Meneladani Sifat Pemaaf Rasulullah ﷺ
Oleh Muhammad Faishal Fadhli (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Orang yang tidak mampu menahan marah dan cenderung membalas kesalahan orang lain dengan cara yang buruk, kasar, dan berwatak temperamen, sejatinya sedang merendahkan diri sendiri.
Sebab pelampiasan amarah sering kali melahirkan penyesalan di kemudian hari.
Sebaliknya, orang yang terlatih mengendalikan emosi, pemaaf, lembut, dan santun, sejatinya telah menjaga diri sendiri dari kehinaan. Rasulullah ﷺ bersabda
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Dan tidaklah Allah menambahkan kepada hamba yang pemaaf, kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim no. 2588)
Inilah salah satu keutamaan sifat pemaaf. Dalam hadits yang lain, Nabi mengajarkan Uqbah bin Amir tiga akhlak yang paling utama.
Menyambung tali silaturahmi dengan seseorang yang memutusnya, memberi orang yang tidak pernah memberi, dan memaafkan orang yang berbuat zalim. (HR. ath-Thabrani, 739)
Imam as-Suyuthi bahkan menyebutkan sebuah atsar bahwa tiga perbuatan ini menjadi sebab diringankannya hisab.
Selain memberi nasihat dengan kata-kata, Rasulullah juga memberi contoh dan teladan yang nyata, kaitannya dengan keutamaan memberi maaf.
Berikut ini beberapa fragmen menarik dari Sirah Nabawiyah yang menunjukkan sifat pemaaf Rasulullah ﷺ sebagai suri teladan yang baik; uswah hasanah.
Pertama, Mendoakan kebaikan bagi penduduk Tha’if.
Tahun sepuluh setelah bi’tsah, Rasulullah ﷺ kehilangan dua sosok yang sangat beliau cintai. Istri dan pamannya: Khadijah dan Abu Thalib.
Setelah peristiwa itu, beliau memutuskan untuk mengunjungi Tha’if, berdakwah dan menyambangi kerabat beliau di sana. Namun bukannya disambut dengan baik, beliau justru dihujani batu.
Disiksa, dihina, ditolak mentah-mentah, bahkan diusir! Seakan melengkapi kesedihan ‘amul huzni pada waktu itu.
Penduduk Thaif bahkan mengajari anak-anak kecil mereka untuk ikut-ikutan melukai Nabi dengan melempari batu. Tumit beliau sampai bersimbah darah.
Aisyah mengisahkan bahwa Nabi mendengar ucapan malaikat gunung yang bersedia menelungkupkan dua gunung kepada penduduk Thaif.
Namun Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku berharap Allah akan mengeluarkan dari keturunan mereka golongan yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (Muttafaq ‘alaih)
Kedua, Mendoakan kebaikan bagi kabilah Bani Daus.
Rasulullah ﷺ pernah mengutus Thufail bin Amr ad-Dausi kepada kaumnya, Suku Daus, untuk mengajak mereka masuk Islam.
Akan tetapi mereka justru menyakiti, mencela, dan menghinanya. Lalu Thufail kembali menemui Rasul dan berkata, “Ya Rasul, doakanlah keburukan untuk mereka.”
Setelah itu beliau memanjatkan kedua tangannya sembari menghadap kiblat. Namun, bukan doa buruk yang dipanjatkan, melainkan doa agar mereka mendapatkan hidayah. (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, Memaafkan orang Badui yang kencing di masjid.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, “Tatkala kami bersama Rasulullah ﷺ di masjid, tiba-tiba datang seorang Badui dan kencing di masjid.
Para sahabat bertanya, ‘apa-apaan ini?’ Rasulullah ﷺ lantas bersabda, ‘Jangan kalian memotongnya, biarkan dia.’ Mereka pun membiarkan orang Badui tersebut sampai hajatnya tuntas.’
Setelah itu Rasul memanggilnya dan bersabda, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk terkena air kencing. Tidak pula kotoran. Akan tetapi, masjid ini untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur’an.’
Lalu beliau memerintahkan salah seorang sahabat untuk mengambil timba berisi air dan mengguyurkannya ke air kencing tersebut.” (Muttafaq alaih).
Keempat, Memaafkan orang Badui yang berlaku kasar kepadanya.
Perhatikanlah sikap mulia yang satu ini. Tatkala seorang Badui meminta bantuan kepada Nabi ﷺ dengan cara yang kasar dan tidak beradab.
Nabi saat itu mengenakan selendang buatan Najran yang kasar di bagian tepinya. Orang Badui tersebut menariknya dari belakang sehingga meninggalkan bekas di leher Nabi ﷺ.
Anas bin Malik yang meriwayatkan kisah ini, menyebutkan bahwa Nabi ﷺ hanya membalas perlakuan itu dengan tersenyum dan memberikan apa yang diminta orang Badui tadi. (Muttafaq ‘alaihi)
Kelima, Memaafkan Abu Sufyan bin Harb.
Tokoh kafir Quraisy yang selama ini begitu sengit memusuhi dakwah, bersaksi bahwa Nabi ﷺ adalah sosok yang murah hati.
Saat ia diampuni pada peristiwa Fathu Makkah, Abu Sufyan berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu. Alangkah lembutnya hatimu. Alangkah agungnya engkau. Alangkah giatnya engkau dalam menyambung silaturahmi. Alangkah agungnya maafmu.”
Keenam, Memaafkan Abu Sufyan bin al-Harits.
Abu Sufyan yang satu ini adalah sepupu Nabi ﷺ yang berprofesi sebagai penyair yang selalu mencaci maki beliau. Saat Fathu Makkah ia berusaha untuk kabur dan berniat mengungsikan anak istrinya.
Namun, Ali yang mengetahui hal tersebut mencegahnya seraya meyakinkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah sosok yang paling murah hati dan paling mulia.
Tidak lupa Ali mengajarkan salam kepada Abu Sufyan bin Al-Harits, sebagaimana salam yang diucapkan saudara-saudara Yusuf kepada Nabi Yusuf. Maka Nabi pun menjawab salam itu dengan kata-kata Nabi Yusuf, QS. Yusuf ayat 92.
Ketujuh, Memahami dan memaafkan istrinya yang sedang cemburu.
Saat Nabi sedang berkunjung ke salah satu rumah istrinya, beliau mendapat kiriman makanan dalam sebuah nampan dari istrinya yang lain.
Melihat hal tersebut, sang istri yang sedang dikunjungi itu memukul tangan pembantu. Makanan tumpah, nampan terbelah.
Lantas Nabi mengumpulkan belahan nampan dan meletakkan makanan di atasnya, seraya bersabda, “Ibu kalian sedang cemburu.” Saksi mata dari kejadian ini adalah Anas bin Malik. (HR. Bukhari)
Kedelapan, Membalas keburukan Abdullah bin Ubay bin Salul dengan kebaikan tingkat tinggi.
Orang munafik ibarat duri dalam daging. Di antara gembong munafik yang eksis pada masa Rasulullah ﷺ adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ia pernah bersekutu dengan Yahudi, lari dari perang Uhud, menyebarkan berita bohong tentang Ibunda Aisyah, dan masih banyak lagi ulahnya yang merugikan kaum muslimin.
Akan tetapi, meski telah disakiti berkali-kali oleh Bin Salul, Nabi ﷺ memilih untuk memaafkan, memberi kain kafan, dan menshalatkan gembong munafik itu ketika ia meninggal dunia.
Kesembilan, Memaafkan Hathib bin Balta’ah.
Hathib bin Batla’ah pernah melakukan kesalahan fatal. Yaitu membocorkan rahasia penaklukkan kota Makkah kepada kaum musyrikin. Wahyu turun dan mengabarkan hal itu kepada Nabi ﷺ
Lantas beliau memanggil Hathib dan menanyainya dengan tenang, “Wahai Hathib, apa ini?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa-gesa memvonisku. Dahulu aku adalah orang yang diikutkan kepada Quraisy dan bukan berasal dari mereka.
Aku ingin menjalin hubungan dengan mereka, sehingga mereka menjaga kekerabatanku. Aku tidak melakukan hal itu karena kufur, murtad, atau ridha pada kekufuran.”
Nabi mengapresiasi kejujuran Hathib meskipun Umar sempat naik pitam dan ingin menebas batang lehernya.
Satu keutamaan Hathib yang diingat betul oleh Nabi: beliau adalah veteran Perang Badar. Rasulullah bermurah hati, memahami kondisi Hathib dan memaafkannya.
Kesepuluh, Memaafkan Zaid bin Sa’nah.
Sebelum memeluk Islam, Zaid bin Sa’nah adalah seorang Uskup Yahudi. Suatu hari, ia pernah berlaku kasar dan mempermalukan Nabi ﷺ di muka umum. Dia menagih hutang kepada Nabi sebelum jatuh tempo.
Dia berlaku kasar kepada Nabi: menarik pakaiannya dan berteriak di tengah khalayak, “Sesungguhnya, kalian, wahai Bani Abdul Muthallib, adalah orang-orang yang suka menunda pelunasan hutang.”
Umar membentak Zaid bin Sa’nah dan hendak menangkapnya.
Rasulullah hanya tersenyum, tetap tenang dan bersabda, “Hendaknya engkau memerintahkanku untuk membayar dengan cara yang baik dan memerintahkannya untuk menagih dengan cara yang baik.
Pergilah bersamanya, wahai Umar dan penuhilah haknya. Tambahkan untuknya 20 sha’ kurma sebagai ganti rasa takutnya atas perlakuanmu.”
Demikianlah contoh-contoh konkret sifat pemaaf Rasulullah ﷺ.
Sebagai umatnya, sudah selayaknya kita mengambil hikmah dan ibrah dari kisah-kisah ini dengan menjadikan beliau sebagai role model dalam mendidik diri menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.