Fitnah Keluarga dan Harta Benda
Penulis: Muhammad Faishal Fadhli (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Sejatinya, anak dan istri bisa berperan sebagai pendukung dalam kebaikan; menjadi support system yang mengantarkan pada kesuksesan.
Tetapi, Al-Qur’an menyebutkan; bahwa anak dan istri juga berpotensi menjadi duri dalam daging, bahkan bisa menjadi musuh dalam perjuangan.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya dari istri-istrimu dan anak-anakmu, ada yang jadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS. At-Taghabun: 14)
Menurut Ibnu Abbas, sebab turunnya ayat ini adalah karena sebagian penduduk Makkah yang telah mendapatkan sinar hidayah, justru mengurungkan niat mereka untuk masuk Islam dan hijrah ke Madinah, karena tidak didukung oleh istri-istri dan anak-anak mereka.
Padahal setelah ditinggal pergi oleh Nabi, beberapa penduduk Makkah mulai merasakan kebenaran dan kemuliaan Rasulullah ﷺ.
Bahkan rasa itu begitu membuncah dan menggerakkan hati mereka untuk hijrah dan bersayahadat. Tetapi, semangat tersebut surut lantaran dipadamkan oleh penolakan dari anak dan istri.
Mungkin, juga karena mereka belum siap mental untuk meninggalkan harta benda serta aset-aset berharga di kampung halaman.
Demikianlah sebab turunnya surah At-Taghabun: 14.
Dalam ilmu tafsir dan studi Al-Qur’an, terdapat sebuah kaidah yang berbunyi, “al-‘ibratu bi ‘umum al-lafdzi la bi khusushi as-sabab.”
Bahwasannya ibrah (pelajaran) suatu ayat, diambil dari keumuman lafadznya, tidak dibatasi karena kekhususan sebabnya.
Dalam hal ini, peringatan tentang fitnah keluarga bersifat umum, meskipun berangkat dari satu kasus tertentu. Keluarga yang menghambat kebaikan, meski tidak semuanya, selalu ada di setiap masa.
Untuk itu, setiap mukmin dihimbau agar selalu waspada.
Dalam tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan, “Benar-benar disengaja atau tidak disengaja, kadang-kadang, istri dan anak-anak bisa saja jadi musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh yang akan menghambat cita-cita.”
Sejarah mencatat, beberapa istri tidak satu frekuensi dengan suami. Padahal suaminya orang shalih, ahli ibadah, bahkan nabi yang diutus oleh Allah. Tetapi istrinya justru menjadi musuh dalam perjuangan.
Contoh istri yang jadi musuh suami, termaktub dalam surah At-Tahrim ayat 10, yaitu istri-istri dari dua orang Nabi, Nabi Nuh dan Nabi Luth
ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱمْرَأَتَ نُوحٍ وَٱمْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَٰلِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا وَقِيلَ ٱدْخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ
“Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami;
lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), ‘Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)’.”
***
Sayyid Quthub menerangkan bahwa pengkhianatan istri Nuh dan istri Luth adalah pengkhianatan dalam dakwah, bukan pengkhianatan keji berupa penyelewengan seksual.
Pengkhianatan istri Nabi Nuh: mencela dan mengolok suaminya. Alih-alih mendukung dakwah sang suami, ia justru bergabung bersama para pencemooh dari kaumnya.
Pengkhianatan istri Nabi Luth: membocorkan informasi kepada kaumnya tentang kedatangan tamu-tamu Nabi Luth; padahal dia paham betul betapa kaumnya mempunyai syahwat yang bejat terhadap para tamu.
Demikianlah contoh permusuhan dari pihak istri.
Adapun contoh permusuhan dari pihak anak terdapat dalam kisah Nabi Nuh juga, ketika salah seorang dari anaknya tidak mau mengikuti beliau menaiki bahtera yang telah disediakan, sehingga anak itu turut tenggelam.
Sampai Allah memberikan keputusan kepada Nabi Nuh.
“Sesungguhnya dia bukanlah anak engkau; sesungguhnya dia ini adalah mempunyai amalan yang tidak shalih (perbuatan yang tidak baik).” (Hud: 46)
Perintah untuk berhati-hati terhadap fitnah keluarga, sebagaimana termaktub dalam surah At-Taghabun: 14, bukan berarti melemahkan semangat dalam membina rumah tangga.
Ayat ini justru memberi pelajaran berharga khususnya bagi para suami dan ayah agar bersikap bijaksana dalam mendidik anak dan istri: memaafkan kesalahan-kesalahan kecil yang mereka lakukan, bahkan dianjurkan untuk melupakannya jika mereka sudah ditegur dan mengakui kesalahnnya.
Seorang ayah dituntut untuk meniru sifat Ar-Rahman, yaitu mendidik dengan penuh kasih-sayang. Sebab dengan kekerasan, tidaklah pendidikan itu akan berhasil.
***
Harta dan anak-anak adalah perhiasan dan kenikmatan duniawi. Islam tidak melarang umatnya untuk bersenang-senang dengan kenikmatan duniawi selama hal itu dilakukan dalam batas-batas kategori halalan thayyiban.
Punya banyak anak dan kaya raya, siapa yang tidak mau?
Pada umumnya, setiap orang akan senang dan bangga dengan kendaraan yang bagus, rumah yang mewah dan mempunyai keturunan yang rupawan.
Inilah perkara terbaik yang diimpikan oleh umat manusia. Tetapi, Al-Qur’an menyebutkan, ada yang lebih baik dari semua perhiasan dan kenikmatan duniawi itu, yakni setiap amalan dan ucapan yang diridhai oleh Allah ﷻ.
ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Dalam surah At-Taghabun 15, Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Maksud cobaan ataupun fitnah dalam ayat ini adalah sesuatu yang dapat mengguncangkan jiwa. Keluarga dan harta bisa menjadi sebab keguncangan jiwa untuk menguji keteguhan iman.
Peringatan terhadap fitnah keluarga ini bukan dimaksudkan agar orang-orang merasa ragu dalam mengurus harta benda dan anak-anaknya, melainkan pesan penting agar berhati-hati, karena yang dituju ialah hidup yang diridhai oleh Allah.
Betapapun sangat menyenangkan, perhiasan duniawi itu hanyalah wasilah untuk beribadah. Tidak lebih. Maka dari itu, di ayat selanjutnya Allah berfirman,
“Fattaqullāha mastaṭa’tum…”
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” Intinya, jangan sampai terlalu asyik dalam bersenang-senang dengan perhiasan duniawi.
Sebab yang demikian itu, bisa membuat terlena, lalai, dan malas beribadah.
Dalam surah Al-Munafiqun: 9, Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri dan keturunan yang menjadi penyejuk hati dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Amin