وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيم
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitung jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)
oleh: Tengku Azhar Al Muhairy
Tafsir Ayat
Al-‘Allamah Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Kemudian Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya atas banyaknya nikmat Allah dan kebaikan yang diberikan kepada mereka. Maka Allah berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitung jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Maksudnya nikmat-nikmat itu melimpah bagimu, dan seandainya Dia memintamu untuk bersyukur atas semua nikmat-Nya, niscaya kamu semua tidak mampu melaksanakannya, kalaupun Dia memerintahkan untuk itu, kalian pun lemah dan meninggalkan untuk melaksanakannya, dan seandainya Dia menyiksamu niscaya Dia akan menyiksamu, dan Dia tidak berbuat zhalim terhadapmu, akan tetapi Dia itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, mengampuni dosa yang banyak dan member pahala amal yang sedikit.
Al-‘Allamah Ibnu Jarir Ath-Thabari –rahimahullah- berkata terntang ayat ini, “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun ketika kamu kurang mensyukuri sebagian nikmat-nikmat-Nya, akan tetapi jika kamu bertaubat, kembali mentaati-Nya dan mengikuti keridhaan-Nya, niscaya Dia Maha Penyayang terhadapmu, tidak menyiksamu, setelah kamu kembali, dan bertaubat.
Di suatu malam Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitung jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dan beliau terus mengulang-ulang membacanya hingga masuk waktu pagi. Kemudian beliau ditanya terkait hal tersebut. Beliau menjawab: “Sungguh padanya ada tempat mengambil pelajaran, sebab kemanapun kami mengarahkan pandangan mata, pasti ia mengenai sebuah nikmat. Dan kami tidak mengetahui nikmat-nikmat Allah yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang telah kita ketahui.”
Syaikh As-Sa’di –hafizahullah- mengatakan,
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak mampu untuk menghitungnya” maka lebih-lebih lagi untuk mensyukuri nikmat tersebut. “Sungguh manusia benar-benar zhalim dan kufur”. Itulah tabiat manusia di mana: (1) dia zhalim dengan melakukan maksiat, (2) kurang dalam menunaikan hak Rabbnya, dan (3) kufur terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dia tidak mensyukurinya, tidak pula mengakui nikmat tersebut kecuali bagi siapa yang diberi hidayah oleh Allah untuk mensyukuri nikmat tersebut dan mengakui hak Rabbnya serta menegakkan hak tersebut.” (Tafisr Taisir Karimir Rahman)
Luasnya Pemberian Allah
Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di masa kini.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (QS. Luqman: 13)
Kendati demikian, Allah tetap memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi hamba ini untuk:
- Ingkar dan kufur kepada Allah serta menyamakan Allah dengan makhluk-Nya yang sangat butuh kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain.
- Tidak mensyukuri pemberian Allah. Allah berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ الله
“Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53)
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.” (QS. An-Nahl: 18)
Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- menjelaskan,
Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
- Pertama: Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
- Kedua: Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
- Ketiga: Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya;
- Keempat: Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bagian yang kedua (dari dua jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat perkara:
- Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
- Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
- Ketiga: Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)
Kemudian beliau –rahimahullah- juga menjelaskan,
“Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan lenyap. Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam:
- Pertama: Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki.
- Kedua: Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian) yang hakiki.
- Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala’ bagi orang yang berakal, sekalipun orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka.
- Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah).
Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya dia menyangka sebagai malapetaka dan orang yang berakal akan menganggapnya sebagai nikmat. Demikian juga bila seorang anak butuh untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anaknya untuk melakukannya. Namun sang anak tidak bisa melihat akibat di belakang yang akan muncul berupa kesembuhan.
(Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah karena cintanya yang tinggi kepada anak tersebut karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang akan muncul dari pengobatan tersebut.
Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuannya sehingga ia lebih menuruti ibunya daripada bapaknya. Bersamaan dengan itu sang anak menganggap bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud teman dekat. Karena larangan sang ibu untuk berbekam akan menggiringnya kepada penyakit yang lebih besar dibandingkan sakit karena berbekam.
Karena itu, teman yang jahil lebih berbahaya dari seorang musuh yang berakal. Dan setiap orang menjadi teman dirinya sendiri, akan tetapi nafsu merupakan teman yang jahil. Nafsu akan berbuat pada dirinya apa yang tidak diperbuat oleh musuh.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 281-282)
Kiat Agar Pandai Bersyukur
Kita akui atau tidak, jujur bahwa rasa syukur kita kepada Allah masih amat sangat kurang. Untuk itu, mudah-mudahan kiat-kiat berikut ini bisa menjadikan kita lebih memahami makna syukur.
Salah satu kenikmatan yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah rasa syukur. Nikmat inilah yang akan menggolongkan seseorang apakah termasuk manusia kufur atau sebaliknya, pandai bersyukur.
Untuk menjadi hamba yang senantiasa bersyukur kita harus memahami prinsip-prinsip berikut ini.
- Memahami Makna dan Hakekat Syukur
Imam Ar-Raghib Al-‘Asfahani dalam bukunya Al-Mufradat fii Gharib Al-Quran menyatakan syukur sebagai gambaran kenikmatan yang diterima seseorang yang tercermin dalam penampilannya.
Dasar dari kata ‘syukur’ adalah ‘membuka’. Kebalikan dari kata ‘kufur’ yang berarti ‘menutup’. Dalam kamus bahasa Indonesia, ‘syukur’ berarti rasa terima kasih.
Hakekat syukur adalah menampakkan nikmat Allah Ta’ala dengan menyebut-nyebut Sang Pemberi nikmat secara lisan. Sedangkan kufur adalah menyembunyikan nikmat-Nya.
Dengan demikian, syukur adalah bagaimana menampakkan nikmat sesuai dengan fungsi dan kegunaannya melalui petunjuk Al-Qur`an dan Al-Hadits.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha: 11)
2. Menerima Syukur Sebagai Kewajiban
Allah Ta’ala berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (QS. Al-Baqarah:152).
Sebagian ulama menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Allah Ta’ala tanpa melupakan-Nya, patuh kepada-Nya tanpa mendurhakai-Nya.
Hal ini menunjukkan bahwa makna bersyukur sebenarnya menghadirkan Allah Ta’ala di segenap nikmat-nikmat-Nya. Dengan mensyukuri nikmat-Nya maka secara otomatis kita telah mengakui eksistensi Allah Ta’ala dalam kehidupan ini.
3. Meninggalkan Kufur Nikmat
Qarun adalah simbol manusia yang mengingkari nikmat dan anugerah Allah Ta’ala. Bahkan, dia berani menegaskan kalau semua yang diperolehnya semata-mata karena kemampuannya. Dengan kata lain, ia telah kufur nikmat.
Allah berfirman, “Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashshas:78).
Wallahu A’lamu bish Shawab
Reference:
1. Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir
2. Tafsir Ath-Thabari, Imam Ath-Thabari
3. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Imam Ibnu Qudamah
4. Majalah Asy-Syariah
5. Majalah Hidayatullah