Jejak Keteladanan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu
Oleh M. Faishal Fadhli (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tumbuh dewasa di bawah pengasuhan Nabi ﷺ. Ia merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari barisan pemuda belia. Sejak dini, ia sudah rajin shalat di Syi’ib kota Makkah. Ia sangat mencintai Nabi dan Nabi pun sangat mencintainya.
Mengingat betapa dekat kekerabatan antara dirinya dengan Rasulullah, sepupu sekaligus menantunya, ada banyak keutamaan dan keteladanan yang terkumpul dalam diri Ali bin Abi Thalib.
Menjadikannya sebagai insan paripurna, nyaris tanpa cela, dan dialah pemuda terhebat sepanjang sejarah Islam yang sulit untuk dicarikan pembandingnya. Berikut ini beberapa keteladan Ali bin Thalib.
Pertama, Pemberani
Ibunda Ali bin Abi Thalib bernama Fatimah binti Asad. Ketika baru lahir, ia diberi nama oleh sang ibu dengan nama Haydarah, artinya singa. Ketka itu, Abu Thalib sedang tidak di rumah. Maka begitu kembali, Abu Thalib mengganti namanya menjadi Ali.
Sejak masih bayi Imam Ali telah menunjukkan tanda-tanda keberanian dan kekuatannya. Fatimah binti Asad menceritakan bahwa setiap ia membedung Ali dengan selembar kain, tak berapa lama kain bedung itu sobek.
Ia mencoba membedungnya lagi dengan dua lembar kain, tetapi gerak bayi itu masih dapat juga menyobek kain yang berangkap dua. Akhirnya Fathimah binti Asad membiarkan bayinya tanpa dibedung.
Abu Thalib sering mengumpulkan putra-putranya yang masih kecil, termasuk Ali, untuk diadu gulat. Ali siap membuka dua lengannya, kemudian satu demi satu kakaknya dapat dijatuhkan. Sumber riwayat lainnya mengatakan, ketika masih kanak-kanak Ali jalan berdua dengan seorang teman yang lebih tua usianya.
Karena lengan teman Ali itu terperosok jatuh ke dalam kubangan yang agak dalam. Ali segera berusaha menolongnya dan hanya dengan sebelah kakinya ia berhasil mengangkat dan menyelamatkan temannya.
Ketika Ali tumbuh dewasa, keberanian dan kekuatannya disalurkan untuk membela Islam. Sejarah mencatat, demi melindungi Nabi, Ali siap mati. Ia rela menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya yang ketika itu sedang menjadi buronan utama kaum kafir Quraisy.
Ali sering kali diandalkan oleh Rasulullah dalam perang tanding sebelum pertempuran dimulai. Dia adalah pendekar perang yang tak terkalahkan setiap duel. Bahkan uniknya, saking tingginya pamor kehebatan Ali, orang Arab merasa bangga jika ada salah seorang keluarganya tewas di ujung pedang Imam Ali.
Seperti ucapan Huyai bin Akhthab, seorang pemuka Yahudi Bani Nadhir yang berpandangan sama dengan orang-orang Arab. Ia mengatakan, “Kematian mulia di tangan orang mulia.”
Adalah ‘Amr bin Abdi Wudd. Petarung ternama. Penunggang kuda handal. Berbadan tinggi, kekar dan besar, melebihi postur tubuh Ali. Ia sempat meremehkan Ali sebelum akhirnya tewas saat perang tanding. Padahal, ia adalah pemimpin pasukan musyrik di perang Khandaq.
Saudari kandung ‘Amr bin Abdi Wudd, membanggakan kematian saudaranya itu karena mati di tangan Ali. Ia menggubah beberapa bait syair yang khusus mengungkapkan kebanggaan perasaannya.
Tokoh-tokoh Arab lainnya juga banyak yang turut merasa bangga mendengar Ibnu Abdi Wudd mati di tangan Imam Ali dalam keadaan tubuhnya terbelah dua. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Musafi Al-Jamhi dan Hubairah bin Abu Wahb.
Kedua, Zuhud dan Ahli Ibadah
Suatu ketika, Dhirar bin Dhamrah datang menemui Mu’awiyah. Mu’awiyah minta supaya Dhirar menceritakan pribadi Imam Ali. Pada mulanya Dhirar merasa keberatan. Akan tetapi karena Mu’awiyah mendesak dan memaksanya, Dhirar akhirnya menjawab,
“Kalau Anda memaksaku harus menceritakan pribadinya, baiklah. Demi Allah, dia seorang yang berpandangan jauh, kuat dan perkasa, tutur-katanya sungguh-sungguh, memerintah dengan adil, ucapan dan tindakannya menunjukkan pengetahuan yang mendalam dan semua kata-katanya mengandung hikmah.
Ia pantang bergelimang di dalam keduniaan yang serba menyenangkan, selalu beribadah di malam sunyi, banyak meneteskan air mata, berpikir panjang, dan di saat sedang mawas diri, ia sering kelihatan membolak-balikkan tangannya.
Dalam hal berpakaian ia lebih menyukai pakaian kasar, dan dalam hal makanan ia lebih menyukai makanan yang keras lagi murah.
Saat berada di tengah kami ia tidak berbeda dengan kami, bila kami mendatanginya ia mendekati kami, bila kami bertanya ia pasti menjawab, bila kami undang ia pasti datang dan bila kami ingin mengetahui sesuatu ia dengan senang hati memberitahu apa yang kami ingini.
Demi Allah, sekalipun ia dekat dengan kami dan kami pun dekat dengannya, tetapi kami merasa enggan berbicara banyak karena kami menyegani kewibawaannya. Bila tersenyum giginya tampak bagaikan untaian mutiara.
Ia menghormati dan memuliakan setiap orang yang patuh kepada agamanya dan suka bergaul dengan kaum fakir miskin. Ia tidak pernah berbuat batil untuk membela orang yang kuat dan tidak pernah berbuat zalim terhadap orang yang lemah.
Aku melihat sendiri keadaannya di malam hari, kecerahan wajahnya pudar tenggelam di dalam renungan, dan dengan cemas penuh gelisah, ia memegang janggutnya; menangis menundukkan diri bermunajat kepada Allah.
Dengan merendah di hadapan Allah ia berkata seorang diri, ‘Hai dunia, bujuklah orang lain, tak usah engkau merayu diriku, aku tidak rindu kepadamu. Jauh nian aku tergiur olehmu, engkau sudah ku talak tiga kali dan tak ada jalan kembali!
Usiamu terlampau pendek, bahayamu terlalu besar dan engkau adalah hina. Ah …. alangkah sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan dan alangkah sunyi jalan yang bakal kulalui!’
Ia menangis tersedu-sedu dan air matanya membasahi janggut. Ia berusaha menahan tangis dan mengusap-usap matanya dengan lengan baju.”
Mendengar semua yang dikatakan oleh Dhirar itu, Mu’awiyah berkata, “Demi Allah, Abul Hasan memang benar seperti yang engkau katakan.”
Ketiga, Adil
Mengenai keadilan Ali bin Abi Thalib, Abu Rafi’ menceritakan kesaksiannya sebagai berikut,
“Ketika aku bekerja sebagai pengurus Baitul-mal yang diangkat oleh Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, dan sekaligus pula diangkat sebagai penulisnya; di dalam Baitul-mal tersimpan seuntai kalung mutiara yang berhasil dijarah dari pasukan Thalhah dalam perang ‘Unta’ di Bashrah.
Suatu hari, salah seorang putri Amirul Mukminin melalui seorang pesuruh berkata kepadaku, ‘Aku mendengar bahwa di dalam Baitul-mal tersimpan seuntai kalung mutiara dan sekarang berada di bawah pengawasan Anda. Aku ingin agar Anda bersedia meminjamkan kalung itu kepadaku untuk kupakai pada Hari Raya Idul-Adha.’
Kalung itu kuantarkan dan kepadanya aku berkata, ‘Anda kupinjami dengan jaminan akan dikembalikan setelah tiga hari.’ Ia menjawab, ‘Baiklah, kalung ini kuterima sebagai pinjaman dengan jaminan akan kukembalikan setelah tiga hari.’
Beberapa saat kemudian Imam Ali melihat putrinya memakai kalung mutiara itu. Ia bertanya, ‘Dari manakah engkau mendapatkan kalung itu?’ Putrinya menjawab, ‘Kalung ini kupinjam dari Abu Rafi’, pengurus Baitul-mal, hendak kupakai pada Hari Raya Idul-Adha dan akan kukembalikan setelah tiga hari.’
Amirul Mukminin memanggilku supaya segera datang menghadap. Baru saja aku tiba di rumahnya ia cepat menegur, ‘Wahai Abu Rafi’, kenapa engkau berani mengkhianati kaum muslimin?’
Aku tercengang menjawab, ‘Ma’adzallah, aku tidak mengkhianati kaum muslimin!’ Kemudian beliau bertanya lagi dengan nada lebih keras, ‘Kenapa engkau berani meminjamkan kalung milik Baitul-mal kepada anak perempuanku tanpa minta izin lebih dulu kepadaku dan tanpa keridhaan (persetujuan) kaum muslimin?’
Aku menjawab, ‘Ya Amirul Mukminin, dia adalah putri Anda sendiri. Ia minta supaya aku meminjaminya untuk dipakai pada Hari Raya Idul Adha dengan jaminan akan dikembalikan dalam keadaan baik untuk disimpan pada tempatnya.’
Amirul Mukminin tidak membenarkan alasanku, lalu ia berkata, ‘Ambillah kembali kalung itu hari ini juga. Hati-hati jangan sampai engkau mengulangi perbuatan seperti itu, engkau akan kujatuhi hukuman.'”