Dampak Memakan Yang Haram Bagi Kehidupan
Oleh Ustadz Qodri Fathurrohman (Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Umat An-Nuur)
Rasulullah ﷺ juga memerintahkan kepada kita untuk bekerja, “Tidaklah sekali-kali seseorang makan suatu makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari)
Islam juga memerintahkan agar di dalam mencari rezeki itu dengan cara yang baik dan halal. Allah ﷻ berfirman, artinya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172)
Dalam ayat lain, artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Al-Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika dia (Ibnu Abbas) membaca sebuah ayat, berdirilah Sa’ad bin Abi Waqash kemudian berkata, “Ya Rasulullah, doakan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang dikabulkan doanya oleh Allah.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya.
Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya.” (HR. At-Thabrani) (Lihat Ad-Durar Al-Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur Juz. II, hal. 403)
Dari hadits di atas dapat kita ambil kesimpulan:
1. Perintah dari Allah agar memakan makanan yang halal.
2. Makanan yang halal merupakan sebab terkabulnya doa.
3. Salah satu dampak dari memakan yang haram adalah tidak diterimanya amalan kita.
Perintah Memakan Yang Halal
Tentang perintah untuk mencari yang halal dan memakan yang halal, Allah ﷻ juga telah memerintahkan kepada para Rasul-Nya dengan firman-Nya, yang artinya, “Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)
Maksud makan yang baik di sini adalah yang halal. Demikian itu diperintahkan terlebih dahulu sebelum mengerjakan amal shalih karena dengan memakan yang halal akan membantu untuk melaksanakan amal shalih.
Allah ﷻ berfirman tentang larangan mendapatkan harta dengan cara yang haram, artinya, “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Sebab Tidak Terkabulnya Doa
Sesungguhnya manhaj Islam dalam hal makanan adalah sebagaimana manhaj Islam dalam masalah yang lainnya yaitu untuk menjaga akal, jiwa dan raga. Diperbolehkannya makanan yang halal adalah karena bermanfaat bagi badan dan akal.
Allah ﷻ memerintahkan kepada para hamba-Nya agar meninggalkan makanan yang kotor dan haram karena memiliki dampak negatif terhadap hati, akhlak dan menghalangi hubungan dirinya dengan Allah ﷻ, serta menyebabkan tidak terkabulnya doa.
Abu Hurairah menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.
Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman, seperti Dia perintahkan kepada para rasul-Nya dengan firman-Nya, yang artinya, ‘Wahai para Rasul, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan.’
Dan firman-Nya, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik, dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.”
Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut lagi berdebu. Orang tersebut menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Ya Tuhanku. Ya Tuhanku.’
Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan baju yang dipakainya dari hasil yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)
Hadits di atas menerangkan bahwa makanan yang haram merupakan sebab tidak terkabulnya doa.
Pengaruh Makanan Haram
Hendaknya kita bertakwa kepada Allah dengan cara memakan makanan yang halal dan menjauhi makanan yang haram. Sebab makanan yang baik itu mempunyai pengaruh yang besar bagi manusia, terhadap akhlaknya, kehidupan hatinya, dan kejernihan pandangan serta diterimanya amal-amal.
Sedangkan makanan yang haram mempunyai dampak buruk bagi manusia, yang kalaulah dampak itu hanyalah tidak dikabulkannya doa sekali pun niscaya hal itu merupakan kerugian yang besar. Sebab seorang hamba tidak lepas dari kebutuhan berdoa kepada Allah.
Selain itu, masih ada dampak lain dari memakan yang haram, yaitu tidak diterimanya amal-amal yang telah kita laksanakan.
Dalam sebuah hadits disebutkan, dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa memperoleh harta dengan cara yang haram, kemudian ia sedekahkan, maka tidak akan mendatangkan pahala, dan dosanya ditimpakan kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban dengan sanad hasan)
Ibnu Umar radhiyallah ‘anhu berkata, “Barangsiapa membeli baju dengan sepuluh ribu dirham, namun dari sepuluh ribu dirham tersebut ada satu dirham yang haram, maka Allah tidak menerima amalnya selama baju itu masih menempel di tubuhnya.”
Ibnu Abbas radhiyallah ‘anhu berkata, “Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada sedikit makanan haram.”
Para salafus shalih sangat berhati-hati sekali terhadap apa yang akan masuk ke dalam mulut dan perut mereka. Mereka amat bersikap wara’ di dalam menjauhi hal-hal yang syubhat apalagi yang haram.
Dalam kitab shahih Al-Bukhari disebutkan, Aisyah radhiyallah ‘anha menceritakan bahwa Abu Bakar mempunyai pembantu yang selalu menyediakan makanan untuknya. Suatu kali pembantu tersebut membawa makanan maka iapun memakannya.
Setelah tahu bahwa makanan tersebut didapatkan dengan cara yang haram, maka dengan serta merta ia masukkan jari tangannya ke kerongkongan, kemudian ia muntahkan kembali makanan yang baru saja masuk ke dalam perutnya.
Imam An-Nawawi ketika hidup di negeri Syam, ia tidak mau memakan buah-buahan di negeri tersebut. Tatkala orang menanyakan tentang sebabnya, maka ia menjawab, “Di sana ada kebun-kebun wakaf yang telah hilang, maka saya khawatir memakan buah-buahan dari kebun tersebut.”
Makanan haram bisa disebabkan memang zatnya yang haram, seperti bangkai, daging babi, darah dan sebagainya. Atau karena haram cara mendapatkannya, seperti dengan cara mencuri, riba, curang dalam jual beli, korupsi, suap dan lain sebagainya.
Praktik mendapatkan harta dengan cara yang haram dapat dengan mudah kita saksikan di zaman ini. Segala macam cara akan digunakan manusia dalam rangka untuk mendapatkan harta yang sebanyak-banyaknya.
Perampokan, penipuan, riba, korupsi, kolusi, dan yang semisalnya hampir-hampir selalu diekspos setiap hari oleh koran dan televisi atau media lainnya. Seolah-olah hal tersebut sudah menjadi masalah yang biasa.
Rasulullah telah bersabda, “Akan datang suatu zaman, seseorang tidak akan peduli terhadap apa yang ia ambil, apakah itu halal atau haram.” (HR. Bukhari)
Padahal, harta yang haram selain berdampak tidak terkabulnya doa dan ditolaknya amal, ia juga merupakan sebab mendapatkan azab Allah di akhirat nanti.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa tidak bergerak dua telapak kaki anak cucu Adam di hari kiamat nanti sampai ditanya (salah satunya) tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan. (Matan lengkapnya lihat Sunan At-Tirmidzi, hadits no.2417)
Maka hendaknya kita bermuhasabah dan introspeksi diri. Berapa banyak doa yang telah kita panjatkan kepada Allah, berapa banyak istighatsah digelar dalam rangka mengatasi berbagai krisis yang mendera bangsa kita, dan berbagai bencana yang menimpa negeri kita.
Namun pada kenyataannya bencana demi bencana tetap melanda, berbagai krisis tidak teratasi dan berbagai kesulitan tak kunjung usai.
Mungkinkah ini karena bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan praktik-praktik mendapatkan harta dengan cara yang haram? Sudah terbiasa mengonsumsi barang-barang haram, sehingga Allah tidak mengabulkan doa-doa kita? Mari bersama kita merenunginya. Wallahu a’lam bish shawab.
Referensi:
1. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Al-Hafidh Ibnu Katsir.
2. Ad Dur Al-Mantsur fit Tafsir bi Al-Ma’tsur, Al-Imam As Suyuthi.
3. Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al-Hanbali.
4. Muhtashor Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah.
Artikel ini merupakan tulisan milik penulis yang diposting ulang dari www.alsofwa.com, situs web resmi milik Yayasan Al-Sofwa.