sebelumnya… [Hukum Menyegerakan Zakat di Masa Pandemi – bagian 2]
Syarat-Syarat dalam Ta’jil Zakat
Terkait dengan hukum diperbolehkannya menyegerakan pembayaran zakat, terdapat tiga ketentuan atau syarat yang harus diperhatikan, di antaranya;
Pertama, status harta tersebut telah mencapai nishab dan menjadi hak milik yang sempurna bagi pihak yang mengeluarkan zakat (muzakki) pada saat ia hendak menyegerakan zakat. Oleh karena itu menyegerakan zakat sebelum harta mencapai nishab hukumnya tidak sah.”[1] Sementara Hanafiyah menambahkan dua syarat yang harus terpenuhi. Dua syarat itu adalah; nishabnya tetap sempurna di akhir haul, dan hendaknya nishab tidak terputus di pertengahan haul. [2]
Kedua, status muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) tetap memiliki ahliyah (kecakapan untuk menerima hak dan taklif/beban hukum) dalam menunaikan kewajiban zakat sampai akhir haul.[3]
Ketiga, status mu’ajjal lahu (orang yang menerima zakat) tetap memiliki ahliyah (kelayakan untuk menerima hak-hak dan taklif/beban hukum) untuk menerima zakat hingga haulnya sempurna. Apabila kondisi mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) berubah, seperti; seorang faqir yang menjadi kaya (selain dengan harta zakat), meninggal atau murtad. Maka menurut Syafi’iyah[4] dan Hanabilah[5] ia tidak berhak menerima zakat.[6] Sedangkan menurut Hanafiyah[7] dan Hanabilah[8] ia masih berhak untuk mendapatkan zakat.
Batasan Waktu dalam Ta’jil Zakat
Berkenaan dengan batas waktu maksimal dalam ta’jil zakat, para fukaha berbeda pendapat. Hanafiyah membolehkan ta’jil zakat untuk satu atau dua tahun bahkan lebih.[9] Adapun madzhab Malikiyah mereka membolehkan ta’jil zakat dengan syarat untuk jarak waktu yang dekat. Kemudian, mereka berbeda pendapat tentang kadar waktu yang dekat.[10] Pendapat pertama mengatakan, satu hari atau dua hari atau semisalnya, ini merupakan perkataan Ibnu al Mawaz; pendapat kedua menyebutkan, sepuluh hari atau semisalnya, ini merupakan perkataan Ibnu Hubaib; pendapat ketiga berkata, satu bulan, pendapat ini diriwayatkan Isa dari Ibnu al-Qasim; dan pendapat keempat adalah, dua bulan atau kurang dari itu, pendapat ini diriwayatkan Ibnu Ziyad dari Malik. Sementara Syafi’iyah membolehkan ta’jil zakat hanya untuk satu sahun saja menurut pendapat yang paling shahih dari mayoritas ulamanya.[11]
Berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, dari kalangan Hanabilah membolehkan ta’jil zakat dengan waktu dua tahun atau kurang dari itu. Pendapat ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh al-Hajawi, “Diperbolehkan menyegerakan pembayaran zakat, namun meninggalkannya lebih utama untuk waktu dua tahun atau lebih sedikit, setelah nishabnya sempurna.”[12]
Menyegerakan Zakat di Masa Pandemi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan ini merupakan pendapat jumhur fukaha dan pendapat yang rajih, bahwa zakat boleh ditunaikan jika telah mencapai nishab, meski haulnya belum tiba. Kebolehan (mubah) ini, sebagaimana yang dapat dipahami dari pendapat jumhur fukaha, adalah boleh yang bersifat mutlak, yang tentu saja dengan tetap mengindahkan tiga ketentuan atau syarat yang disebutkan di atas. Oleh itu, jika terjadi suatu kondisi yang menuntut untuk segera menyantuni delapan ashnaf yang berhak menerima zakat—seperti Pandemi Covid-19 ini—sementara persediaan logistik di Baitul Mal tidak mencukupi bahkan berkurang, maka ta’jil (penyegeraan) zakat tentu lebih dibolehkan lagi, sebagaimana yang difatwakan oleh sejumlah ulama kotemporer.
Namun persoalan yang hendaknya lebih diperhatikan yaitu terkait alokasi dari zakat tersebut. Bagaimana pun, zakat adalah ibadah yang alokasinya dibatasi oleh syariat kepada delapan ashnaf. Oleh itu, dalam alokasinya, pihak yang mendapat amanah dalam hal ini seyogianya memilah milah pihak mana saja yang bisa mendapat bantuan dari dana zakat dan pihak mana yang tidak bisa mendapat bantuan. Wallahu a’lam.
Lampiran:
Fatwa Para Ulama Kontemporer Mengenai Diperbolehkannya Menyegerakan Zakat Sebelum Haul Menimbang Paceklik Yang Terjadi Sebab Virus Corona (Covid-19)[13]
Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Ibnu Abbas bertanya kepada Nabi tentang hukum menyegerakan zakat sebelum mencapai haul, Rasulullah memberikan rukhsah dengan membolehkannya.
Ini adalah hadits yang di-shahih-kan sebagian ulama, sedang sebagian yang lain meng-hasan-kannya
Imam at-Tirmidzi rahimahullah juga berkata bahwa mayoritas ahlul ilmi berpendapat bahwa menyegerakan pembayaran zakat hukumnya boleh. Menyegerakan pembayaran zakat yaitu bagi mereka yang hartanya telah mencapai nishab namun belum mencapai haul, dengan menunaikan sebelum tiba waktunya disebabkan suatu maslahat yang diharapkan akan tercapai, seperti para fakir yang sangat membutuhkan bantuan, atau saat kaum muslimin tatkala membutuhkan pertolongan. Merupakan pendapat Jumhur imam, seperti Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad.
Berangkat dari hal diatas bahwa menjaga jiwa manusia merupakan keharusan dari syariat yang harus dijaga, kami berfatwa bahwa diperbolehkan menyegerakan zakat sebelum waktunya, dengan syarat harta yang dimiliki telah mencapai nishab, ini juga mempertimbangkan kebutuhan para fakir terhadap harta, dan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok saat kondisi sulit seperti ini, seperti makanan, obat-obatan dan kebutuhan lainnya. Hal ini juga tentu untuk meringankan penderitaan mereka yang tidak dapat bekerja dikala pandemi seperti ini, serta meminimalisir resiko bahaya yang dapat ditimbulkan sebab wabah virus Corona (Covid-19).
Kita berlindung kepada Allah ta’ala agar berkenan berbelas kasih kepada negeri-negeri Islam dan umat Islam, shalawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, para keluarga dan sahabatnya sekalian.
Ditetapkan pada hari Rabu, 1 Syaban 1441 H.
Mengetahui
- Syaikh Ali Muhyiddin al-Qaradaghi, salah satu pembesar ulama kaum muslimin
- Syaikh Nuruddin al-Khadimi, ulama asal Tunisia
- Syaikh Muhammad asy-Syatiwi, ulama Universitas Zaitunah di Tunisia
- Syaikh Umar bin Umar, ulama Universitas Zaitunah di Tunisia
- Syaikh Mukhtar al-Jabali, ulama Universitas Zaitunah di Tunisia
- Syaikh Umar asy-Syibli, ulama Universitas Zaitunah di Tunisia
- Syaikh Ali al-Alaimi, ulama Universitas Zaitunah di Tunisia
- Syaikh Syukr al-Majuli, ulama asal Tunisia
- Syaikh Ajil bin Jasim an-Nasymi, ulama asal Kuwait
- Syaikh Muhammad bin Nashir al-Ajmi, ulama asal Kuwait
- Syaikh Abdul Muhsin bin Zaid al-Muthairi, ulama asal Kuwait
- Syaikh Yasir bin Ajil an-Nasymi, ulama asal Kuwait
- Syaikh Khalid Hanafi, ulama asal Universitas al-Azhar
- Syaikh Muhammad as-Shaghir, ulama asal Universitas al-Azhar
- Syaikh Muhammad Yusra, ulama asal Universitas al-Azhar
- Syaikh Ramadhan Khamis al-Gharib, ulama asal Universitas A
- Syaikh Jamal Abdussittar, ulama asal Universitas al-Azhar
- Syaikh Abdussalam al-basyuni, ulama asal Universitas al-Azhar
- Syaikh Washfi Asyur Abu Zaid, ulama asal Universitas al-Azhar
- Syaikh Ahmad Halil, ulama asal Universitas al-Azhar
- Syaikh Nasy’at Ahmad, ulama asal Mesir
- Syaikh Rajab Zaki, ulama asal Mesir
- Syaikh Tsaqil bin Sayir as-Syamri, ulama asal Qatar
- Syaikh Ahmad bin Ali bin Hajar Alu Buthami al-Ban’ali, ulama asal Qatar
- Syaikh Muhammad bin Hasan, ulama asal Qatar
- Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Murakhi. ulama asal Qatar
- Syaikh Sulthan bin Ibrahim al-Hasyimi, ulama asal Qatar
- Syaikh Said bin Muhammad al-Baduwi, ulama asal Qatar
- Syaikh Jasim bin Muhammad al-Jabir, ulama asal Qatar
- Syaikh Ahmad al-Amri, ulama asal Lebanon
- Syaikh Da’i al-Islam asy-Syuhhal, ulama asal Libanon
- Syaikh Zaid Hulailil, ulama asal Libanon
- Syaikh Said Azzam, ulama asal Palestina
- Syaikh Bassam Kaid, ulama asal Palestina
- Syaikh Mukhtar bin al-Arabi Mukmin, ulama asal Aljazair
- Syaikh Bilkhair Thahiri al-Idrisi, ulama asal Aljazair
- Syaikh Muhammad Haji Isa, ulama asal Aljazair
- Syaikh Al-Hasan bin Ali al-Muntashir al-Katani, ulama asal Maroko
- Syaikh Al-Hasan bin Muhammad al-Alami, ulama asal Maroko
- Syaikh Hasan Yasyu, ulama asal Maroko
- Syaikh Hamzah bin Ali al-Muntashir al-Katani, ulama asal Maroko
- Syaikh Muhammad Bahruddin, ulama asal Maroko
- Syaikh Adil Rafusy, ulama asal Maroko
- Syaikh Yunus Haidan, ulama asal Maroko
- Syaikh Hamid al-Idrisi, ulama asal Maroko
- Syaikh Fadhl Murad, ulama asal Yaman
- Syaikh Muhammad al-Amin Ismail, ulama asal Sudan
- Syaikh Muhammad Abdul Karim, ulama asal Sudan
- Syaikh Prof. Dr. Muhammad Akram an-Nadwi, ulama asal India
- Syaikh Majid Makki, ulama asal Syam
- Syaikh Abdurrahman Kuki, ulama asal Syam
- Syaikh Abdul Hakim bin Abdurrahman as-Sa’di, ulama asal Iraq
- Syaikh Shalih az-Zanki, ulama asal Iraq
- Syaikh Muhammad bin Iyasy al-Kabisi, ulama asal Iraq
- Syaikh Al-Wali bin Syaikh Ma al-Ainaini, ulama asal Mauritania
- Syaikh Ibrahim Walad Yusuf bin asy-Syaikh Sidia, ulama asal Mauritania
sebelumnya… [Hukum Menyegerakan Zakat di Masa Pandemi – bagian 2]
download publikasi ini secara lengkap dalam bentuk PDF:
[1] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (tp: Maktabah al-Qahirah, 1967-1969) vol. II, hlm. 471; Al-Juwaini, Nihayah al-Muthallib fi Dirayah al-Madzhabi, (Jedah; Daar al-Minhaj, 2007) vol. III, hlm. 174; As-Samarkandi, Thuhfat al-Fuqaha’ (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1994) vol. I, hlm. 313.
[2] Thuhfat al-Fuqaha’… hlm. 313.
[3] Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu… hlm. 1816.
[4] As-Syarbani, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadhu al-Manhaji, (tp: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999) vol. II, hlm. 134.
[5] Al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilaf, (Daar Ihya’ at-Turats al-Arabi) vol. II, hlm. 212.
[6] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Madzhab al-Imam as-Syafi’i, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999) vol. III, hlm. 169.
[7] Bada’i ash-Shana’i fi Tartibi asy-Syarai’… hlm. 52.
[8] Al-Mughni… hlm. 475; Ibnu Muflih, al-Mubdi’ fi Syarhi al-Muqni’, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997) vol. II, hlm. 401.
[9] Al-Mabsuth… hlm. 177; Ibnu Nujaim al-Mishri, Al-Bahru ar-Ra’iq, (tp: Daar al-Kitab al-Islami, tt), vol. II, hlm. 241; Badruddin al-Aini, al-Binayah Syarh al-Hidayah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000) vol. I, hlm. 135.
[10] Al-Muqaddimat al-Mumahhidat… hlm. 310; Al-Qurafi, adz-Dzahirah… hlm. 137.
[11] Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadhu al-Manhaji… hlm. 133; Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin… hlm. 212.
[12] Al-Iqna’ fi Fiqhi al-Imam Ahmad ibn Hanbal… hlm.287.
[13] Mas’ud Shabri, Fatawa al-Ulamaa’ Haula Firuus Kuruna, (Kairo; Daar al-Basyiir, 2020) hlm.130-133.