Urwah bin Zubair adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebuah kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah pintu sebagai jalan masuk bagi siapa pun yang menghendakinya.
Begitulah, orang-orang bebas keluar masuk kebun Urwah bin Zubair sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasanya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap kali memasuki kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالاً وَوَلَداً
“Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan ‘Masya Allah, la quwwata illa billah.’ (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah, sekalipun engkau anggap harta dan keturunanku lebih sedikit daripadamu.” (QS. Al-Kahfi : 39)
Suatu masa di zaman khilafah Al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehandak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorangpun mampu bertahan dan tegar kecuali orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan.
Ketika Amiru Mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya dengan gembira dan memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.
Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.
Belum lagi tangan Urwah bersih dari tanah penguburan anaknya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, dan penyakit pun menjalar dengan cepat.
Kemudian Amirul Mukminin bergegas mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apapun.
Dan para tabib tersebut sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.
Akhirnya jalan itu harus ditempuh. Ketika ahli bedah telah datang membawa pisau untuk menyayat daging dan gerjagi untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah, “Sebaiknya kami memberikan minuan yang memabukan agar anda tidak meraskan sakitnya amputasi.” Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, akau tidak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan).” “Kalau begitu kami akan membius anda.” Kata sang tabib. Urwah menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah.”
Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” lalu di jawab, “Mereka akan memegangi anda, sebab bisa jadi anda nanti meraksan sakit lalu menggerakan kaki dan itu bisa membahayakan anda.” Beliau berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Aku akan membekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”
Mulailah sang tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan ketika mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah Allahu Akbar.” Sang tabib terus melaksanakan tugasnya dan Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi tersebut.
Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah mendidih dan dioleskan di betis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dan terhenti dari membaca ayat-ayat Al-Qur’an di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang beliau jaga semenjak remajanya.
Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolek-baliknya potongan kaki tersebut sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.
Kejadian tersebut membuat Amirul Mukminin, Al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan puteranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.
Akhirnya beliau diantarkan pulang ke Madinah. Dan sesampainya di Madinah beliau menjumpai keluarganya. Sebelum mereka bertanya banyak hal beliau lebih dahulu berkata, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila dia menguji sekali, maka kesehatan yang Dia berikan masih lebih banyak dan lebih lama darinya.”
Demikianlah ujian yang berat tidak menjadikan Urwah putus asa dari Rahmat-Nya. Yang ada justru kesabaran yang luar biasa atas musibah tersebut dan rasa syukur tiada terkira kepada Allah atas limpahan karunia Allah kepadanya. Menurut beliau, yang Allah tinggalkan untuknya masih lebih banyak dan lebih lama dari apa yang telah diambil oleh Allah.
Diambil dari buku ‘Jejak para Tabi’in’, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya.