Jejak Keteladanan Umar bin Khattab
Oleh Muhammad Faishal Fadhli (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan satu kisah unik tentang keistimewaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Alkisah, pada suatu hari para wanita Quraisy mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama. Mereka bertanya, berbincang-bincang, dan sesekali meninggikan suara.
Dalam pada itu, tiba-tiba terdengarlah suara Umar meminta izin untuk masuk dan bertemu dengan Rasulullah. Para wanita Quraisy yang sedari tadi menikmati percakapan dengan begitu asyik, sontak dibuat terkejut dengan kedatangan Ibn al-Khattab.
Suasana pun berubah seketika. Mereka segera membenahi hijab agar terlihat lebih rapi.
Setelah diberi izin, Umar masuk dan melihat Rasulullah sedang tertawa. “Allah Ta’ala telah membuatmu tertawa, wahai Rasulullah.”
Kemudian beliau menjelaskan, “Saya heran melihat tingkah para wanita itu. Begitu mendengar suaramu, mereka lantas buru-buru merapikan hijab.” Umar menukas balik, “Sejatinya engkaulah yang lebih layak untuk mereka segani, wahai Rasulullah.”
Ketika ditanya kenapa mereka lebih segan kepada Umar, wanita-wanita itu menjawab, “Ya, karena engkau lebih keras dibandingkan Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Ibnul Khattab, demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, setiap kali setan bertemu denganmu di suatu jalan, ia akan mengambil jalan lain yang berbeda dari jalanmu.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits ini menunjukkan salah satu keutamaan Umar bin Khattab yang sangat masyhur: ditakuti setan. Bahkan setan dari golongan jin pun auto insecure manakala berpapasan dengan Umar.
Tentunya, masih banyak lagi kisah-kisah lain yang menunjukkan keistimewaan beliau serta karamahnya yang luar biasa. Kepribadian yang agung dan luhur ini memantik kita untuk mentadaburi kembali nilai-nilai kebaikan yang membuatnya begitu istimewa dan melegenda.
Berikut ini beberapa jejak keteladanan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Pertama, Berhati Lembut
Keras dan tegas, sudah menjadi sifat yang identik dengan kepribadian Umar. Namun, bukan berarti ia lelaki bengis yang tidak berhati nurani.
Ketegasannya adalah kekuatan untuk agama Islam. Sehingga ia diberi gelar “al-Faruq” (Sang Pembeda antara Haq dan Bathil). Keberaniannya berhasil menciutkan mental musuh-musuh dakwah. Siapa sangka, di balik sosoknya yang gahar, Umar memiliki hati yang lembut.
Sebelum memeluk Islam, Umar begitu sering menyiksa kaum dhuafa pengikut Nabi. Siapapun yang bisa dijangkau olehnya tidak akan luput dari penganiayaan Umar. Karena terkenal kuat, ia tidak merasa capek saat memukuli korban. Jika ia merasa bosan, korbannya baru bisa beristirahat dari persekusi Umar.
Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan, pada tahun kelima setelah kenabian, demi menyelamatkan keimanan orang-orang yang tertindas dari kalangan umatnya, Nabi menghijrahkan para sahabat ke Habasyah (Ethiopia).
Saat melihat kaum muslimin pergi meninggalkan kampung halaman mereka, Umar merasa betul-betul sedih dan mendoakan keselamatan bagi para Muhajirin.
Kini ia dirundung kesepian. Umar mengaku salah. Rasa takjub pun terbit dalam sanubarinya. Kagum melihat orang-orang lemah itu begitu kuat memegang agama baru yang meraka imani. Allah telah melembutkan hati Umar. Ia masuk Islam setelah mendengar bacaan Al-Qur’an.
Perasaannya yang halus telah membimbingnya untuk menerima kebenaran, bukan malah jumawa menolak dan memeranginya. Demikianlah di antara tanda-tanda kelembutan hati Umar.
Kedua, Sosok Pengayom
Sebagai seorang pemimpin, Umar selalu berusaha memperhatikan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan rakyatnya.
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, meriwayatkan satu perkataan yang menunjukkan betapa besar rasa tanggung jawab Umar, “Jika ada seekor unta mati karena tidak diurus dengan baik, aku takut Allah akan menuntut pertanggungjawabannya kepadaku.”
Lihatlah. Bahkan kepada hewan saja Umar begitu peduli, apalagi kepada manusia. Terbukti bahwa ia tidak tidur siang demi mendengar keluh kesah rakyatnya.
Selain itu, setiap hari Umar pergi ke pinggiran kota Madinah; berharap bisa bertemu dengan kafilah yang datang dari Irak untuk mendapatkan kabar terkini keadaan umat Islam di sana.
Walaupun pekerjaan tersebut bisa ia delegasikan kepada orang lain, Umar malah turun tangan langsung lantaran rasa gelisah yang dalam akan nasib rakyatnya.
Umar mewajibkan sifat rahmat bagi dirinya dan bagi siapapun yang akan menjabat sebagai pimpinan. Karena melindungi, menyayangi, dan mengayomi rakyat adalah kewajiban seorang khalifah, amir, imam, atau sulthan.
Jika sifat ini tidak dimiliki seseorang, maka ia tidak layak menjadi pemimpin. Umar pernah membatalkan pelantikan calon gubernur karena tidak punya kasih sayang kepada anaknya.
Ketika Umar mencium seorang anak kecil yang menghampirinya, calon gubernur itu justru bertanya keheranan dan mengingkari perbuatan Umar. Ia bahkan mengaku punya 10 anak tapi tidak pernah mencium mereka. Maka Umar pun merobek-robek Surat Keputusan pengangkatan calon gubernur itu.
Di masa kepemimpinannya, Umar menghadapi masa sulit. Masa paceklik itu dikenal dengan istilah “Tahun Kelaparan.” Keadaan itu berlangsung selama sembilan bulan.
Dengan sigap Umar membentuk tim penanggulangan bencana, membuka posko bantuan pangan, membantu orang kelaparan, terjun langsung di lapangan, menggalang bantuan dari para gubernur di Palestina, Suriah, dan Kufah.
Selain itu, Umar juga mengistighfari masyarakat dan memasyarakatkan istighfar. Pelaksanaan hukum potong tangan pun dibatalkan kepada pencuri selama masa kelaparan ini. Beliau juga tidak menarik zakat dari masyarakat yang sedang menghadapi bencana.
Demikianlah. Masa paceklik telah menyingkap sifat rahmat dalam diri Umar bin Khattab.
Ketiga, Mewaspadai Nepotisme
Jabatan adalah amanah yang tidak boleh disalahgunakan. Namun kenyataannya, begitu banyak orang berambisi meraih posisi, kursi, dan jabatan, hanya demi memuaskan hawa nafsu yang gila penghormatan, mengejar ketenaran, serta menimbun kekayaan.
Realita yang begitu menyedihkan. Apalagi jika pemangku jabatan lebih peduli dengan orang-orangnya sendiri; melupakan rakyat yang seharusnya diayomi. Harta dan kuasa didistribusikan hanya kepada keluarga, kerabat, kolega, tanpa mempertimbangkan kompetensi yang dimiliki.
Racun nepotisme inilah yang betul-betul diwaspadai oleh Umar bin Khattab. Demi menjauhinya, Umar bin Khattab bahkan terkesan zalim kepada keluarganya. Ketika membagikan harta, Umar lebih mengutamakan orang-orang yang lebih besar jasanya untuk Islam, daripada anaknya sendiri.
Umar pernah memberi Usamah bin Zaid 4.000 dirham sedangkan Abdullah bin Umar hanya mendapat 3.000 dirham. Saat ditanyai putranya itu, Umar menjawab, “Zaid lebih dicintai oleh Rasulullah daripada ayahmu. Sedangkan Usamah lebih dicintai oleh Rasulullah daripada dirimu.”
Dalam riwayat lain, ketika Umar membagi-bagikan pakaian kepada para wanita penduduk Madinah, terdapat satu kain yang sangat bagus. Maka para hadirin pun menyampaikan usulan, “Berikan saja kain tersebut kepada cucu Rasulullah (Ummu Kultsum bin Ali bin Abi Thalib, yang ketika itu menjadi istri Umar).”
Namun Umar memandang bahwa Ummus Sulaith, muslimah yang pernah berbaiat langsung kepada Rasulullah, lebih berhak mendapatkan kain tersebut. “Sesungguhnya dia pernah membawakan kantong air berisi air minum untuk para pejuang di perang Uhud.”
Keempat, Visioner
Suatu ketika Umar pernah berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Bercita-citalah kalian semua.” Kemudian satu per satu menyampaikan keinginan mereka.
Angan-angan yang terlintas seputar emas, mutiara, harta benda, dan sebagainya. Tujuannya tetap mulia: untuk disedekahkan dan diinfakkan di jalan Allah. Tetapi, dalam kesempatan itu, Umar mengutarakan keinginan yang berbeda.
“Aku lebih mengharapkan tokoh-tokoh (hebat) seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, dan Salim Maula Abi Hudzaifah. Dengan bantuan mereka, aku akan berjuang meninggikan kalimat Allah.”
Cita-cita Umar menunjukkan bahwa SDM yang bermutu, jauh lebih berharga daripada logam mulia sekalipun. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa umat ini membutuhkan kemajuan ekonomi, harta yang memadai, dan SDA yang melimpah ruah.
Tetapi sebelum semua itu terwujud, yang terpenting adalah menyiapkan manusia berhati mulia dan berpikiran brilian.
Inilah cara pandang Umar yang jauh ke depan: visioner. Pemimpin yang visioner pasti fokus pada peningkatan kualitas SDM demi mencetak generasi unggulan di masa mendatang.
Dari keinginan Umar ini kita belajar: pentingnya mencetak kader-kader pemimpin umat di masa yang akan datang. Kader yang bukan hanya kuat secara fisik. Tapi ruhiyah dan ilmiyah juga mumpuni. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariq.