas totalitas pekerjaannya, maka janganlah diterima … kecuali jika ia berkeinginan membalas hadiah dengan yang setimpal maka boleh ia memilikinya.”[14]
Akhir kata, hadiah tidak boleh mempengaruhi sikap seorang guru, seorang guru harus lapang dada tentang larangan menerima hadiah.
Pihak atasan juga harus bersikap bijak membuat keputusan yang bersifat adil.
Begitu pula bagi para wali murid, hendaknya mengapresiasi kinerja guru diungkapkan pada wujud yang tepat, sehingga tidak masuk dalam ranah ‘suap’ secara halus meski tanpa disadari.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Abdul Wahab Baghdadi : al Maunah Ala Madzab Alim Madinah…” 3/1609.
[2] Fathul Qodir : Ibn Hamam : 9/19.
[3] Ibn hajar : Fathul Baari : 5/539.
[4] Abdurahim bin Hasyim : Hadaya Muwadhofin : 154-155
[5] HR. Ahmad 261/5, Abu Dawud No. 3541, Thobari No. 7928.
[6] Menurut KBBI “pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh”, sedangkan menurut Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 : “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lain.
[7] Mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi.
[8] Syaukani : Nailum Author : 8/309.
[9] Ibnu Qudamah : al-Mughni : 59/14.
[10] Mu’jam Lughoh Fuqoha’ : Dr. Muhamad Rawas Qol’ah, hlm. 506.
[11] Abdurahman bin Ibrahim : Hadaya lil Mufadhofin, hlm. 32.
[12] Ibn Abidin : Radul Mukhtar : 311/4.
[13] Nihayatul Muhtaj : Syihabudin Ramli : 256/8
[14] Umm : Syafi’i : 58/2.