Jejak Keteladanan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Oleh Muhammad Faishal Fadhli (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar Ash-Ashiddiq radhiyallahu ‘anhu adalah manusia terbaik setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama.
Al-Qur’an mengabadikan kisah keikhlasannya dalam berjuang, sebagaimana termaktub dalam surah At-Taubah ayat 40. Selain itu, dalam surah Al-Lail ayat 17-21, Allah menyematkan kepadanya suatu gelar kehormatan tertinggi, “al-atqa” manusia yang paling bertakwa.
Sebelum Islam datang, Abu Bakar terjaga dari hal-hal buruk yang merebak di tengah masyarakat Arab Jahiliyah. Ia tidak minum khamr atau mabuk-mabukan. Ia juga tidak menyembah berhala.
Bahkan, ketika ia diajak oleh ayahnya; Abu Quhafah untuk menyembah berhala, Abu Bakar malah menguji seberapa pantas patung itu disebut tuhan? Ia meminta makanan, baju, dan segala sesuatu yang ia butuhkan. Namun berhala itu tetap diam dan bergeming.
Setelah Islam datang, Abu Bakar bukan hanya menjadi orang dewasa yang pertama kali beriman. Tetapi ia juga menjadi dai yang sukses merekrut orang-orang hebat untuk bergabung dalam kafilah dakwah.
Mereka semua berasal dari kalangan bangsawan, bukan orang sembarangan. Ia menjadi perantara keislaman para sahabat senior seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin Auf.
Sebagai seorang tokoh yang paling dekat dengan Nabi, Abu Bakar mempunyai kepribadian yang menawan. Sifat-sifatnya begitu mirip dengan keluhuran budi pekerti Nabi. Menjadikannya sangat layak untuk diteladani. Berikut ini beberapa jekak keteladanan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Pertama: Dermawan
Ketika Rasulullah menggalang dana dari para sahabat untuk membiayai perang Tabuk, Abu Bakar mengorbankan seluruh hartanya sampai habis. Rasulullah saat itu pun betanya kepada Abu Bakar, “Masih adakah bagian yang kamu tinggalkan untuk anak istrimu?”
Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, saya tidaklah khawatir, Allah dan Rasul-Nya sudah cukup untuk mereka.” (Disarikan dari Hadits Riwayat at-Tirmidzi, no. 3675 Hasan Shahih)
Aksi kedermawanannya dalam menginfakkan harta di jalan Allah juga ia tunaikan dengan membebaskan 20 sahabat dari perbudakan, yang membuatnya harus menguras harta sebanyak 20.000 dinar. Kurang lebih sekira 1 miliar rupiah.
Kedua: Teguh dalam Keimanan
Ketika Rasulullah mengalami Isra’ Mikraj dan menyebar luaskan cerita tersebut kepada penduduk Makkah, semua orang hampir menjadi korban propaganda Abu Jahal yang ketika itu hendak menyudutkan Nabi Muhammad.
Dan Abu Bakarlah yang menggagalkan upaya tersebut. Tanpa ada seidikitpun keraguan, ia mengimani peristiwa ajaib itu.
Ibnu Dhagnah, salah seorang tokoh Quraisy, menawarkan perpanjangan perlindungan kepada Abu Bakar dengan syarat ia tidak melakukan tabligh tentang agama Islam di hadapan umum. Abu Bakar menganggap syarat tersebut bertentangan dengan prinsip perjuangan.
Ia pun berkata, “Jika tuan melarang saya mengembangkan agama Islam yang berasal dari Allah, maka saya tidak memerlukan perlindungan tuan. Sebab, bagi saya, perlindungan dari Allah sudah cukup!”
Keteguhan Abu Bakar dalam memegang prinsip dan memperjuangkan keimanan juga tampak ketika ia menjadi khalifah. Ia mendeklarasikan perang melawan orang-orang murtad dan para pembangkang yang menolak membayar zakat.
Kata-katanya yang sangat terkenal, “A yanqudhu ad-dinu wa ana hayyun?” maknanya, ‘”Selama aku hidup, tak kan kubiarkan agama ini hancur.”
Pantaslah jika Umar bin Khattab takjub kepada Abu Bakar dengan berkata, “Sekiranya keimanan penduduk bumi ditimbang dengan keimanan Abu Bakar. Maka, keimanan Abu Bakar lebih berat daripada keimanan mereka.”
Ketiga: Pemaaf
Putra Abu Bakar yang bernama Abdullah, terkena panah dalam upaya penaklukan Tha’if. Lukanya sangat parah, dan dia meninggal 40 hari setelah Rasulullah wafat.
Abu Bakar sengaja menyimpan panah itu sampai datanglah delegasi dari Bani Tsaqif yang sudah masuk Islam. Ketika mereka telah datang, Abu Bakar bertanya, “Adakah di antara kalian mengenal panah ini?”
Lalu Sa’id ibn ‘Ubaid menjawab, “Aku yang membuatnya dan melepaskannya.”
Kemudian Abu Bakar berkata, “Panah inilah yang telah membunuh Abdullah, anakku. Segala puji bagi Allah yang memuliakannya dengan tanganmu (dengan mati syahid) dan tidak menghinakanmu dengan tangannya (kamu mati dalam keadaan kafir) dan Allah memberi keluasan pada kalian berdua.”
Keempat; Zuhud, Wara’, dan Tawadhu
Zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat dengan mengambil dunia hanya sekadarnya saja. Sedangkan wara’ adalah sikap hati-hati dengan meninggalkan hal yang ditakutkan akan mendatangkan bahaya untuk kehidupan akhirat.
Adapun tawadhu ialah sikap rendah hati, tidak merasa tinggi, lawan dari ujub dan takabbur.
Tiga sifat mulia ini sangat berdekatan, saling berkaitan, dan sama-sama tumbuh di dalam hati yang suci. Ketiganya terkumpul dalam diri Abu Bakar.
Di masa tuanya, Abu Bakar jatuh sakit. Saat ia merasa bahwa tubuhnya semakin melemah, Abu Bakar pun berkata kepada putrinya, Aisyah, “Lihatlah apa saja yang bertambah dari harta yang kumiliki, sejak menjabat menjadi khalifah. Jika masih ada, serahkan harta tersebut kepada khalifah setelahku.”
Setelah diperiksa, harta negara yang ditemukan hanyalah seekor unta dan seorang budak yang sedang menggendong anaknya. Selanjutnya, unta dan budak itu diserahkan kepada Umar bin Khattab.
Inilah kisah tentang sikap zuhud yang dicontohkan oleh Abu Bakar. Ia tidak mewariskan banyak harta kepada keturunannya. Namun ia mewarisi iman. Mewarisi gaya hidup sederhana. Mewarisi semangat berbagi.
Dinar dan dirhamnya sudah habis ia infakkan. Saat meninggal, hartanya yang tersisa hanya 2,76 kg kurma.
Adapun teladan dalam hal wara’, ia tunjukkan dengan berusaha memuntahkan sepotong roti yang terlanjur ia telan. Karena ia baru menyadari bahwa ternyata makanan tersebut diberikan oleh seorang yang pernah menjadi dukun. Ia khawatir, dalam tubuhnya terdapat suatu dzat yang tidak thayyib. (H.R. Bukhari, 3842)
Sedangkan ketawadhu’an Abu Bakar, nampak ketika ia dengan penuh kerendahan hati, berjalan kaki ke pasar, memerah susu kambing untuk tetangga-tetangganya. Hal ini dilakukan baik sebelum atau sesudah menjadi khalifah. (At-Tabshirah, karya Ibnul Jauzi, hlm. 408)
Demikianlah beberapa contoh keteladanan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu. Semoga Allah karuniakan taufik kepada kita untuk mengikuti jejak langkah beliau. Amin ya rabbal ‘alamin. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.