Kisah ini adalah kisah langka, unik dan menarik dan benar-benar terjadi, yang terjadi pada diri seorang alim daerah Maghrib (Maroko). Namanya, Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad Al-Andalusi Al-Hafidz, lahir tahun 201 H. Beliau melakukan perjalanan ke Baghdad dengan berjalan kaki. Keinginan besarnya adalah bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal dan mengambil ilmu darinya. Namun, saat beliau sampai di Baghdad, beliau mendapati sang Imam sedang di isolir dan di cekal pemerintah, tidak boleh mengadakan majelis ilmu dan menemui manusia.
Beliau mengisahkan tentang dirinya,“ Ketika aku hampir tiba di Baghdad, aku mendengar berita ujian yang menimpa Ahmad bin Hanbal. Beliau dilarang berkumpul dan mendengarkan ilmu dari beliau. Aku sangat sedih karenanya, lalu aku pun memilih tempat untuk singgah.
Setelah aku letakkan barang bawaanku di kamar yang aku kontrak di sebuah penginapan, maka aku tidak melakukan apapun selain mendatangi masjid jami’ yang besar. Aku ingin duduk bersama halaqah-halaqah yang ada, dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Aku mendatangi sebuah halaqah yang mulia, ternyata ada seorang laki-laki yang membicarakan keadaan para perawi hadits, dia men-dha’if-kannya dan menguatkan (tsiqah) mereka. Aku bertanya kepada orang yang berada di dekatku, ‘Siapa dia?’ Dia menjawab, ‘Yahya bin Ma’in.’ Disini aku melihat ada peluang terbuka untukku. Aku bergegas mendekat kepadanya, seraya berkata, ‘Wahai Abu Zakariya, semoga Allah merahmatimu. Aku adalah seorang laki-laki perantau, yang negerinya jauh.
Aku ingin bertanya, mohon jangan meremehkanku.’ Dia berkata kepadaku, ‘Katakanlah.’ Maka, aku bertanya kepadanya tentang sebagian ahli hadits yang aku temui. Dia merekomendasikan baik sebagian dari mereka, dan merekomendasikan cacat sebagaian yang lainnya.
Di akhir pertanyaan, aku bertanya kepadanya tentang Hisyam bin Ammar, aku sendiri banyak mengambil ilmu darinya. Yahya berkata, ‘Abul Walid Hisyam bin Ammar, ahli shalat dari Damaskus, tsiqah bahkan di atas tsiqah. Dan, kalau pun di balik pakaiannya terdapat kesombongan maka itu tidak berpengaruh apa pun terhadapnya, karena kebaikan dan kemuliannya.’ Maka, orang-orang yang berada di halaqah berteriak, ‘Cukup bagimu, semoga Allah merahmatimu dan yang lainnya”.
Akupun berkata sambil berdiri, ‘ Aku bertanya kepadamu tentang seorang laki-laki, Ahmad bin Hanbal?’ Maka, Yahya bin Ma’in memandangku heran, dia berkata kepadaku, ‘Orang seperti kita membeberkan Ahmad bin Hanbal? Dia adalah Imam kamum muslimin, orang terbaik dan termulia dari mereka.’
Aku pun keluar mencari tahu rumah Ahmad bin Hambal. Kemudian, ada orang menunjukkan diriku. Aku mengetuk pintu rumahnya. Dia pun keluar dan membuka pintu. Dia melihat laki-laki yang belum dikenalnya. Aku berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, inilah seorang laki-laki perantau, yang negerinya jauh. Ini adalah kedatanganku pertama kali di negeri ini. Aku pencari hadits dan pengumpul sunnah. Aku tidak melakukan perjalanan, kecuali hanya kepadamu.’ Dia berkata kepadaku, ‘Masuklah lorong itu, dan jangan sampai terlihat oleh seorang pun.’
Dia bertanya kepadaku, ‘Di mana negerimu?’ Aku menjawab, ‘Daerah Maghrib yang jauh.’ Dia bertanya kepadaku, ‘Afrika?’ Aku menjawab, ‘Lebih jauh lagi. Aku menyeberangi lautan untuk tiba di Afrika. Negeriku Andalus.’ Dia berkata, ‘Negerimu benar-benar jauh. Tidak ada sesuatu yang lebih aku sukai daripada membantu orang sepertimu dengan baik, untuk mewujudkan keinginannya. Hanya saja, saat ini aku sedang menghadapi ujian dengan sesuatu yang mungkin kamu telah mendengarkannya.’ Aku berkata, ‘Benar, aku telah mendengarkannya, saat aku berjalan ingin menemuimu dan hampir tiba di sini.’
Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, ini adalah kedatanganku yang pertama kali. Aku adalah orang yang tidak di kenal di kalangan kalian. Jika Anda berkenan, aku akan datang setiap hari dengan menyamar sebagai peminta-minta. Di depan pintu, aku akan mengucapkan apa yang sering diucapkan para pengemis. Lalu, Anda keluar ke tempat ini. Seandainya Anda tidak menyampaikan setiap hari kecuali hanya satu hadits saja, maka itu sudah cukup bagiku.’ Dia menjawab, ‘Ya, dengan syarat kamu jangan muncul di halaqah-halaqah, dan tidak pula kepada para ahli hadits.’ Aku menjawab, ‘Aku janji.’
Pada hari berikutnya, aku mengambil ranting pohon dengan tanganku, kemudian membebat kepalaku dengan kain. Kertas dan tinta aku sembunyikan di balik lengan bajuku. Lalu, aku mendatanginya pintunya sambil teriak, ‘Pahala, semoga Allah merahmati kalian.’ Begitulah yang diterikkan oleh para peminta-minta di sana. Maka, dia keluar kepadaku dan menutup pintu. Dia menyampaikan dua, tiga hadits atau lebih kepadaku.
Aku terus melakukan hal itu sampai orang yang menimpakan ujian kepadanya telah mati. Setelah itu, kepemimpinan di ambil alih oleh orang yang berpegang kepada madzhab ahlussunnah. Maka, Ahmad bin Hambal kembali muncul, namanya naik daun. Dia dihormati di mata manusia, ketokohannya terkenal, orang-orang berduyun-duyun mendatanginya. Dan, dia semakin mengetahui kesabaranku yang sebenarnya. Jika aku mendatangi halaqahnya, dia melapangkannya untukku dan mendekatkanku kepada dirinya. Dia berkata kepada para ahli hadits, ‘Orang ini berhak menyandang predikat sebagai pencari ilmu.’ Kemudian Imam Ahmad menceritakan kisahku bersamanya. Dia menyodorkan hadits kepadaku, membacakannya untukku, dan aku membacakannya kepadanya.
Suatu ketika, aku jatuh sakit. Aku berusaha untuk segera sembuh. Imam Ahmad bin Hanbal mencariku, karena aku tidak hadir di majelisnya. Dia bertanya tentang diriku, dan ada yang memberi tahu perihal sakitku kepadanya. Maka, dia langsung berdiri, berjalan untuk menjengukku bersama orang banyak. Saat itu, aku terlentang di kamar yang aku sewa, beralaskan tikar, berselimut kain dan buku-buku yang ada di kepalaku.
Aku mendengar suara gaduh di penginapanku. Aku mendengar mereka berkata, ‘Dia di sana. Lihatlah ini Imam kaum muslimin datang.’ Pemilik penginapan pun datang kepadaku dengan tergopoh-gopoh. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdirrahman, ini Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, imam kaum muslimin datang menjengukmu.’
Imam Ahmad segera masuk. Dia duduk di sisi kepalaku. Kamar tersebut penuh sesak dengan orang-orang sampai tidak muat. Sebagian dari mereka berada di luar kamar dengan berdiri, sementara tergenggam pena di tangan mereka. Imam Ahmad tidak mengatakan kepadaku melebihi dari kata-kata ini. Dia berkata, ‘Wahai Abu Abdirrahman, berbahagialah dengan pahala Allah. Engkau telah menjalani hari-hari sehat, yang tidak ada sakit padanya. Dan, engkau sekarang sedang menjalani hari-hari sakit, yang tidak ada sehat padanya. Semoga Allah meninggikanmu kepada keselamatan, dan mengusapkan kesembuhan kepadamu dengan tangan kanan-Nya.’ Aku melihat pena-pena menulis lafazh yang Imam Ahmad ucapkan.
Kemudian, dia keluar meninggalkanku. Maka, penghuni penginapan berbondong-bondong mendatangiku, mengasihiku, dan melayaniku dengan pamrih agama dan ingin mendapatkan pahala dari Allah. Ada yang membawakan kasur, ada yang membawakan selimut dan makanan-makanan yang lezat. Dalam merawat diriku yang sedang sakit, mereka lebih perhatian daripada keluargaku, seandainya kau berada di tengah-tengah mereka. Hal itu karena aku telah di jenguk oleh seorang laki-laki shalih”. (Ibnu Abdullah)
Sumber: Shafahat min shabril ulama’, Abdul Fattah Abu Ghuddah , Hal. 26-29
BACA JUGA: Hakikat Pengorbanan, Napak Tilas Perjalanan Sang Kekasih Allah