Suatu hari khalifah Umar bin Khatab bersama Abu Ubaidah bin Jarrah mengadakan perjalan ke negri Syam, ditengah perjalanan mereka berhenti di sebuah oase. Umar turun dari untanya, melepas terompah lalu meletakkan diatas punggungnya, kemudian beliau menarik pelana dan menderumkan untanya di oase tersebut. Abu Ubaidah heran melihat apa yang dilakukan oleh sang Khalifah, “Engkau melakukan ini Wahai Amirul Mukminin?, terompah engkau lepas, engkau taruh diatas pundak, lalu engkau menderumkan unta ditempat ini, bagaimana jika ada penduduk menyaksikan apa yang kau lakukan?”.
Abu Ubaidah mengatakan hal ini karena menurutnya apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab tak layak dilakukan oleh seorang khalifah.
Mendengar pernyataan Abu Ubaidah Umar menjawab, “Aduhai, seandainya kalimat ini tak keluar dari lisanmu wahai Abu Ubaidah, dahulu kita adalah orang yang hina, kemudian Allah muliakan dengan Islam, maka siapa yang mencari kemulian selain dari apa yang Allah berikan maka Allah akan membuatnya hina”.
Setelah itu keduanya terus berjalan hingga sampai di negri Syam, sedangkan Khalifah Umar tetap dengan penampilan layaknya rakyat jelata, menentang kain, sepasang terompah diatas pundak, dan menyelempangkan sorbannya tanpa ada rasa gengsi, beliau menarik pelana unta yang beliau kendarai lalu meminumkannya di oase.
Lagi-lagi Abu Ubaidah protes dengan sikap Umar bin Khattab, beliau berpenampilan seperti itu padahal disana beliau akan bertemu para tentara, tokoh, pejabat dan pembesar Negri Syam, “Wahai Amirul mukminin, nanti kita akan bertemu dengan para tentara, tokoh dan para pembesar negri Syam, dan engkau akan tetap berpenampilan seperti ini? Kata Abu Ubaidah heran.
Umar bin Khattab lalu menjawab, “ Aku berharap seandainya perkataan ini tidak keluar dari lisan sekelas anda wahai Abu Ubaidah, kalian dahulu sedikit, hina, kemudian Allah muliakan kalian dengan Islam, kalau kalian mencari kemuliaan selain Islam maka Allah akan menghinakan kalian, aku tidak melihat kemulian itu ada pada tampilan ini akan tetapi sejatinya kemuliaan itu dari sini, (sembari menunjuk jarinya ke arah langit), beri aku jalan …” kata Umar bin Khattab. (al-Kandahlawi, Hayat as-shahabat, juz 5 hal. 359).
Begitulah sekelumit gambaran sikap generasi sahabat yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi dalam kitab Hayat as-Shabat. Kitab yang berisi riwayat kehidupan para sahabat Rasulullah.
Keunikan Generasi Sahabat
Generasi sahabat adalah generasi terbaik dalam perjalanan sejarah Ummat Islam, mereka dalah generasi unik. Dakwah Islam telah melahirkan sekelompok generasi manusia menjelma menjadi generasi yang sangat Istimewa dalam sejarah Islam khususnya, dan sepanjang sejarah manusia pada umumnya.
Generasi sahabat tidaklah mengkaji al-Quran dengan berorientasikan tradisi dan publikasi tapi, serta tidakpula hanya bertujuan menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan fiqhiyah pada konklusi al-Quran yang disimpulkan berdasarkan pendapat pribadi.
Akan tetapi, para sahabat mempelajari al-Quran untuk mendalami firman Allah, berkenaan dengan masalah pribadi dan persoalan bersama, serta kondisi lingkungan yang menjadi ajang aktivitas mereka.
Mereka mengkaji firman Allah untuk dipraktikkan, ketika mendengarnya, mereka siap melaksanakan, apapun konsukwensinya, sebagaimana pasukan di medan perang menerima instruksi harian untuk dikerjakan seketika itu juga.
Karenanya para sahabat tidak meminta banyak-banyak penyampaian al-Quran pada saat bermajlis dengan Rasulullah, mereka merasa cukup dengan sepuluh ayat sampai bisa mengamalkannya. Namun bukan berarti salah jika hari ini banyak orang yang semangat menghafal dan mempelajari al-Qur’an, hanyasaja bukan itu titik tekannya, tapi lebih kepada bagaimana tathbiq(pengamalan)nya.
Kesadaran para sahabat itulah yang kemudian hari membuat kaya akan ilmu pengetahuan dan luas cakrawala berfikirnya. Semua itu mungkin tidak akan terbuka bagi mereka seandainya dalam mempelajarinya, orientasi dan sense-nya hanya untuk penelitian atau hal-hal yang sifatnya duniawi semata.
Bukan Sekedar Ritual
Mari kita coba untuk membandingkan keadaan generasi sahabat dan generasi muslim hari ini, ada ketimpangan yang jauh sekali, apa masalahnya?.
Masalahnya ternyata terletak pada penekanan aspek ritual dan spiritualnya, ritual adalah kegiatan yang dilakukan untuk tujuan simbolis, sedangkan spiritual adalah sesuatu yang bersifat/berhubungan dengan batin/jiwa dalam kata lain kegiatan yang dilakukan dengan penghayatan.
Aspek ini menurut Ibnul Jauzi adalah aspek yang sulit, menurut beliau kewajiban itu ada dua mudah dan sulit “ kewajiban yang mudah adalah kewajiban yang dikerjakan dengan anggota tubuh … sedangkan contoh kewajiban yang sulit adalah merenung dan menggunakan dalil yang membuat kita mengetahui Sang Pencipta, ini sulit bagi orang yang yang terkalahkan oleh perkara-perkara konkrit, tapi mudah bagi orang yang menggunakan akalnya …” (Ibnul Jauzi, Shaid al-Khatir: 1/32)
Mari kita lihat realita yang terjadi di negri kita, pada bulan Ramadhan kemarin, contohnya, semua orang gegap gempita menyambut, dari mulai anak-anak, orangtua, para artis, orang miskin sampai konglomerat tanpa terkeculi, semua antusias, suasana hari-hari sarat akan nuansa keimanan.
Namun lihatlah apa yang terjadi ketika Ramadhan berlalu, semua akan kembali normal seperti biasa, maksiat kembali merajalela, tingkat kepedulian sosial masih minim, yang kaya tetap kaya yang miskin semakin miskin, ini terulang hampir setiap tahunnya. Padahal kita paham salah satu tujuan dari puasa Ramadhan adalah meningkatkan kepekaan sosial.
Pun begitu dengan ibadah haji, berapa banyak kaum muslimin yang berangkat haji tiap tahunnya, tapi apa perubahan yang didapat di masyarakat? nyaris tidak ada, berbeda halnya dengan zaman kakek buyut kita, dahulu mereka yang pulang ibadah haji membawa banyak perubahan di masyarakat dan sangat di takuti oleh penjajah Belanda pada waktu itu.
Sama halnya ketika Allah menyatakan “ fawailul lil mushallin …” celakalah bagi orang-orang yang shalat, secara normatif kita tentu berfikir, kenapa orang shalat justru celaka. Jawabannya karena shalat yang dilakukan hanya sekedar pekerjaan rutinitas fisik untuk menggugurkan kewajiban, sementara batin tetap kerontang.
Maka tak heran jika ada orang yang mengerjakan shalat namun disaat yang sama, dia seorang koruptor, penjahat, bahkan pezina. Shalat yang seharusnya bertujuan mencegah kemungkaran seolah tak berdampak apapun. Tak jauh beda dengan orang yang membaca al-Qur’an namun justru al-Qur’an melaknatnya. Apa sebab?, sebab lisannya membaca al-Qur’an tapi spiritnya tak menembus kalbu.
Inilah kiranya perbedaan kita dengan para sahabat, para sahabat tidak muluk-muluk soal atribut, tidak pula mengedepankan ritual, tapi lebih pada subtansinya. Apa yang mereka lakukan berdasarkan pada ilmu yang melahirkan kesadaran dan penghayatan, sehingga kualitas hasilnya pun berbeda.
Inipula yang menjadi sebab kenapa setiap ketaatan kita kurang berdampak, baik pada individu yang bersangkutan atau pada masyarakat umum.
Tak bisa kita pungkiri kadangkala kita melakukan suatu ketaatan bukan atas dasar kesadaran, ilmu atau penghayatan, tapi sekedar mengikut tren yang berkembang, sehingga nilainya sebatas rutinitas yang berlalu tanpa makna.
Sekelumit kisah diatas menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih menghayati setiap ketaatan yang kita lakukan, lebih memperhatikan sesuatu yang bersifat subtansial/inti daripda sekedar ritual atau atribut semata. Dan sudah sepantasnya kita menjadikan generasi awal umat ini sebagai teladan. Berkata Imam Malik rahimahullah:
لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمّةِ إِلاَّ بِماَ قَدْ صَلُحَ بِهاَ أَوَّلُهاَ
“Tidak akan baik generasi akhir ummat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki generasi awalnya”. Wallahu a’lam bisshawab. (Ashabul Yamin)