
Hidup ini adalah tentang pengorbanan. Tentang kisah juang manusia yang selalu ingin mewujudkan setiap harapan dan keinginan. Kita terkadang rela berkorban dengan apa yang ada pada diri, dengan jerih letih usaha yang selalu diupayakan demi meraih sebuah tujuan. Bahkan tak jarang ketika tujuan itu begitu berharga, seseorang rela menghalalkan segala cara dan upaya untuk meraihnya. Singkatnya, manusia cenderung mengorbankan apapun demi tercapainya semua keinginan dan tujuannya.
Dalam aspek yang berbeda namun masih dalam konteks yang sama, pengorbanan terkadang bermula dari rasa cinta yang terbetik dari hati yang tulus. Berangkat dari rasa kepedulian lalu ingin mengaplikasikan cintanya dengan mengorbankan segala apa yang dimiliki, rela memperjuangkan apapun.
Dalam perjuangan pun kita tertuntut untuk selalu mengorbankan jiwa dan harta, raga dan upaya serta apapun itu. Karena memang berkorban adalah konsekuensi dari perjuangan. Bahkan ia menjadi salah satu syarat diantara syarat diberikannya pertolongan dan kemenangan oleh Allah.
Allah tidak melihat hasil manusia, namun Allah melihat sejauh mana manusia berproses sampai mendapatkan hasil atas apa yang diinginkannya. Saat manusia berproses itulah pengorbanan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Maka tak heran bila hidup ini tak lepas dari yang namanya pengorbanan.
Ada sebuah pelajaran penting yang tertuang melalui goresan tinta sejarah tentang pengorbanan yang sempurna. Peristiwa dua putra manusia yang menyuguhkan cintanya dalam ketaatan yang sesungguhnya. Pengorbanan yang tiada tara. Dialah Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissallam.
Didalam al-Qur’an, dikisahkan bagaimana Ibrahim ‘Alaihissallam, dengan sepenuh keimanan, tanpa sedikit pun keraguan, menunaikan perintah Tuhannya: menyembelih putra tercintanya, Ismail ‘Alaihisallam. Demikianlah, kedua hamba Allah yang shalih itu tersungkur dalam kepasrahan. Berpadu dengan ketaatan dan kesabaran.
Kisah cinta yang amat romantis sekaligus dramatis ini selayaknya menjadi ibrah sepanjang zaman bagi umat Islam. Ikatan cinta yang tulus antara sosok ayah dan seorang anak mampu menjadikan keduanya mengorbankan apa yang paling dicintainya, baik anak maupun dirinya sendiri. Karena hati keduanya telah dipenuhi nuansa iman nan takwa, sehingga mereka menyerahkan segalanya hanya kepada muara cinta hakiki, Allah Ta’ala.
Maka Khalilullah Ibrahim ‘Alaihisallam telah membuktikan hal itu. Bukan hanya harta, bahkan nyawa putra semata wayangnya, yang kepada dia tertumpah segenap cinta dan kasih sayangnya, ia persembahkan dengan penuh keyakinan kepada Allah, Dzat Yang lebih ia cintai dari apapun.
Sungguh para pendahulu kita selalu memiliki hikmah yang berharga, pelajaran yang tak ternilai harganya, sebuah pemahaman hidup yang akan menerangi jalan kita menuju ridho-Nya, mengais kasih nan cinta-Nya. Kita belajar tentang kelapangan hati seorang ayah Ibrahim ‘Alaihissallam yang karena cinta kepada Rabbnya lebih ia harapkan, ia rela mengorbankan seseorang kekasihnya Ismail ‘Alaihissallam anak gadangnya.
Allah pun menegaskan bahwa milik-Nyalah segala apa yang dititipkan pada manusia. Maka Allah ingin menguji ketundukan hati Ibrahim yang telah terbalut dengan iman, takwa serta cintanya pada Allah.
Dari kisah pengorbanan ini kita pun diajarkan tentang kesabaran yang tulus seorang anak kepada ayahandanya. Mengabdi nan berbakti, agar ridhonya menjadi perantara meraih ridho Allah Ta’ala. Ialah Ismail ‘Alaihissallam yang Allah karuniakan ketabahan dalam hatinya sejak masa aqil balighnya.
Dialah Ismail yang patut menjadi teladan bagi anak-anak di muka bumi ini. Kepatuhannya tanpa tapi nan ketaatannya tanpa nanti. Keteguhan dan ketegaran seorang anak saat tetiba cobaan menyapanya, menempa keimanannya. Maka tak ada yang dilakukannya kecuali patuh pada figur terbaik dalam hidupnya, ayahanda Ibrahim ‘Alaihissallam. Seorang Nabi lagi Rasul.
Saat kita dengan seksama menyelami peristiwa ini, kita pun kian mendapati sebuah hikmah yang agung. Tentang kepasrahan yang jujur dua lelaki shalih sebagai bentuk penyerahan diri mereka hanya kepada Allah Ta’ala. Karena sejatinya, hanya kepada-Nyalah seorang mukmin berserah diri atas segala cobaan yang menimpa dalam kehidupan.
Maka, wahai para peniti jalan kebenaran, apa yang hendak kita korbankan pada agama ini? Tak malukah kita pada para salaf terdahulu yang dengan rela mengorbankan apapun yang dimilikinya.
Bahkan yang paling dicintainya mereka suguhkan demi kejayaan agama ini. Jika memang kita ingin menepaki ketaatan yang sejati, meraih keridhaan sang ilahi, maka mari kita pahami hakikat pengorbanan ini. Agar dapat menjadi pemahaman hidup yang baru dalam meniti jalan kebenaran. Menggapai kasih nan cinta-Nya. Menuju keridhaan Ar-Rahman. [Ayyub Hawariy]
BACA JUGA: Perempuan Naik Taksi Online Sendirian, Ikhtilatkah?