Ketika disebut nama Imam Syafi’i, tentu telinga kita tak asing lagi. Beliau adalah seorang ulama mazhab yang memiliki khazanah keilmuan yang begitu tinggi, bahkan di Indonesia mayoritas penduduknya menggunakan madzhab beliau. Imam Syafi’i telah hafal Al-Quran sejak usia 7 tahun, menghafal banyak hadits semenjak berusia 9 tahun dan telah menjadi mufti ketika usia 14 tahun.
“Ia ibarat matahari bagi bumi, dan kesehatan bagi badan..Adakah yang bisa menggantikan keduanya..?” Begitulah Imam Ahmad bin Hambal memberikan sanjungan pada gurunya yang satu ini. Beliau adalah orang yang memiliki keluasan ilmu, kecerdasan yang luar biasa dan ingatan yang sangat baik. Allah anugerahkan juga padanya kefasihan lisan dalam bahasa arab.
Tak ada orang sukses yang muncul dengan tiba-tiba. Semuanya pasti memiliki rahasia suksesnya masing-masing, dan rahasia sukses Imam Syafi’i tak terlepas dari seorang wanita yang selalu ada dibelakangnya, selalu berjuang dan berkorban untuknya, selalu memberikan pendidikan terbaik dan memfasilitasi pendidikan terbaik untuknya. Ya, wanita itu adalah ibunda imam Syafi’i , Fathimah binti Ubaidillah.
Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina tahun 150 H sebagai anak yatim. Ayahnya yang bernama Idris wafat di usia muda. Karenanya Imam Syafi’i dibesarkan dan diasuh oleh ibunya, Fatimah binti Ubaidillah. Dalam riwayat yang lain, beliau mengatakan bahwa dirinya lahir di Yaman, karena ibu beliau berasal dari kabilah Azd (Yamani).
Menjaga Makanan
Ibunda beliau sangat menjaga setiap makanan yang masuk dalam perut Imam Syafi’i. Pernah suatu ketika Imam syafi’i kecil ditinggal di rumah sendiri oleh ibunya ke pasar. Pada saat itu Imam Syafi’i kecil pun menangis. Melihat hal ini tetangga Imam Syafi’i yang kebetulan juga sedang menyusui merasa iba dan ia pun menyusui Imam syafi’i kecil. Sesampai ibundanya di rumah, setelah mengetahui kalau anaknya disusui oleh tetangganya, ia merasa khawatir kalau ada hal yang tidak halal masuk ke tubuh anaknya melalui susu tetangganya tersebut. Ibu Imam Syafi’i pun mengangkat tubuh Imam Syafi’i terbalik dan mengguncang-guncang perutnya sampai semua yang masuk kedalam perutnya tadi keluar lagi.
Begitulah, ibunda Imam Syafi’i menjaga anaknya dari hal-hal yang tidak halal akan masuk ke perutnya. Dari sini kita juga bisa melihat, ibunda Imam Syaf’i paham kalau ASI (Air Susu Ibu) ibu sangat berpengaruh terhadap watak, karakter dan kepribadian anaknya kelak. Makanya ia sangat berhati-hati terhadap air susu atau makanan yang masuk kedalam perut putranya.
Memelihara Nasab Quraisy
Sang ibu juga selalu menjaga nasab Quraisy yang ada di darah Imam Syafi’i. Karenanya, ketika melahirkan Imam Syafi’i di Gaza, ibunda Imam Syafi’i membawanya ke Mekkah agar dikenal oleh sanak keluarganya yang ada di sana. Ibunda beliau khawatir jika nasab anaknya jadi tersamar akibat kurang berinteraksi dan jauh dari sanak famili.
Awalnya ibunda imam Syafi’i selalu mondar-mandir bersama asy-Syafi’i kecil antara Mekkah dan perkampungan kabilah Azd yang jaraknya cukup jauh. Namun, ibunda Imam Syafi’i khawatir, jika ia terus tinggal di kampungnya lama-kelamaan nasab anaknya akan terlupakan oleh kerabatnya. Ia juga khawatir kalau Syafi’i jadi larut bersama keluarga ibunya dan lupa akan jati dirinya sebagai seorang Quraisy (Muththalibi). Akhirnya sang ibu memutuskan untuk mengikat Syafi’i dengan keluarga ayahnya, baik dalam mencukupi kebutuhan sehari-harinya, maupun tempat tinggalnya.
Mendukung Belajar
Pada usia 10 tahun, sang ibunda telah melepas Imam Syafi’i untuk belajar ke Mekkah, belajar langsung dengan para ulama, menghafal hadits serta belajar berbagai disiplin ilmu lainnya. Ibunda Imam Syafi’i memilih Mekkah karena ia adalah tempat yang paling kondusif, dan di sana pula berkumpul ulama-ulama senior. Sang ibu ridho melepas anaknya meski masih sangat kecil untuk belajar di kota Mekkah.
Sang ibu pun hijrah bersama Syafi’i kecil menuju Mekkah dalam perjalanan terakhirnya. Setelahnya, ia bersama putranya tinggal secara permanen di daerah Mina. Di sana Imam Syafi’i memulai belajar ilmu-ilmu agama serta menghafal Al-Qur’an. Semenjak itulah Imam Syafi’i memulai karirnya sebagai seorang ulama besar.
Rahasia suksesnya Imam Syafi’i menjadi ulama besar tak lepas dari semangat seorang ibu yang tak kenal lelah memberikan dorongan dan usaha terbaiknya demi melihat putranya menjadi pelita ummat di kemudian hari. Ialah Fatimah binti Ubaidillah, ibunda sang ulama.
[Yunalul Murod/Majalah An-Nuur Vol. 57]