
Oleh: Ibnu Abdullah
Tidak diragukan lagi bahwa generasi terbaik yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah generasi para sahabat. Mereka adalah orang-orang shalih, generasi pertama yang hidup dan bertemu langsung dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,[1] menuntut ilmu dan berjuang menegakkan syari’at Islam besama beliau. Sehingga setiap cerca dan tindakan keji yang ditujukan kepada mereka adalah perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa mencela seorang dari sahabat Rasulullah maka ia layak mendapatkan hukuman yang keras.
Begitu pula seorang sahabat mulia, Muawiyah bin Abi Sufyan ra. beliau adalah penulis wahyu dan memiliki banyak keutamaan yang telah tertera dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Seorang sahabat Rasul yang mendapatkan kekhususan dalam do’a-do’anya yang istimewa.
Akan tetapi, keutamaan dan keistimewaan Muawiyah ra. menjadi hal yang tidak dihiraukan lagi oleh sebagian orang lantaran fitnah yang ditebarkan oleh musuh-musuh Islam kepada umat di masa itu. Sehingga, benih-benih fitnah yang ditebarkan oleh musuh-musuh Islam pada masa itu, terbakar hingga menjadi sebuah peristiwa yang membuat hati setiap insan yang mencintainya menjadi terombang-ambing.
Sebuah peristiwa besar yang akan menyentuh hati setiap yang membacanya terkhusus seorang Muslim, yaitu peristiwa akan fitnah yang disebarkan oleh kelompok Saba’iyah kepada para penduduk, yang fitnah-fitnah itu mengakibatkan terjadinya pembunuhan kepada khalifah ketiga yang mulia, Utsman bin Affan ra. hingga terjadi pula perang sesama saudara Muslim. Yaitu perang Jamal, peperangan antara pasukan Amirul Mu’minin Ali ra. dengan pasukan Aisyah ra. Zubair ra. dan Thalhah ra. yang kemudian disusul dengan perang Shiffin, peperangan antara pasukan Muawiyah ra. dan Amirul Mukminin Ali ra. Inilah peristiwa yang memunculkan pertanyaan besar bagi kita semua, kenapa peristiwa ini bisa terjadi di kalangan para sahabat yang mulia?
Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk melakukan tulisan ini, berjudul “Mendudukkan Fitnah Pada Masa Sahabat Muawiyah ra.”. penulis akan memapaparkan penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa diatas dan fitnah-fitnah yang terjadi. Kemudian penulis cantumkan pendapat-pendapat para ulama, yang dengannya kita bisa mendudukkan bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim yang mengakui keadilan para sahabat akan peristiwa fitnah yang terjadi di masa sahabat Muawiyah ra.
Pengertian Fitnah
Secara bahasa, kata fitnah berasal dari kata fatana. Kata fitnah memiliki makna antara lain al-ibtilâ`, al-imtihân dan al-ikhtibâr. Kesemuanya berarti cobaan dan ujian. Yaitu ketika seseorang berkata “fatantu al-fidhdhata wa adz-dzahaba”, artinya aku telah membakar perak dan emas (untuk memilah keduanya yang baik dari yang kurang baik).[2]
Kata fitnah juga memiliki arti al-ihrâq (membakar) sebagaimana firman Allah ta’ala: “Yauma hum ‘alannâri yuftanun”.,[3] yang artinya “Pada hari mereka diadzab (dibakar) di dalam api neraka”.
Ibnu al-Arabî seperti dikutip Ibn Manzhur dalam Lisân al-’Arab berkata: “Fitnah itu dapat berarti ikhtibar (ujian), mihnah (cobaan), mâl (harta), awlâd (anak keturunan), kufr (kufur), ikhtilâf an-nâs bî al-arâ (perselisihan paham manusia), dan ihrâq (membakar). Fitnah juga ditujukan kepada takwil yang zalim (penafsiran liar tanpa dasar yang tujuannya membela kepentingan pribadi). Seseorang yang tergila-gila mencari dunia juga disebut sebagai terfitnah oleh dunia.[4]
Adapun secara istilah dalam al-Qur’an, makna fitnah memiliki makna yang bervariasi. Namun disini penulis hanya mengambil makna yang sesuai dengan pembahasan yaitu bermakna perselisihan paham manusia.
Biografi Muawiyah
Namanya adalah Muawiyah bin Abu Sofyan bin Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab. Ia dikenal dengan sebutan Amirul Mukminin penguasa muslim, Abu Abdurrahman al-Quraisy al-Umawi al-Makki.[5] Dilahirkan di Makah lima tahun sebelum diutusnya nabi Muhammad.[6] Muawiyah masuk Islam sebelum ayahnya pada waktu umrah qadha’ pada tahun 7 Hijriyah, akan tetapi ia menyembunyikan keislamannya dari ayahnya, dan akhirnya diketahui pada saat Fathul Makkah.[7]
Ayah beliau bernama Abu Sofyan, ia adalah tokoh Jahiliyah berpengaruh dalam memerangi Islam. Dan Allah berkehendak memberikan hidayah kepadanya, sehingga ia masuk Islam menjelang pembebasan kota Makkah. Bahkan Rasulullahpun memuliakan Abu Sufyan pada saat pembebasan kota Makkah dengan sabda beliau, “Barang siapa memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman”.[8] Sabda Nabi yang memuliakan Abu Sufyan ini mengandung isyarat yang mendidik. Sedangkan ibu beliau bernama Hindun binti Utbah bin Rabi’ah. Ia memeluk agama Islam pada hari pembebasan kota Makkah setelah suaminya memeluk agama Islam.
Di antara keutamaan Mu’awiyah, yaitu keikut sertaan beliau dalam perang Hunain. Dalam pernag ini Allah menurunkan ayat:
ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan dia menimpakan adzab kepada orang-orang kafir, itulah balasan bagi orang kafir”.[9]
Keutamaan beliau lainnya, adalah kedudukan beliau sebagai penulis wahyu.[10] Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, yakni ketika Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah: “Muawiyah aku angkat sebagai penulismu,” Rasulullah menjawab,”Ya!”.[11]
Muawiyah meninggal pada bulan Rajab tahun 60 H, yang ketika itu beliau berumur 77 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa Muawiyah meninggal pada pertengahan bulan Rajab.[12] Sebagaimana diketahui , kenabian Rasulullah adalah 13 tahun sebelum hijrah. Dengan demikian kelahiran Muawiyah adalah 18 tahun sebelum hijrah. Karena dia meninggal tahun 60 H, berarti umurnya ketika itu 77 tahun.
Kisah Fitnah di Masa Sahabat Muawiyah ra.
Terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra.
Di masa ini Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya yang mereka sama membenci akan kekhalifahan Utsman bin Affan ra. mulai menebarkan fitnah. Langkah-langkah yang digunakan untuk mengguncangkan keadaan yaitu mereka mencurigai Utsman ra. menyisihkan harta Baitul Mal kepada para kerabatnya kemudian dengan menyebarkan isu bahwa Ali bin Abi thalib ra. lebih berhak menjadi khalifah dari pada Utsman bin Afffan ra. karena Ali ra. telah diberi wasiat oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian mereka juga membangkitkan semangat dan perdebatan di hadapan kaum Muslimin. Sampai mereka berani mencela para gubernur dan memalsukan surat. Hingga mereka bertindak lancang membunuh Khalifah Utsman bin Affan ra.
Adapun perinciannya yaitu:
- Utsman ra. dicurigai menyisihkan harta Baitul Mal kepada para kerabatnya
Utsman ra. mempunyai kekayaan yang banyak. Ia adalah sosok yang sangat senang menyambung tali kekerabatan. Dan semua kisah yang menyebutkan bahwa Utsman ra. berlebih-lebihan dalam menggunakan dana Baitul Mal dan membelanjakan untuk para kerabatnya dan istananya merupakan kisah yang tidak ada landasannya. Utsman ra. hanya memberikan hak mereka dan selebihnya adalah berasal dari hartanya sendiri.[13]
- Menyebarkan isu bahwa Ali ra. lebih berhak menjadi khalifah dari pada Utsman ra.
Saif bin Umar mengatakan bahwa sebab terjadinya pemberontakan beberapa kelompok terhadap Utsman bin Affan adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ yang berpura-pura beragama Islam dan pergi ke daerah Mesir untuk menyebarkan idenya sendiri di beberapa kalangan masyarakat. Ia mengatakan kepada seseorang, “Bukankah Isa bin Maryam akan kembali ke dunia?” jawab orang itu, “Ya!” Ia berkata lagi, “Rasulullah lebih baik dari Isa, Apakah engkau mengingkari bahwa beliau akan kembali ke dunia sementara beliau lebih mulia dari pada Isa bin Maryam?” kemudian ia berkata, “Beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Thalib. Muhammad nabi terakhir dan Ali penerima wasiat terakhir. Berarti Ali lebih berhak untuk menjabat sebagai khalifah dari pada Utsman bin Affan dan Utsman telah merampas hak yang bukan miliknya.” Maka mulailah orang-orang mengingkari kepemimpinan Utsman bin Affan dan mencelanya seolah-olah sedang amar ma’ruf dan melarang kemungkaran mengajak orang-orang untuk mendukung ide tersebut.[14]
- Mengobarkan perdebatan di hadapan kaum Muslimin
Perdebatan ini terjadi pada tahun 33 H. Gubernur Kuffah , Said bin al-Ash, duduk di majelis untuk melakukan diskusi bersama orang-orang awam akan urusan yang terjadi di kalangan mereka. Para pengikut Abdullah bin Saba’ masuk di majelis mereka dan menyalakan api fitnah hingga terjadi perdebatan antara sa’id bin al-Ash dengan seorang hadirin yaitu Khunais bin Hubais al-Asadi. Dan ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba’ bangkit dan memukul Khunais al-Asadi hingga datanglah bani Asad menuntut balas terhdap salah satu putra mereka. Peperangan hampir-hampir saja terjadi diantara dua kelompok tersebut. Tetapi Said mampu membuat keadaan menjadi kondusif.[15]
- Mencela para gubernur
Tidak sampai disitu saja, para as-Saba’iyah mulai menyebarkan kepalsuan dan kebohongan tentang Sa’id bi al-Ash, Utsman bin Affan, penduduk Kufah dan para tokohnya. Hingga penduduk Kufah gerah terhadap mereka dan meminta Sa’id untuk menghukum mereka. Lalu para pembesar Kufah mengirim surat kepada Utsman agar mengeluarkan as-Saba’iyah dri kufah. Dan Utsman memerintahkn Sa’id untuk mengeluarkan mereka dari Kufah dan mengirimnya kepada Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam.[16]
- Pemalsuan surat
Sebelum peristiwa pembunuhan Utsman ra. selang kurang lebih satu setengah bulan, para pembangkang Utsman ra. datang di Dzil Marwah, Utsman ra. menyuruh Ali ra. dengan seseorang yang yang tidak disebutkan namanya untuk menemui mereka. Ketika keduanya bertemu dengan mereka, Ali ra. menawarkan Kitab Allah kepada mereka. Kemudian mereka menerimanya namun dengan beberapa syarat.[17]
Para as-Saba’iyah akhirnya kembali ke daerahnya masing-masing setelah Utsman ra. menerima tawaran damai dari mereka. Akan tetapi kepulangan mereka tidak membuat mereka puas dan bahkan memperbesar nyala api fitnah.
Ketika belum sampai ke Mesir, mereka berputar balik ke Madinah. Mereka mengaku bahwa mereka mendapatkan surat dari seseorang. Mereka mengatakan bahwa surat tersebut berasal dari Utsman ra. yang hendak dikirimkan kepada seorang gubernurnya. Dan didalam surat tersebut tercantum intruksi dari Utsman agar menyalib, membunuh, atau paling tidak memotong tangan dan kaki mereka.[18]
Ini adalah surat palsu yang didustakan kepada lisan Utsman ra. kepalsuan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa bukti, diantaranya: bagaimana mereka bisa tahu perintah tersebut padahal mereka sudah berjalan jauh menuju negara mereka. Begitupula orang-orang Irak berada di sebelah timur sedang orang-orang Mesir berada di sebelah barat. Bahkan tidak hanya kepada Utsman ra. mereka memalsukan surat. Aisyah ra. pun juga pernah dituduh menulis surat yang isinya memerintahkan mereka agar membelot dari Utsman ra. [19]
- Terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra.
Ketika Utsman ra. mengerjakan shalat pada hari Jum’at beliau naik mimbar seraya menyampaikan khutbahnya: “Wahai orang-orang asing! Allah Allah, demi Allah, sesungguhnya penduduk Madinah telah mengetahui bahwa kalian telah dilaknat melalui lisan Rasulullah saw. Hapuslah kesalahan dengan kebaikan! Sesungguhnya Allah SWT. tidak akan menghapuskan kejelekan kecuali dengan kebaikan.” Lantas Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, “Aku sebagai saksinya.” Lalu Hukaim bin Jablah menyuruhnya duduk. Kemudian berdiri Zaid bin Tsabit: “Bahkan hal itu terdapat dalam kitab.” Bangkitlah seseorang dari arah yang lain dan berkata, “Sungguh pandai kamu memutar fakta.”
Maka kaum tersebut bangkit dengan serentak dan mengeluarkan mereka dari masjid kemudian serentak menuju Utsman bin Affan ra. lalu membantingnya dari mimbar hingga beliau jatuh pingsan lantas membawanya ke dalam rumahnya.[20]
Semua yang diperkirakan Muawiyah ra. itu memang terjadi. Kelompok pembuat fitnah itu datang dan mengepung rumah Utsman ra. yang berakhir dengan pembunuhan terhadapnya. Ketika para pembelot itu datang dari berbagai wilayah, kami tidak menemukan satu orang pun di antara mereka berasal dari wilyah Syam. [21]
Perbedaan Akan Perkara Qishash
Perbedaan mengenai qishash terhadap para pembunuh Utsman yang terjadi antara Ali ra. di satu pihak dan di pihak lain yang dipelopori oleh Thalhah ra. Zubir ra. dan Aisyah ra. Dan setelah itu terjadi pula perbedaan antra Ali ra. dan Muawiyah ra. Sebab dan sumbernya bukanlah karena mereka mencela kekhalifahan Ali dan haknya atas jabatan dan kepemimpinannya untuk kaum muslimin. Kekhalifahan Ali adalah ijma’ dari mereka.[22]
Muawiyah ra. dan penduduk Syam tidak mau berbaiat. Menurut mereka Ali ra. harus melakukan hukuman qishash terhadap para pembunuh Utsman ra. dahulu, kemudian mereka akan berbaiat.[23]
Pada dasarnya Amirul Mukminin Ali ra. setuju tentang kewajiban melakukan qishash terhadap para pembunuh Utsman ra. Namun menurutnya, penegakan qishash terhadap mereka harus ditunda sampai situasi dan kondisi bisa terkontrol, urusan-urusan menjadi tenang, dan terjadi kesatuan pendapat. Inilah yang sebenarnya terjadi.[24]
Perang Jamal
Pada musim haji para istri-istri Nabi, Aisyah, Hafshah dan Ummu Salamah, juga menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan pulang menuji Madinah mereka mendapat kabar bahwa Utsman ra. terbunuh dan digantikan oleh Ali ra. Maka Aisyah ra. bersama dengan Thalhah ra. dan Zubair ra. berangkat menuju Bashrah guna melakukan ishlah. [25]
Sesampainya di Bashrah rombongan Aisyah ra. menunggu di sana hingga datang Amirul Mukminin Ali ra. ketika Ali ra. bertemu dengan pasukan Thalhah ra. dan Zubair ra. ketika kedua pasukan tersebut sudah berhadapan kemudian Ali ra. menyampaikan pidatonya yang berisi bahwa ia akan menuntut para pembunuh Utsman ra. Thalhah ra. dan Zubair ra. beserta penduduk Bashrah merasa sangat puas dengan isi pidato tersebut dan kembali ke kemah masing-masing dan memerintahkan untuk tidak menyerang dalam keadaan apapun.[26]
Namun ketika malam tiba Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya menyerang pasukan Aisyah ra. sehinga mereka mengira bahwa Ali ra. memerintahkan pasukannya untuk menyerang pasukan Aisyah ra. begitu pula Ali ra. merasa terpukul setelah diberi tahu oleh pasukan Ibnu Saba’ bahwa pasukan Thalhah ra dan Zubair ra. menyerang secara tiba-tiba.[27]
Amirul Mukminin Ali ra. mengajak pasukan Aisyah ra. untuk berdamai dengan mengangkat Mushaf menjunjung tinggi Kitabullah. Namun usaha Ali ra. gagal yang akhirnya ia menyuruh seorang pasukannya untuk menebas kaki untanya Aisyah ra. hal tersebut ia lakukan demi tercapainya perdamaian. Akhirnya Aisyah ra. terjatuh dari untanya dan kemudian dibawa oleh adiknya , Muhammad bin Abu Bakr dan Ammar bin Yasir, menuju ke tepi. Dan berakhirlah pertempuran, Aisyah pun dibawa pulang menuju Madinah.[28]
Perang Shiffin
Di saat itu Muawiyah ra. masih tetap menuntut penyerahan pembunuh Utsman ra. kepadanya dan barulah dia dan penduduk Syam bersedia berbai’at kepadanya. Dan akhirnya kedua pasukan itu bertemu di Shiffin dan terjadilah peperangan. Peperangan diawali ketika kedua pasukan tersebut memperebutkan air. Dan setelah itu terjadilah perempuran yang berkelanjutan.[29]
- Terbunuhnya Ammar bin Yasir ra.
Di dalam perang Shiffin ini sahabat Ammar bin Yasir ra. terbunuh yang ketika itu ia berada di barisan Ali bin Abi Thalib ra. hal ini memiliki pengaruh besar terhadap pasukan Muawiyah ra. karena Rasulullah pernah bersabda kepada Ammar: “ Kamu akan dibunuh oleh kelompok yang membelot”.[30]
Peristiwa ini adalah bukti sebuah nubuwah, dari Abu Sa’id bahwa nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تمْرُقُ مارِقَة عند فُرقة من المسلمين يقتلها أَوْلَى الطائفتين بالحق
“Kelak akan muncul satu kelompok yang menyempal ketika terjadi pertikaian di antara kaum Muslimin. Kelompok itu akan diperangi oleh kelompok yang lebih mendekati kebenaran dari dua kelompok (yang bertikai itu)”.[31]
Kemudian peperangan ini berakhir dengan upaya Amr bin al-Ash dalam mencari jalan keluar yaitu dengan menyarankan kepada Muawiyah ra. agar pasukannya yang berada di garis depan mengikat mushaf di ujung tombak sebagai tanda bahwa perang harus dihentikan dan diadakan perundingan dengan keputusan berdasarkan hukum al-Qur’an. Cara ini kemudian dikenal dengan istilah tahkim.[32]
Sikap Ahlus Sunnah
Dibawah ini penulis cantumkan beberapa sikap para ulama dalam menyikapi fitnah-fitnah yang terjadi di masa Muawiyah ra.:
- Utsman ra. dicurigai menyisihkan harta Baitul Mal kepada para kerabatnya
Ibnu Taimiyah membantah orang yang menganggap Utsman ra. memfasilitasi para kerabatnya dengan harta yang melimpah dari Baitul Mal: “Memang ia membagi-bagikan hartanya kepada kerabatnya, akan tetapi ia juga melakukan hal itu kepada selain kerabatnya dan berbuat baik kepada seluruh kaum Muslimin”.[33]
- Pemalsuan surat yang dinisbatkan kepada para sahabat
Ibnu Katsir berkomentar: “Ini adalah kedustaan terhadap para sahabat. Surat-surat tersebut hanyalah dipalsukan oleh mereka lalu diatasnamakan kepada para sahabat yang mulia. Pasalnya, ada beberapa surat palsu yang diatasnamakan kepada Ali ra. Thalhah ra. dan Zubair ra. lalu dikirimkan kepada orang-orang Khawarij –si pembunuh Utsman ra.- sementara para sahabat mengingkarinya. Bahkan ada sepucuk surat yang dipalsukan atas nama Utsman ra. padahal ia tidak pernah menyuruhnya bahkan tidak mengetahuinya sama sekali.[34]
- Perbedaan pendapat dalam penegakan hukum qishash
Ibnu Hazm berkata: “Muawiyah sama sekali tidak mengingkari keutamaan Ali dan kelayakannya sebagai khalifah. Tetapi, ijtihadnya menyebabkannya berpendapat bahwa penegakan hukuman qishash terhadap para pembunuh Utsman ra. harus didahulukan sebelum melakukan baiat. Maka sumber perbedaan pendapat itu bukan karena celaan terhadap kekhalifahan Ali, akan tetepi perbedaan pendapat itu berkaitan dengan cara melakukan qishash terhadap para pembunuh Utsman.[35]
- Hadits “Kamu akan dibunuh oleh kelompok yang membelot”
Ibnu Katsir berkata: “Ini adalah pembunuhan terhadap Ammar bin Yasir ra. yang bersama dengan Ali bin Abi Talib ra. Penduduk Syam telah membunuhnya. Maka jelaslah dengan hal itu bahwa dia dibunuh oleh kelompok yang membelot. Dengan begitu maka jelaslah bahwa Ali ra. adalah yang benar dan Muawiyah ra. adalah pembelot. Ini merupakan bukti kenabian.[36]
Abdul Aziz bin Baz berkata mengenai hadits tersebut: “Dia dibunuh oleh Muawiyah dan kawan-kawannya pada perang Shiffin. Dengan demikian, Muawiyah dan kawan-kawannya adalah kelompok pembelot. Tetapi, mereka berijtihad dengan keyakinan bahwa merekalah yang benar ketika menuntut darah Utsman ra.”.[37]
- Hadits yang disabdakan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam: “Kelak akan muncul satu kelompok yang menyempal ketika terjadi pertikaian di antara kaum Muslimin. Kelompok itu akan diperangi oleh kelompok yang lebih mendekati kebenaran dari dua kelompok (yang bertikai itu)”
Abul Fida’ berkata: “Hadits ini termasuk mu’jizat kenabian, sebab benar-benar telah terjadi seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok yang bertikai itu, yakni penduduk Syam dan penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, yang mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan, kelompok Ali paling mendekati kebenaran, itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni Ali berada di pihak yang benar, dan Mu’awiyah memeranginya karena ijtihad yang keliru, dan ia berhak mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihad itu, insya Allah.
Sedangkan Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang sah, berada di pihak yang benar in sya a Allah, dan berhak mendapat dua pahala”.[38] Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhri, dari Amr bin al-Ash ra. bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala”.[39]
Begitu pula firman Allah ta’ala:
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka”.[40]
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah menerangkan dalam Fatawanya: “Kami menahan diri tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang keburukan mereka adalah dusta. Mereka adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang seumpamanya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa.[41]
Ibnu Hajar berkata: “Ahli Sunah bersepakat akan kewajiban menahan diri dari tindakan mencela satu sahabat karena sesuatu yang pernah terjadi diantara mereka, walaupun telah diketahui orang yang berada di pihak yang benar di antara mereka. Mereka tidak berperang kecuali karena ijtihad. Sudah diakui bahwa orang yang salah ijtihadnya mendapatkan satu pahala dan orang benar mendapatkan dua pahala”.[42]
Jadi seluruh Ahli Sunah wal Jamaah sepakat untuk diam dari perbincangan tentang fitnah-fitnah yang terjadi diantara para sahabat radhiyallahu ‘anhum setelah Utsman ra. terbunuh dan mendo’akan rahmat bagi mereka. Ahli Sunah menjaga keutamaan para sahabat, dan mengakui mereka sebagai orang-orang yang lebih dahulu dalam keutamaan dan menyebarkan kebaikan mereka. Semoga Allah ta’ala ridha terhadap mereka semua.[43]
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagai seorang Muslim kita wajib untuk meyakini bahwa semua sahabat adalah adil. Mereka adalah sebaik-baik generasi sebagaimana yang telah diterangkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam. Dan pertikaian diantara sahabat muncul dari hasil sebuah ijtihad, bukanlah bersumber dari niat yang buruk.
Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita bersikap memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka seperti yang diterangkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya, dan kita kembalikan perkara mereka kepada Allah Ta’ala. Sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.
Makalah ini penulis sadari, sangatlah kurang jika harus membahas fitnah yang terjadi di antara para sahabat pada masa sahabat Muawiyah ra. secara lengkap. Ini hanyalah awal langkah sebagai penjelas akan fitnah yang terjadi dan bagaimana kita sebagai umat Islam dalam menyikapinya. Semoga tulisan ini menjadi suatu hal yang bermanfaat bagi penulis dan kaum Muslimin. Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, sahabat adalah orang-orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beriman kepadanya dan serta meninggal dalam keadaan Islam. Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyizi as-Shahabah (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1412 H) vol. 1, hal. 158.
[2] Lihat penjelasan az-Zuhry dalam Lisân al-’Arab (Beirut: Dâr Shâdir) cet. I, vol. 13, hal. 317
[3] Qs. adz-Dzariat: 13.
[4] Muhammad bin Makram bin Manzhur, Lisân al-’Arab (Beirut: Dâr Shâdir) cet. I, vol. 13, hal. 317
[5] Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, (Beirut: Muassasah ar-Risalah 1405 H)juz 3. Hal.119.
[6]Ahmad bin ‘Ali asy-Syafi’i, Al-Ishabah fi Tamyizi ash-Shahabah, (Beirut: Dar al-Jail, 1412 H) Tahqiq: ‘Ali bin Muhammad al-Bajawi, (Beirut: Dar al-Jabal) versi Maktabah asy-Syamilah 6/151
[7] Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, (Beirut: Muassasah ar-Risalah 1405 H) juz 3. Hal. 120.
[8] Abdul Malik bin Hisyam bin Ayub al-Hamiry al-Ma’afiry, as-Sirah an-Nubuwah li Ibnu Hisyam, (Beirut-Dar al-Jail, 1411 H) juz 5 hal.60.
[9] Qs. at-Taubah: 26. Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo: Aqwam, 2014 M). Hal. 46.
[10] Ibid. 48.
[11] HR. Muslim 2501.
[12] Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1405 H) versi Maktabah asy-Syamilah 3/162.
[13] Lih. Ali Muhammad sh-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo: Aqwam 2014 M) hal. 80-81.
[14] Isma’il bin Umar Abu al-Fida, al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: Maktabah al-Ma’arif) versi Maktabah asy-Syamilah 7/167.
[15] Lih. Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir ath-Thabary, Tarikh ath-Thabary (Mesir: Dar al-Ma’arif ) cet. 2 juz. 4 hal. 317.
[16] Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo: Aqwam 2014 M). Hal. 99.
[17] Lih. Muhammad Abdullah al-Ghaban, Fitnah Maqtalil Utsman (Maktabah al-‘Ubaikan 1419 H). juz. 1 hal. 129. Adapun syaratnya bisa dilihat pada Ali Muhammad ash-Shalbi, Biografi Ali bin Abi Thalib (Solo: Aqwam 2014 M) hal. 205.
[18] Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib (Solo: Aqwam 2014 M). Hal. 206.
[19] Lih. Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib (Solo: Aqwam 2014 M). Hal. 206-207.
[20] Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir ath-Thabary, Tarikh ath-Thabary (Mesir: Dar al-Ma’arif ) cet. 2 juz. 4 hal. 353.
[21] Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo: Aqwam 2014 M). Hal. 110.
[22] Lihat Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo: Aqwam) hal. 115
[23] Ibid. 117.
[24] Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo: Aqwam 2014 M). Hal. 115.
[25] Lih. Ali Audah, Ali bin Abi Thalib (Bogor- Lintera Antar Nusa, 2008 M) hal. 220-222
[26] Lih. Ibid. 229.
[27] Lih. Ibid.
[28] Lih. Ibid. 233-239.
[29] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib (Bogor- Lintera Antar Nusa, 2008 M) hal. 239. Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib (Solo-Aqwam 2014 H) hal 126. Isma’il bin Umar bin Katsir Abu al-Fida, al-Bidayah wa an-Nihayah (al-Jizah: Hijr litthaba’ah wa an-Nasyir 1417 H) juz 7, hal. 266.
[30] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi , Tarikh al-Islamy (Beirut: Dar al-Kuttab al-Araby, 1401 H)juz 1. Hal. 391. Abu Abdirrahman an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah 1411 H) juz 5 hal. 155.
[31] HR. Muslim, Hadits ke-8511, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, As-Sunan al-Kubra (Beurut-Dar al-Kutub al-amiyah 1411 H) cet. 1 , Isma’il bin Umar bin Katsir Abu al-Fida, al-Bidayah wa an-Nihayah (al-Jizah: Hijr litthaba’ah wa an-Nasyir 1417 H) juz 10, hal. 562.
[32] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib (Bogor- Lintera Antar Nusa, 2008 M) hal. 262.
[33] Muhammad Rasyad Salim, Minhajus Sunnah li Ibni Taimiyah (Muasasah Qurtubiyah) juz 3. Hal.190. lih. Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Sufyan (Solo-Aqwam 2014 H) hal 81.
[34] Ali Muhammad ash-Shalabi, Ali bin Abi Thalib (Solo-Aqwam 2014 H) hal 207.
[35]. Lih. Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo: Aqwam) hal. 115
[36] Isma’il bin Umar bin Katsir Abu al-Fida, al-Bidayah wa an-Nihayah (al-Jizah: Hijr litthaba’ah wa an-Nasyir 1417 H) juz 7 hal. 277.
[37] Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo-Aqwam 2014 H) hal. 138.
[38] Isma’il bin Umar bin Katsir Abu al-Fida, al-Bidayah wa an-Nihayah (al-Jizah: Hijr litthaba’ah wa an-Nasyir 1417 H) cet. 1 hal. 563
[39] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Riyadh-Dar as-Salam 1417 H) hadits ke-7352 hal. 1539
[40] Qs. at-Taubah: 117.
[41] Ahmad bin Taimiyah, Majmu’ Fatawa juz 3 hal. 406
[42] Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (Solo-Aqwam 2014 H) hal. 165.
[43] Ibid