sebelumnya… [Hukum Menyegerakan Zakat di Masa Pandemi – bagian 1]
Syarat Wajib Mengeluarkan Zakat
Zakat mempunyai syarat wajib. Berdasarkan kesepakatan fukaha, zakat wajib atas orang merdeka, muslim, kepemilikan sempurna terhadap harta yang telah mencapai nishab dan genap satu tahun.
Penjelasan syarat tersebut yaitu sebagai berikut:
Pertama, merdeka.
Merdeka merupakan syarat wajibnya zakat. Oleh karena itu, zakat tidak diwajibkan kepada budak. Hal ini disebabkan karena ia tidak mempunyai kepemilikan atas hartanya, akan tetapi tuannya-lah pemilik atas apa yang ada padanya. Termasuk dalam hal ini adalah mukatab,[1] karena kepemilikannya tidak sempurna.[2]
Kedua, beragama Islam.
Beragama Islam merupakan salah satu syarat dari syarat-syarat wajibnya zakat. Zakat tidak diwajibkan kepada orang kafir, baik untuk orang kafir semenjak kecil maupun kafir dzimmiy[3] karena zakat adalah salah satu dari rukun Islam. Hal ini sebagaimana shalat dan puasa yang tidak diwajibkan atas orang kafir. Adapun orang murtad, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Namun jika ia murtad setelah hartanya mencapai nishab dan sempurnanya haul, maka ia wajib membayar zakat menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Hal ini dikarenakan zakat merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan dari hartanya, yang tidak bisa gugur dengan sebab kemurtadannya sebagaimana hutang.[4]
Ketiga, kepemilikan sempurna terhadap harta.
Para fukaha berbeda pendapat mengenai maksud dari syarat ini. Hanafiyah mengatakan yang dimaksud dengan kepemilikan sempurna terhadap harta adalah kepemilikan di tangan atau kepemilikan asli.[5] Sedangkan Jumhur menambahkan bahwa ia harus mampu untuk mengelola hartanya, tidak hanya memilikinya.[6]
Keempat, nishab.
Nishab adalah apa yang ditetapkan oleh Allah sebagai tanda terpenuhinya kewajiban zakat.[7] Mencapai nishab atau diperkirakan senilai dengan satu nishab merupakan syarat wajibnya zakat. Secara ringkas, nishab zakat adalah sebagai berikut: Nishab dari zakat emas adalah 20 dinar (85 gram) dan perak adalah 200 dirham (595 gram). Nishab biji-bijian dan buah-buahan setelah kering menurut selain Hanafiyah adalah 5 watsaq (653 Kg). Nishab pertama kambing adalah 40 ekor, sapi 30 ekor dan unta 5 ekor.[8]
Kelima, Haul (berlalunya satu tahun).
Haul merupakan syarat wajibnya zakat, berdasarkan hadits Nabi ﷺ,
لَا زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى يَحُوْلُ عَلَيْهِ الحَوْلُ
“Tidak ada zakat pada harta hingga mencapai genap satu tahun.[9]“
Berdasarkan kesepakatan para ulama, hitungan zakat menggunakan hitungan tahun qomariyah bukan syamsiyyah. Hal ini sebagaimana hukum-hukum Islam yang lain seperti puasa dan haji. Selain itu, genapnya satu tahun merupakan syarat wajibnya zakat untuk selain zakat tanaman dan buah-buahan.[10]
Hukum Ta’jil (Penyegeraan) Pembayaran Zakat Sebelum dan Setelah Mencapai Nishab
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa di antara syarat wajib zakat adalah harta yang wajib dizakati itu telah mencapai haul dan nishab. Maka, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hukum menyegerakan pembayaran zakat ketika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi.
Pertama, Menyegerakan Zakat Sebelum Mencapai Nishab
Fukaha sepakat bahwa mendahulukan pembayaran zakat sebelum mencapai nishab hukumnya tidak boleh.[11] as-Syarkhasi salah satu ulama fikih madzhab Hanafi dalam kitabnya al-Mabsuth menjelaskan, “Penyegeraaan pembayaran zakat sebelum nishabnya sempurna tidak diperbolehkan. Sebab, nishab termasuk syarat wajib zakat, ketika nishabnya tidak terpenuhi maka penunaian zakat tidak dapat terealisasi. Adapun ketika nishabnya telah sempurna, maka diperbolehkan menyegerakan pembayaran zakat untuk masa dua tahun”.[12]
Pendapat yang serupa dikemukakan pula Abdul Wahhab al-Baghdadi rahimahullah, salah satu ulama fikih madzhab Maliki, ia mengatakan, “Di antara syarat-syarat mengeluarkan zakat ‘ain (benda) adalah tercapainya haul dan nishab, kecuali hasil-hasil pertambangan”.[13]
Lebih tegas lagi, asy-Syasi salah satu ulama fikih madzhab Syafi’i mengatakan, “Setiap zakat yang mewajibkan adanya syarat haul dan nishab,[14] maka tidak boleh menyegerakan pembayaran zakat sebelum mencapai nishabnya.”[15] Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Ia menulis, “Diperbolehkan mendahulukan pembayaran zakat sebelum mencapai haul, namun tidak boleh mendahulukan pembayaran zakat sebelum nishabnya sempurna.”[16]
Sedangkan dari kalangan madzhab Hanbali Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “Tidak diperbolehkan mendahulukan zakat sebelum mencapai nishab, dan tidak ada khilaf dalam perkara ini sebagaimana yang kami ketahui.”[17]
Kedua: Menyegerakan Zakat Setelah Mencapai Nishab
Para fukaha berbeda pendapat terkait hukum mendahulukan pembayaran zakat ketika sudah mencapai nishab, namun belum mencapai haul yang sempurna (genap satu tahun).
Pendapat pertama, boleh mendahulukan pembayaran zakat setelah mencapai nishab, maskipun belum sampai haul (genap setahun).
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, di antaranya yaitu; Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibnu Syihab az-Zuhri, al-Auza’i, Abu Hanifah dan ashabuhu (Abu Yusuf dan Asy-Syaibani), Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.[18]
Mereka beragumen dengan hadits Nabi ﷺ tatkala berkata pada ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.
إِنَّا كُنَّا قَدْ تَعَجَّلْنَا صَدَقَةَ مَالِ الْعَبَّاسِ لِعَامِنَا هَذَا عَامَ أَوَّل
“Kami dahulu pernah meminta memajukan penunaian zakat dari harta Al ‘Abbas pada tahun ini, padahal ini baru masuk tahun pertama.”[19]
Dalam hadist yang lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عُمَرَ – رضي الله عنه – عَلَى الصَّدَقَةِ. فَقِيلَ: مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ , وَالْعَبَّاسُ عَمُّ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ , إلَاّ أَنْ كَانَ فَقِيراً: فَأَغْنَاهُ اللَّهُ؟ وَأَمَّا خَالِدٌ: فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِداً. وَقَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. وَأَمَّا الْعَبَّاسُ: فَهِيَ عَلَيَّ وَمِثْلُهَا. ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ , أَمَا شَعَرْتَ أَنَّ عَمَّ الرَّجُلِ صِنْوُ أَبِيهِ؟
“Rasulullah ﷺ mengutus Umar sebagai amil zakat. Kemudian ada yang mengatakan kepada beliau, ‘Ibnu Jamil, Khalid bin Walid dan Abbas (paman Rasulullah ﷺ ) enggan membayar zakat.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah Ibnu Jamil enggan mengeluarkan zakat kecuali (karena kufur nikmat) sebab dahulunya ia adalah seorang faqir lalu Allah memberikan kekayaan kepadanya. Adapun Khalid, maka sungguh kalian berbuat zalim kepadanya (karena tuduhan tersebut) sebab ia telah mewakafkan baju-baju besinya dan peralatan-peralatan perangnya fi sabilillah. Adapun Abbas, maka zakatnya dan yang semisal dengannya menjadi tanggunganku.’ Kemudian beliau bersabda, Wahai Umar, tidaklah engkau merasa bahwa paman seseorang adalah seperti ayahnya?[20]
Sabda Nabi ﷺ dalam hadits tersebut mengandung tafsiran; bahwa zakat pamannya, Abbas menjadi tanggungan beliau karena Abbas telah membayarkankan zakat tahun tersebut dan setahun berikutnya kepada beliau sebelum masanya karena kaum muslimin pada saat itu sedang membutuhkan.[21]
Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh perkataan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ;
أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فِى تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِى ذَلِكَ
“Abbas bertanya kepada Nabi ﷺ bolehkah mendahulukan pembayaran zakat sebelum mencapai haul. Kemudian Rasulullah ﷺ memberikan keringanan dalam hal itu.”[22]
Pendapat kedua, tidak boleh mengeluarkan zakat sampai genap haulnya.
Sebab, haul adalah salah satu syarat zakat, maka tidak boleh mendahulukan zakat sebelum haulnya sempurna sebagaimana nishab. Ini merupakan pendapat dari Zhahiriyah[23] Malikiyah[24], pendapat ini perkuat oleh Rabi’ah, Sufyan At-Tsauri, Daud, dan Abu Ubaid. Pendapat ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.[25] Zakat menurut mereka adalah ibadah yang waktunya sudah ditentukan sebagaimana shalat dan puasa. Dengan demikian seseorang tidak boleh menyegerakan membayar zakat sebelum waktu pelaksanaannya tiba.[26]
Mereka berlandaskan dengan hadits Nabi ﷺ yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.”[27]
Hadits di atas menunjukan bahwa haul termasuk salah satu syarat diwajibkannya zakat sebagaimana nishab. Dengan demikian, seseorang tidak boleh mendahulukan pelaksanaan zakat sebelum haulnya sempurna (genap satu tahun), sebagaimana tidak diperbolehkannya mendahulukan pembayaran zakat sebelum nishabnya terpenuhi.[28]
Adapun maksud tidak boleh (menyegerakan zakat sebelum tercapai haulnya) menurut Malikiyah adalah untuk jangka waktu yang panjang. Oleh itu, ketika ia menyegerakan pembayaran zakat dalam waktu yang dekat seperti satu bulan atau semisalnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Hal ini karena menunaikan zakat pada waktu yang mendekati waktu wajib dihukumi sebagaimana ia melaksanakan pada waktu wajib tersebut. Hal demikian sebagai bentuk rukhsah.[29]
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh az-Zakat memberi komentar mengenai argumentasi pendapat mereka yang tidak membolehkan menyegerakan zakat sebelum haul. Untuk argumentasi mereka bahwa haul termasuk salah satu dari dua syarat zakat, sehingga tidak boleh mendahuluinya seperti nisab, menurut Qardhawi, pernyataan itu tidak bisa diterima, karena keduanya berbeda. Mendahulukan zakat sebelum memiliki nisab, berarti mendahulukan kewajiban sebelum datang sebabnya. Sebagaimana mendahulukan kifarat sumpah sebelum sumpah, dan kifarat pembunuhan sebelum melukai.[30]
Sementara pendapat mereka yang lain; bahwa zakat itu mempunyai waktu tertentu, dalam hal ini Imam Khattabi berpendapat, “Sesungguhnya suatu waktu apabila masuk pada sesuatu, maka tujuannya adalah untuk menolong manusia, sehingga baginya boleh tidak mempergunakan hak dan pertolongan itu, seperti orang yang mempercepat haknya pada orang lain yang mempunyai tenggang waktu tertentu, atau seperti orang yang mengeluarkan zakat kepada orang yang tidak hadir, walaupun ia tidak yakin bahwa zakat itu wajib ditunaikan kepada orang yang tidak hadir itu.”[31]
Adapun pendapat mereka yang menyerupakan ibadah zakat dengan salat dan puasa, maka Yusuf Qardhawi kembali menuturkan; keduanya adalah ibadah khusus, sehingga waktu pada keduanya bisa dimengerti maksudnya, keduanya merupakan perintah dan ujian, dan wajib melaksanakannya tepat pada waktu tersebut.[32]
Ibnu Rusyd menjelaskan, sebab utama adanya perbedaan pendapat tentang hukum menyegerakan pembayaran zakat sebelum mencapai haul, karena perbedaan cara pandang mereka mengenai hakikat zakat. Apakah zakat itu suatu ibadah murni atau bernilai kewajiban yang harus ditunaikan untuk fakir miskin, atau bukan. Bagi yang berpandangan zakat adalah ibadah murni, dalam hal ini Zhahiriyah dan Malikiyah, maka zakat tidak boleh ditunaikan sebelum waktunya karena zakat memiliki ketentuannya. Namun, bagi mereka (jumhur ulama) yang berpandangan bahwa zakat adalah ibadah yang mengandung aspek ekonomi dan sosial. Maka diperkenankan mengeluarkan zakat sebelum waktunya.[33]
Di antara dua pendapat di atas, pendapat yang lebih mendekati kebenaran (wallahu a’lam) adalah pendapat yang pertama (jumhur ulama) yaitu memperbolehkan penyegeraan pembayaran zakat untuk masa satu tahun atau dua tahun. Menyegerakan pembayaran zakat juga dapat menumbuhkan sikap perhatian terhadap kondisi orang-orang fakir serta dapat menghibur mereka. Meskipun meninggalkannya adalah lebih utama.[34]
Kebolehan ini dikuatkan oleh fatwa ulama-ulama kontemporer dalam fatwa Fatawa al-Ulamaa’ Haula Firuus Kuruna, fatwa-fatwa terkait virus Corona. Menurut hasil fatwa ini diperbolehkan menyegerakan zakat sebelum waktunya, dengan syarat harta yang dimiliki telah mencapai nishab. Selain itu, ini juga mempertimbangkan kebutuhan para fakir terhadap harta, dan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok saat kondisi sulit seperti ini, seperti makanan, obat-obatan dan kebutuhan lainnya. Hal ini juga tentu untuk meringankan penderitaan mereka yang tidak dapat bekerja dikala pandemi seperti ini, serta meminimalisir resiko bahaya yang dapat ditimbulkan sebab wabah virus Corona (Covid-19).[35]
Bersambung… [Hukum Menyegerakan Zakat di Masa Pandemi – bagian 3]
download publikasi ini secara lengkap dalam bentuk PDF:
[1] Mukatab adalah budak yang dibebaskan oleh tuannya dengan syarat ia membayar kepada tuannya. Lihat: al-Mabsuth vol. IV, hal. 231.
[2] Wahbah az-Zuhaili , Al-Fiqh al-Islami … hlm. 738.
[3] Kafir Dzimmiy adalah orang kafir yang tinggal di Negara Islam dengan membayar jizyah.
[4] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah… hlm. 233.
[5] Al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fii Tartib asy-Syara’i, (Beirut: Daar al-Kutub al-Alamiyah, 1986) vol. 2, hlm. 9.
[6] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2003) vol. 1, hlm. 538.
[7] Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah… hlm. 539.
[8] Abdurrahman al-Jaziri , Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu… hlm. 741.
[9] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyah) vol. I, hlm. 571, no. 1792.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu… hlm. 744.
[11] Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma’ fii al-‘Ibadat wa al-Mu’amalat wa al-I’tiqad, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah) vol. I, hlm. 37.
[12] As-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut; Daar al-Ma’rifah, 1993) vol. II, hlm. 177.
[13] Al-Qadhi Abdul Wahhab, al-Ma’unah ‘ala Madzhab ‘Alim al-Madinah, (Mekkah: al-Maktabah at-Tijariyah, tt) vol. I, hlm. 360.
[14] Macam-macam harta yang mensyaratkan adanya haul pada kewajiban mengeluarkan zakat; Mata uang (emas dan perak), barang dagangan, dan hewan ternak.
[15] Asy-Syasi, Hilyah al-Ulama fii Ma’rifati Madzaahib al-Fuqaha, )Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1980) vol. III, hlm. 113.
[16] An-Nawawi, Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, )Beirut: al-Maktab al-Islami, 1991) vol. II, hlm. 212.
[17] Ibnu Qudamah, al-Mughni, )Riyadh; Daar ‘Alim al-Kutubi li Thaba’ati wa an-Nasyri wa at-Tauzi’i, tt) vol. IV, hlm. 80; Ibnu Muflih, Al-Furu’, (Mekkah: Muasasah ar-Risalah, 2003), vol. IV, hlm. 275.
[18] Ibnu Mandzur, al-Isyraf ‘ala Madzahib al-‘Ulama (tp: Maktabah Makkah at-Tsaqafiyah, 2004) vol. III, hlm.55.
[20] HR. Bukhari no.1468; Muslim no. 1983.
[21] Abdullah al-Bassam, Taisir al-‘Alam Syarh Umdah al-Ahkam, (Mesir: Maktabah at-Tabi’in, 2006) vol. I, hlm. 304; Imam an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, (Beirut: Daar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi) vol. VII, hlm. 57.
[22] HR. Abu Dawud no. 1624; Tirmidzi no. 678; Ibnu Majah no. 1795; Ahmad 1:104; Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan dalam Shahih Sunan Abi Daud.
[23] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Mesir: Daar al-Hadist, 2004), vol. II, hlm. 36.
[24] Ibnu Rusyd al-Jaddi, Al-Bayan wa at-Tahsil wa Syarh wa at-Taujih wa at-Ta’ilil li Masa’il al-Mustakhrijah, (Beirut: Daar al-Gharbi al-Islami, 1999) vol. II, hlm. 431; Ibnu Syasi, ‘Aqdu al-Jawahir ats-Tsamiinah fi madzhab ‘alim al-Madinah, (Beirut: Daar al-Gharb al-Islami, 2003) vol. I, hlm. 214-215.
[25] Ibnul Mundzir, Al-Isyraf ‘ala Madzahib al-‘Ulama (tp: Maktabah Makkah at-Tsaqafiyah, 2004) vol. III, hlm. 56.
[26] Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid… hlm. 36.
[27] HR. Abu Daud no. 1573, Tirmidzi no. 631 dan Ibnu Majah no. 1792. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalam kitab sunan shahih Abi Daud.
[28] Al-Isyraf ‘ala Madzahib al-‘Ulama… hlm. 56; Ibnu Abdil Bar, Al-Istidzkar (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004) vol. III, hlm. 141.
[29] Ibnu Abi Zaid al-Qoirawani, An-Nawadir wa az-Ziyadat ‘ala ma fii al-Mudawwinati min Ghairiha min al-Ummahat, (Beirut: Daar al-Gharbi al-Islami, 1999) vol. II, hlm.190; Ibnu Rusyd, al-Muqaddimat al-Mumahhidat, (Beirut: Daar al-Gharbi al-Islami, 1988), vol. I, hlm. 310; Al-Qarafi, adz-Dzahirah (Beirut: Daar al-Gharbi al-Islami, 1994) vol. III, hlm. 137.
[30] Yusuf Qardhawi, Fiqh az-Zakat, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1985) vol. II, hlm. 826
[31] Al-Khattabi, Ma’alim as-Sunan, (Alepo: Al-Mutabbi’ah al-‘Ilmiyah, 1932) vol. II, hlm. 54
[32] Yusuf Qardhawi, Fiqh az-Zakat, … vol.II hlm. 826
[33] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid… vol. I, hlm. 3.
[34] Al-Hajawi, al-Iqna’ fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn Hambal (Beirut: Daar al-Ma’rifah, tt) vol. I, hlm. 287.
[35] Mas’ud Shabri, Fatawa al-Ulamaa’ Haula Firuus Kuruna, (Kairo; Daar al-Basyiir, 2020) hlm.130-133.