Tidak dipungkiri, era disrupsi membawa banyak perubahan dalam tatanan kehidupan di segala sektor. Ekonomi sebagai roda aktivitas manusia, memiliki sektor kompleks di dalamnya, yang kerap terkelompokkan menjadi primer, sekunder dan tersier, terdapat sektor keuangan sebagai salah satu parsial dari sektor primer ekonomi, menyambutnya dengan banyak perubahan yang mengarah kepada layanan-layanan kemudahan bagi masyarakat. Di antaranya adalah pada sistem pembayaran.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan sistem pembayaran yang berbasis teknologi telah mengubah secara signifikan arsitektur sistem pembayaran konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran. Meski fisik uang sampai saat ini masih banyak digunakan masyarakat dunia sebagai alat pembayaran, namun sejalan dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran yang pesat, pola pembayaran tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (non-cash).[1]
Hal ini didukung dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan ataupun pusat perbelanjaan di Indonesia yang menerima transaksi pembayaran dengan menggunakan sistem pembayaran non tunai. Dengan proses transaksi cepat, aman, nyaman, mudah dan efisien merupakan alasan masyarakat Indonesia memiliki respons yang besar terhadap sistem pembayaran non tunai. Dan sistem ini telah banyak dikembangkan oleh pihak bank maupun non bank sebagai lembaga penyelenggara sistem pembayaran di Indonesia.
Beberapa instrumen pembayaran non tunai yang berkembang di masyarakat sekarang ini, selain yang umum diketahui seperti kartu kredit, kartu debit, kartu ATM, kartu prabayar, dan e-banking. Terdapat produk pembayaran elektronik yang dikenal sebagai uang elektronik (e-money), yang karakteristiknya berbeda dengan pembayaran elektronis sebelumnya. Uang Elektronik tidak memerlukan proses otorisasi dan keterkaitan langsung dengan rekening nasabah di bank karena merupakan produk (stored value) dan penyimpan nilai dana tertentu (monetary value) yang tersimpan pada suatu media berupa chip atau server yang mampu diakses secara offline maupun online.[2]
Uang elektronik (e-money) jika ditelusuri memang merupakan dampak logis dari perkembangan teknologi dalam sistem pembayaran. Uang elektronik muncul sebagai jawaban atas kebutuhan terhadap instrumen pembayaran berskala mikro yang diharapkan mampu melakukan proses pembayaran secara cepat dengan biaya relatif murah.[3]
Munculnya Uang Elektronik dilatar belakangi oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 sebagai salah satu pendukung agenda Bank Indonesia untuk menciptakan less cash society di Republik Indonesia. Mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika pertama kali terbit April tahun 2007 yang hanya 165.193 pengguna dan terus meningkat hingga tahun 2017 disebabkan adanya faktor perdagangan bebas Asean Economic Comunity 2015 yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara ASEAN.[4]
Dengan pesatnya perkembangan tersebut, di sisi lain status Indonesia sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia mendorong adanya pemenuhan kebutuhan terhadap produk-produk yang tidak bertentangan dengan syariah, termasuk dalam alat pembayaran e-money ini. Walaupun didasari pada kaidah fikih bahwa dasar aktivitas pada muamalah adalah keleluasaan,[5] namun hal ini tetap menjadi pembahasan di kalangan pengkaji fikih akan status akad yang ada di dalam e-money.
Di antara pendapatnya adalah akad Ijarah al-Maushufah fii Dzimmah, Wadiah, Qardh dan Sharf. Dan dari perbedaan tersebut menuai konsekuensi berbeda terkait kebolehan dalam menggunakan e-money, status dari Uang Elektronik itu sendiri dan status promo (cashback dan diskon) yang ditawarkan oleh penerbit.
Maka, dalam makalah ini, penulis akan memaparkan kajian terkait status akad di dalam transaksi Uang Elektronik. Namun, karena luasnya pembahasan dalam akad antar pihak-pihak yang terlibat dan keterbatasan muatan yang harus diuraikan dalam makalah ringkas ini, maka penulis membatasi pembahasan hanya pada status akad antara pemegang dan penerbit pada Uang Elektronik khususnya di Indonesia.
Definisi Uang Elektronik (E-Money)
Bahasa
Uang Elektronik (E-Money) tersusun dari dua kata, uang dan elektronik. Kata uang dilihat dari sisi bahasa arab berasal dari kata naqd yang berarti membayar, memilih, memberi, sedangkan kata nuqud bermakna mata uang yang berasal dari emas dan perak atau yang lainnya yang digunakan sebagai alat tukar.[6] Sedangkan kata elektronik adalah kata yang dinisbatkan kepada satuan muatan listrik (elektron), yang dalam bahasa arab disebut aliktirun.[7]
Istilah
Dalam pemaknaan uang secara istilah, terdapat banyak definisi yang disebutkan ulama. Dari pendapat yang klasik sampai kontemporer. Di antaranya:
- Menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H): Uang adalah hasil tambang berupa emas dan perak yang sudah dicetak ataupun belum dicetak.[8]
- Menurut Imam An-Nawawi (w. 676 H): Uang adalah emas dan perak yang sudah tercetak.[9]
- Melengkapi definisi dari Imam Nawawi, yang disebutkan dalam ensiklopedia fikih yang diterbitkan Kementerian Agama Kuwait, yakni uang adalah segala yang dicetak dari emas dan perak yang digunakan secara adat sebagai harga dan alat tukar.[10]
- Selain itu, disebutkan juga definisi lain dari sumber yang sama (poin 5), bahwa uang adalah segala yang digunakan sebagai alat tukar, yang berupa emas, perak, tembaga, kulit, kertas, atau yang lainnya yang dapat diterima secara umum oleh masyarakat.[11]
- Muhammad ‘Utsman Syubair, ulama kontemporer memberikan pengertian yang disebutkan dalam kitabnya, yakni uang adalah segala yang digunakan untuk bertransaksi oleh suatu negara, yang berupa emas, perak, uang kartal, dan uang giral.[12]
- Syaikh Dubyan Ad-Dubyan, memberi istilah yang serupa, bahwa uang adalah segala sesuatu yang diakui secara ‘urf dan adat secara menyeluruh sebagai alat tukar.[13]
Dari beberapa istilah yang diungkapkan ulama di atas, dan dengan kondisi zaman yang semakin maju dan berkembang maka dua pendapat terakhir menjadi pendapat terkuat, bahwa uang adalah segala yang diakui secara ‘urf dan adat serta diterima secara menyeluruh oleh suatu negara sebagai standar harga dan alat tukar.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Taimiyyah dalam fatwanya yang berbunyi, “Adapun dinar dan dirham maka tidak ada batasan secara alami maupun syar’i, tetapi rujukannya adalah pada kebiasaan (‘adah) dan kesepakatan, karena pada dasarnya tujuan orang (dalam penggunaan dinar dan dirham) tidak berhubungan dengan substansinya tetapi tujuannya adalah agar dinar dan dirham menjadi standar bagi objek transaksi yang mereka lakukan.
Fisik dinar dan dirham bukan tujuan tetapi hanya sebagai sarana untuk melakukan transaksi dengannya. Oleh karena itu, dinar dan dirham (hanya) berfungsi sebagai tsaman (harga, standar nilai). Berbeda dengan harta yang lain (barang) yang dimaksudkan untuk dimanfaatkan fisiknya. Oleh karena itu, barang harus diukur dengan perkara-perkara yang bersifat alami dan syar’i. Sarana yang berbentuk (fisik) bukan merupakan tujuan boleh digunakan untuk mencapai tujuan, seperti apa pun bentuknya.”[14]
Sementara Bank Indonesia sendiri sebagai lembaga sentral yang mengurusi keuangan memberikan definisi yang sama, bahwa uang adalah segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang resmi dalam rangka memenuhi suatu kewajiban; secara umum, mempunyai tiga tujuan yang berbeda bergantung pada penggunaannya, yaitu sebagai alat tukar untuk pembayaran di antara konsumen, badan usaha dan pemerintah; sebagai satuan dasar untuk menilai daya beli atau nilai yang dibayarkan untuk memperoleh barang dan jasa; dan sebagai alat penyimpanan nilai untuk mengukur nilai ekonomis pendapatan pada masa sekarang terhadap pengeluaran pada masa yang akan datang.[15]
Sedangkan kata elektronik, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika; hal atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika.[16]
Dan ketika uang dan elektronik digabungkan menjadi satu kata majemuk, memiliki definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Bank Indonesia bahwa, Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:[17]
- Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;
- Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip; dan
- Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Dalil Tentang Penggunaan Mata Uang
Dalil Al-Qur’an
قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ
“…Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu,…”[18]
Dalam tafsirnya Al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibnu ‘Asyur menjelaskan, bahwa kata bi wariqikum bermakna perak yang tercetak yang biasa digunakan bangsa Romawi sebagai alat transaksi.[19]
Hadits
عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: دَفَعَ إِلَيَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا لأَشْتَرِيَ لَهُ شَاةً. فَاشْتَرَيْتُ لَهُ شَاتَيْنِ، فَبِعْتُ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ، وَجِئْتُ بِالشَّاةِ وَالدِّينَارِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ لَهُ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِهِ، فَقَال لَهُ: ((بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي صَفْقَةِ يَمِينِكَ))
Diriwayatkan dari Urwah Al Bariqi ia berkata; Rasulullah ﷺ memberikan kepadaku satu dinar untuk membeli seekor kambing untuknya, aku pun membelikannya dua kambing lalu aku menjual salah satu dari keduanya seharga satu dinar dan aku menemui Nabi ﷺ dengan membawa satu ekor kambing dan satu dinar. Lalu ia menceritakan kepada beliau tentang apa yang ia perbuat, maka beliau pun bersabda, “Semoga Allah memberkahi transaksi jual belimu.”[20]
Dalam riwayat ini menunjukkan kebolehan nabi secara fi’liyyah, qouliyyah dan taqririyyah di dalam menggunakan dinar (mata uang) sebagai alat transaksi jual beli, termasuk jual beli dengan akad wakalah dan jual beli fudhuli.[21]
Sejarah Uang Elektronik
Terdapat banyak versi berbeda tentang penelusuran sejarah awal penggunaan uang elektronik yang banyak mengalami perkembangan. Di antara perkembangan tersebut meliputi luar dan dalam negeri.
Perkembangan Uang Elektronik di Dunia [22]
Tahun 1960: IBM dan American Airlines
Salah satu versi menyebutkan bahwa e-money dimulai sejak tahun 1960 yaitu ketika itu perusahaan komputer raksasa bernama IBM bekerja sama dengan American Airlines menciptakan suatu sistem yang disebut SABRE (Semi-Automatic Business Research Environment). Sistem ini memungkinkan kantor-kantor American Airlines untuk dipasangkan terminal yang terhubung dengan jaringan telepon yang dapat mengecek secara langsung jadwal penerbangan atau ketersediaan kursi penumpang secara digital. Lalu sistem ini membuat pesanan yang kemudian bisa dibayarkan menggunakan sistem kredit.
Tahun 1970: Bank Amerika Eropa
Pada tahun 1970-an bank di Amerika dan Eropa sudah menggunakan mainframe komputer untuk melacak transaksi antar cabang dan bank lain. Dan sistem ini terbukti sukses melewati batasan internasional pertukaran kurs dibutuhkan.
Tahun 1983: David Chaum
Hingga pada 1983, sebuah research paper yang dibuat oleh David Chaum memperkenalkan ide berupa uang digital. David Lee Chaum adalah seorang ilmuwan komputer dan kriptografer. Ia banyak menciptakan protocol kriptografi dan menemukan Digicash, sebuah perusahaan uang digital yang didirikan di Amsterdam, namun bangkrut pada tahun 1998.
Tahun 1977: Coca-cola
Pada tahun 1997, perusahaan Coca-Cola pertama kali menawarkan transaksi dari vending machine menggunakan mobile payments.
Perkembangan Uang Elektronik di Indonesia[23]
Flazz BCA yang paling tua
Bank BCA menjadi lembaga keuangan yang pertama kali menyediakan e-money lewat Flazz BCA. Uang elektronik berbentuk kartu ini diluncurkan pertama kali pada 2007 dan kini sudah beredar hingga hampir 10 juta unit.
Dirilis pertama kali tahun 2009
Uang elektronik pertama kali dirilis secara resmi di Indonesia pada tahun 2009. Ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.11/12/PBI/2009 tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Indonesia. Regulasi ini juga dilengkapi dengan surat edaran yang mengatur soal lembaga penyedia uang elektronik.
Mencapai 37 uang elektronik
Hingga saat ini sudah ada 37 uang elektronik yang beredar di Indonesia termasuk yang berupa kartu dan aplikasi. Jenisnya juga terbagi menjadi uang elektronik konvensional dan syariah. TrueMoney merupakan uang elektronik syariah pertama di Indonesia yang sudah mendapatkan pengakuan dari Dewan Syariah Nasional MUI.
Didongkrak Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT)
Pertumbuhan dan perkembangan transaksi uang elektronik di Indonesia salah satunya didongkrak oleh Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Program yang dicanangkan Bank Indonesia pada 2014 ini secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk berpindah ke uang elektronik. Salah satu ketetapan yang berpengaruh banyak adalah pembayaran tol non tunai secara menyeluruh.
Didominasi transaksi transportasi
Nilai transaksi e-money di Indonesia semakin naik salah satunya karena tingginya penggunaan dalam bidang transportasi. Selain kebutuhan pembayaran tol seperti yang sudah disebutkan, banyak pula digunakan untuk KRL, MRT, dan ojek online. Apalagi dua nama besar produk uang elektronik saat ini, OVO dan Go-Pay, berasal dari startup transportasi online.
Manfaat Uang Elektronik [24]
- Lebih praktis dan nyaman dibandingkan dengan uang tunai, khususnya untuk transaksi yang ternilai kecil (micro payment).
- Terhindar dari kesalahan dalam menghitung uang kembalian dari suatu transaksi, karena hal tersebut tidak terjadi apabila menggunakan uang elektronik (e-money).
- Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu transaksi dengan uang elektronik (e-money) dapat dilakukan jauh lebih singkat dibandingkan dengan kartu kredit atau kartu debit.
- Electronic Value dapat diisi ulang ke dalam kartu atau akun e-money melalui berbagai sarana yang disediakan oleh issuer.
- Tidak lagi menerima uang kembalian dalam bentuk barang (seperti permen) akibat pedagang tidak mempunyai uang kembalian bernilai kecil (receh).
- Sangat applicable (berlaku) untuk transaksi massal yang nilainya kecil namun frekuensinya tinggi, seperti: transportasi, parkir, tol, fast food, dll.
Jenis-jenis Uang Elektronik
Uang Elektronik Berdasarkan Pencatatan Data Identitas Pemegang
- Uang Elektronik yang data identitas Penggunanya terdaftar dan tercatat pada Penerbit.
- Uang Elektronik yang data identitas Penggunanya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada Penerbit.
Uang Elektronik Berdasarkan Media Penyimpanan
- Chip Based. Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa
- Server Based. Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa
- Uang Elektronik Berdasarkan Lingkup Penyelenggaraannya
- Close Loop. Uang Elektronik yang hanya dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut.
- Open Loop. Uang Elektronik yang dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang bukan merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut.
Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Uang Elektronik [25]
Secara khusus pihak-pihak yang terlibat dalam Uang Elektronik terbagi menjadi delapan pihak, yakni Penerbit, Acruirer, Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pengguna (Pemegang), dan Penyedia Barang atau Jasa. Namun, secara umum dibagi menjadi tiga;
Penyelenggara Uang Elektronik
Bagian ini yang terdapat di dalamnya pihak-pihak seperti, Penerbit, Acquirer, Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir dalam kegiatan Uang Elektronik.
Pengguna
Pengguna adalah pihak yang menggunakan Uang Elektronik.
Penyedia Barang atau Jasa
Penyedia Barang dan/atau Jasa adalah pihak yang menjual barang dan/atau jasa yang menerima pembayaran dari Pengguna
Mekanisme Kerja Uang Elektronik [26]
- Pemegang melakukan pembelian atau pengisian ulang uang elektronik (top up) dengan sejumlah nilai tertentu dengan menginstruksikan bank untuk melakukan debit rekeningnya atas pembelian uang elektronik tersebut (jika penerbit bank). Atau pemegang dapat juga melakukan pembelian uang elektronik dengan menyetor uang tunai kepada penerbit (jika penerbit non bank).
- Atas dasar instruksi tersebut, penerbit bank melakukan debit rekening pemegang dan melakukan kredit rekening penampungan dana float di rekeningnya. Begitu pula pada penerbit non bank melakukan penampungan dana float di rekeningnya.
- Bersamaan dengan itu penerbit memasukkan nilai uang elektronik ke dalam media uang elektronik berupa chip atau server kepada pemegang.
- Dana float tersebut tertampung (sesuai perundang-undangan tentang uang elektronik) paling sedikit sebesar 30% di rekening giro atau kas (jika penerbit bank) yang bersifat liquid karena untuk memenuhi kewajiban penerbit kepada pemegang ketika digunakan. Sedangkan maksimal 70% lainnya ditampung dalam bentuk investasi saham SBN (Surat Berharga Negara).[27]
Status Akad Uang Elektronik
Pendapat-pendapat Tentang Status Akad Uang Elektronik
Di kalangan pengkaji fikih di Indonesia tentang status akad dalam uang elektronik memunculkan beberapa pendapat yang dilihat dari mekanisme kerja uang elektronik yang memang memiliki kadar kemiripan yang hampir sama. Di antaranya;
Ijarah
Pendapat pertama tentang status akad pada Uang Elektronik antara Penerbit dan Pemegang adalah akad ijarah al-maushufah fii dzimmah (jual beli manfaat yang ditangguhkan).[28] Di antara Pendapat yang mengatakan hal tersebut beralaskan bahwa, akad antara pemegang dengan penerbit adalah pemegang membeli jasa kepada penerbit yang jasa tersebut akan diambil suatu saat nanti ketika dibutuhkan.[29]
Selain itu, dengan argumentasi bahwa pembayaran ijarah dibayar di muka, manfaat diterima kemudian, akad semacam ini adalah bagian dari akad salam yang dibolehkan dalam syariat, dan karena akadnya ijarah al-maushufah fii dzimmah menjadi hak pihak yang menyewakan jasa (penerbit) untuk memberikan diskon atau cashback sebagai pemberian yang dibolehkan syariat.[30]
Ijarah bermakna secara bahasa adalah jual beli manfaat.[31] Dan memilik makna yang sama secara istilah, yakni akad muawadhah perpindahan manfaat dengan ganti imbalan.[32]
Ketentuan-ketentuan terkait Ijarah;[33] akad pada hal-hal yang boleh ditransaksika, manfaat diketahui jelas di awal, upah diketahui jelas di awal dan manfaatnya mubah
Wadiah
Pendapat pertama tentang status akad pada Uang Elektronik antara Penerbit dan Pemegang adalah akad wadiah (titipan).[34] Pendapat ini beralaskan bahwa takyif fikih dalam transaksi ini adalah pemegang menitipkan uang kepada penerbit untuk sebagai amanah yang apabila pemegang ingin menggunakannya, maka diambilkan dari dana yang dititipkan tersebut.[35]
Wadiah secara bahasa dari kata al-wad’u berarti peninggalan.[36] Sedangkan wadiah sendiri bermakna sesuatu yang dititipkan.[37] Dan secara istilah, wadiah adalah harta yang dititipkan kepada orang lain tanpa adanya ganti rugi.[38]
Ketentuan-ketentuan Akad Wadiah[39]
- Akad tidak mengikat di antara keduanya. Keduanya bisa melakukan tindakan sepihak mengembalikan atau mengambil kapan pun.
- Bersifat amanah, maka orang yang dititipi tidak wajib menanggung kecuali terjadi kelalaian dari orang yang dititipi.
- Akad bersifat tabarru’, sehingga tidak boleh mengambil upah atas jasa penitipannya. Namun ada ikhtilaf, sebagian membolehkan.
- Tidak boleh dimanfaatkan. Jika terjadi pemanfaatan barang titipan, bercampur dengan barang lain, menitipkan kembali kepada orang lain, mewajibkan penanggungan dari orang yang dititipi berubah sifatnya menjadi
Qardh
Pendapat lainnya tentang akad tersebut adalah akad qardh (pinjaman). Banyak para pengkaji fikih berpendapat bahwa akad Uang Elektronik antara pemegang dengan penerbit adalah akad qardh (pinjaman).[40]
Mereka berpendapat bahwa akad tersebut qardh karena ketika pemegang melakukan top up, dana tersebut tertampung dalam 30% di rekening giro bank mitra atau kas (bagi penerbit bank) dan 70% diinvestasikan pada saham SBN (Surat Berharga Negara) atas nama penerbit yang artinya sudah terjadi perpindahan kepemilikan.
Sehingga hal tersebut termasuk pinjaman dan mengambil diskon atau cashback termasuk mendapat manfaat dari pinjaman. Selain itu juga menjadi alasan tidak bolehnya menggunakan Uang Elektronik karena termasuk ikut andil dalam transaksi riba .[41]
Qardh secara bahasa adalah masdar dari kata qaradha yang bermakna al-qath’ (potongan, putusan).[42] Sedangkan secara istilah bermakna bentuk pemberian harta dari orang lain (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta yang sepadan yang menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang diambil yang dimaksudkan untuk diambil manfaatnya oleh debitur.[43]
Ketentuan-ketentuan dalam Qardh[44]
- Adanya sighah, verbal atau non verbal.
- Harta yang dipinjamkan adalah harta yang bisa dijadikan tanggungan.
- Dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas (kelayakan).
- Barang yang dijadikan objek transaksi diketahui kadar dengan pasti dan tidak tercampur dengan yang lainnya.
- Terjadi perpindahan kepemilikan.
- Sharf
Pendapat terakhir terkait status akad Uang Elektronik antara pemegang dan penerbit adalah akad sharf (jual beli mata uang).[45] Di mana yang berpendapat sharf bahwa konsumen menukarkan uang tunai rupiahnya menjadi uang elektronik juga dalam bentuk rupiah, sehingga substansinya adalah perubahan bentuk dari tunai ke elektronik.[46]
Takyif dengan akad ṣharf sejalan dengan pandangan Yusuf Bin Abdullah Asy-Syubaili[47] tentang hukum menggunakan Saudi Tech, semacam kartu belanja online yang dapat digunakan setelah top up (isi saldo) sejumlah tertentu dan dapat dipergunakan belanja secara online di setiap merchant yang menerima logo Mastercard. Beliau menjawab bahwa kartu tersebut pada dasarnya memiliki nilai tersendiri, nilai tersebut telah diterima sepenuhnya oleh pemilik kartu dalam bentuk elektronik. Menurutnya perbedaan pandangan ulama seperti ini pernah terjadi di awal munculnya uang kertas setelah sebelumnya menggunakan logam dari emas dan perak. Namun, dengan diterimanya uang kertas ditengah-tengah masyarakat sebagai alat tukar yang memiliki nilai, maka ulama sepakat bahwa transaksinya adalah sharf.[48]
Definisi Sharf
Secara bahasa bermakna membayar, menolak, memalingkan.[49] Sedangkan menurut istilah adalah menjual mata uang dengan mata uang (nuqud) sejenis atau lain jenis, dari emas, perak atau uang kertas yang umum digunakan sebagai alat tukar.[50]
Ketentuan-ketentuan terkait sharf[51]
- Terjadi serah terima sebelum berpisah.
- Sama kadarnya jika satu mata uang.
- Tidak ada khiyar
- Tidak ada penundaan saat akad.
Kesesuaian Mekanisme Dengan Akad
Dengan pemaparan mekanisme kerja uang elektronik berdasarkan perundang-undangan Bank Indonesia yang dipertemukan dengan ketentuan-ketentuan akad dalam akad yang diklaim, mengarahkan status akad pada uang elektronik antara pemegang dengan penerbit dominan kepada akad sharf dikarenakan kemiripan transaksi antara keduanya.
Pertama, ketika top up nilai yang ditukar sama, terjadi serah terima secara langsung, dapat pula ditukar kembali antara uang elektronik ke uang tunai pada fasilitas redeem.
Kedua, dilihat sebagaimana kegunaannya yang sesuai dengan konsep uang dalam Islam, maka uang elektronik dapat berstatus sebagai mata uang karena dapat digunakan sebagai standar harga dan alat tukar yang diatur oleh pemerintah serta tidak sembarang orang dapat menerbitkannya. Sehingga nilai tsaman pada uang elektronik dapat menjadi ‘illah pada akad sharf.
Ketiga, sesuai dengan konsep maqashid syariah yang menjadikan kemaslahatan uang elektronik menjadi lebih luas. Terdapat maqashid syariah berupa hifzhu al-maal dari akad uang elektronik sebagaimana yang tercantum dalam poin manfaat uang elektronik.
Keempat, sesuai dengan transaksi syariah karena terhindar dari riba, zhalim, gharar (tidak jelasan), maysir (judi, spekulasi), israf (pemborosan) dan dzat haram.
Maka ketika status akadnya adalah sharf, bentuk keuntungan dari penerbit uang elektronik berupa diskon, cashback dan yang lainnya boleh untuk dimanfaatkan oleh pengguna sebab sifatnya hibah dari penerbit sebagai media menarik pengguna.
Adapun yang lebih memilih pendapat status akad uang elektronik antara penerbit dan pemegang adalah qardh, maka dengan kondisi zaman yang menjadikan uang elektronik sebagai suatu yang primer, maka penggunaannya diperbolehkan namun dalam parameter dharurah berupa; diwajibkan oleh undang-undang dalam penggunaannya, belum ada uang elektronik yang syariah atau alternatif lain, digunakan sesuai kadarnya dan tidak menggunakannya dapat menyebabkan kehilangan atau tidak bisa memenuhi dari kebutuhan primernya.[52]
Dan apabila akadnya adalah qardh sejatinya yang menjadi permasalahan adalah apabila menggunakan diskon atau cashback karena dinilai sebagai riba karena termasuk manfaat yang dijanjikan dari peminjam (penerbit) kepada yang meminjamkan (pemegang). Maka, lebih selamat jika lebih baik tidak mengambil diskon atau cashback, hanya cukup menggunakan layanannya saja.
Penutup
Tidak dipungkiri bahwa uang elektronik menjadi kebutuhan terhadap instrumen pembayaran berskala mikro yang diharapkan mampu melakukan proses pembayaran secara cepat dengan biaya relatif murah, aman, nyaman, mudah dan efisien
Dari beberapa pendapat tentang status akad uang elektronik antara pemegang dengan penerbit memang memiliki kemiripan yang hampir sama, adanya hal tersebut dikarenakan tidak adanya transparansi dan kejelasan dari penerbit akan akad-akad yang ada dalam Uang Elektronik menurut Islam atau terjadi multi akad di dalamnya.
Berdasarkan uraian analisis di atas penulis berkesimpulan dan memilih status akad uang elektronik antara penerbit dan pemegang adalah akad sharf. Maka segala bentuk keuntungan dari penerbit uang elektronik berupa diskon, cashback dan yang lainnya boleh untuk dimanfaatkan oleh pengguna sebab sifatnya hibah dari penerbit sebagai media menarik pengguna.
Adapun penggunaan uang elektronik jika dihukumi sebagai qardh, yang berkemungkinan dalam penggunaannya termasuk keikutsertaan dalam transaksi riba karena bermitra dengan bank konvensional dan termasuk riba jika menggunakan diskon atau cashback karena mendapat manfaat atas pinjaman. Maka penggunaannya tetap diperbolehkan namun dalam batas dharurah berupa; diwajibkan oleh undang-undang dalam penggunaannya, belum ada uang elektronik yang syariah atau alternatif lain, digunakan sesuai kadarnya dan tidak menggunakannya dapat menyebabkan kehilangan atau tidak bisa memenuhi dari kebutuhan primernya. Wallahu a’lam bi as-shawwab. [Abd. Mujib]
[1] R. Maulana Ibrahim, Paper Seminar Internasional Toward a Less Cash Society in Indonesia (Jakarta: Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, 2006), hlm. 12
[2] M Rizky W. A dan Rachmat R. K., Uang Elektronik Dalam Perspektif Islam, Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, Vol. 6. No.1, hlm. 85.
[3] Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik, hlm. 8.
[4] Farida Rohmah, Perkembangan Uang Elektronik pada Perdagangan di Indonesia, Jurnal Ekonomi, hlm. 2-3.
[5] Shalih al-Asmary, Majmu’ah al-Fawaid al-Bahiyyah ‘ala Manzhumah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Riyadh: Dar al-Shami’i, 2000) hlm. 75.
[6] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah bi al-Qahirah, Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar al-Da’wah, 1431 H) jilid 2, hlm. 944.
[7] Ahmad Muhtar Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, (‘Alim al-Kutub, 1433 H(, hlm. 111.
[8] Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983) jilid 3, hlm. 98.
[9] An-Nawawi, Raudhatu al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin, jilid 5, (Beirut: Maktabah al-Islami, 1991) hlm. 117.
[10] Wazarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islmiyyah Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Wazarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islmiyyah, 1427 H) jilid 43, hlm. 173.
[11] Wazarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islmiyyah – Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah…
[12] Muhammad ‘Utsman Syubair, Al-Muamalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, (Yordania: Dar al-Nufais, 1427 H) cet. ke-6, hlm. 148.
[13] Dubyan Ad-Dubyan, Al-Muamalat al-Maliyyah Ashalatan wa Muashiratan, (Riyadh: Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah, 1432 H) cet. ke-2, jilid 16, hlm. 183.
[14] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd li Thab’ah al-Mushaf al-Syarif, 1995) jilid 19, hlm. 251-252.
[15] Bank Indonesia, Kamus Bank Sentral Indonesia, https://www.bi.go.id/id/Kamus.aspx?id=U diakses pada 22 November 2020.
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
[17] Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018, Tentang Uang Elektronik, hlm. 4.
[18] QS. Al Kahfi: 19
[19] Ibnu ‘Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar al-Tunisiyyah Li al-Nasyr, 1983 H), jilid 15, hlm. 285.
[20] HR. Tirmidzi No. 1258, At-Thabrani No. 421, Abu Dawud No. 3384.
[21] Ibnu Ruslan Ar-Ramli, Syarh Sunan Abi Dawud, (Mesir: Dar al-Fallah li al-Bahts al-‘Alami wa Tahqiq al-Turats, 2016) jilid 14, hlm 171-173.
[22] Ahmad Sarwat, Halal Haram e-Money Dalam Timbangan Hukum Syariah Kontemporer, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing) hlm. 19-20.
[23] Hariyanto, Pertumbuhan dan Perkembangan Uang Elektronik di Indonesia, https://ajaib.co.id/pertumbuhan-dan-perkembangan-uang-elektronik-di-indonesia/ diakses pada 17 November 2020.
[24] Firmansyah dan M. Ihsan Dacholfany, Uang Elektronik Dalam Perspektif Islam, (Lampung: CV. Iqro, 2018) hlm. 81-82.
[25] Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018, Tentang Uang Elektronik, hlm. 4-5.
[26] Febriandika, Nur Rizki & Hakimi, Fifi, Analisis Kesesuaian Syariah Electronic Money Pada Bank Penerbit Uang Elektronik Di Indonesia, (An-Nisbah Jurnal Ekonomi Syariah, 2020) Vol. 07, No. 1, hlm. 232-236.
[27] Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018, Tentang Uang Elektronik, hlm. 28-29.
[28] Di antara pengkaji fikih yang berpendapat ijarah al-maushufah fii dzimmah adalah:
- Ustadz Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal dengan Buya Yahya, beliau adalah alumni Universitas Al-Ahgaff, Yaman selama 9 tahun. Pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah yang berpusat di Cirebon.
- Ustadz Dr. Oni Sahroni Lc, MA, beliau dikenal sebagai ahli fikh bisnis dan keuangan syariah. Menyelesaikan pendidikan dari tingkat Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3) bidang Fiqh Muamalah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Anggota BPH Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sejak tahun 2011 hingga sekarang.
[29] Buya Yahya, “Hukum Go Pay – Buya Yahya Menjawab”, Al-Bahjah TV, https://www.youtube.com/watch?v=bZVT0DGUsco&t=7s&ab_channel=Al-BahjahTV diunggah 26 Feb 2019, menit 04:23.
[30] Oni Sahroni, GO-PAY Halal atau Haram? Berikut Tinjauan Syariah, https://www.portal-islam.id/2017/08/go-pay-halal-atau-haram.html diakses pada 12 Desember 2020.
[31] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1433 H) cet. IV, jilid 5, hlm. 3803.
[32] Wazarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islmiyyah – Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah…, hlm. 252.
[33] Abdullah At-Thayyar, dkk., Al-Fiqhu al-Muyassar, (Riyadh: Madar al-Wathan li al-Nasyr, 2012) cet. II, jilid 6, hlm. 177.
[34] Di antara pengkaji fikih Indonesia yang berpendapat wadiah adalah:
- Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi. Beliau alumni Ma’had Darul Hadits, Dammaj, Yaman. Beliau merupakan salah satu pendiri dan mudir pondok pesantren As-Sunnah Makassar.
- Ustadz Islahuddin Mubarak, Lc., M.H. Beliau adalah Sekretaris Divisi Muamalat Dewan Syariah Wahdah Islamiyah Priode 2016-2021.
[35] Dzulqarnain Muhammad Sunusi, “Hukum Go Pay, Grab Pay atau Uang Elektronik dalam Islam – Ust. Dzulqarnain M. Sunusi”, MENARA ISLAM, https://www.youtube.com/watch?v=JL36efKWtr4&ab_channel=MENARAISLAM diunggah 18 Maret 2019, menit 03.00.
[36] Abu Nashr Al-Farabi, Al-Shahah Taj al-Lughah wa Shahah al-‘Arabiyyah, (Beirut: Dar al-‘Ilmi li Malayain, 1987) cet. IV, jilid 3, hlm. 1295.
[37] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah bi al-Qahirah, Mu’jam al-Wasith,… jilid 2, hlm. 1021.
[38] Muhammad At-Tuwaijiri, Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, (Tanpa Kota: Bait al- Afkar al-Dauliyyah, 2009), jilid 3, hlm. 548.
[39] Wazarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islmiyyah – Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah…, jilid 42, hlm. 10-13
[40] Di antara pengkaji fikih Indonesia yang berpendapat seperti ini adalah
- Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi, Lc., MA. Beliau menyelesaikan pendidikan S1 Syariah & S2 Ushul Fikih di LIPIA, S2 Syariah di Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud, S3 jurusan Ushul fiqh, Fakultas Syari’ah di Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud. Penulis buku Harta Haram Muamalat Kontemporer.
- Ustadz Dr. Firanda Andirja Lc., MA. Beliau menyelesaikan pendidikan dari tingkat Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3) di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
[41] Firanda Andirja, “Hukum GO PAY, Pendapat yang Lebih Kuat | Tidak perlu RIBUT – Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA”, Kebumen Mengaji https://www.youtube.com/watch?v=dGKwgiGBb9g&t=37s&ab_channel=KebumenMengaji
Diunggah 7 Mar 2019, menit 11.00
[42] Ibnu Faris, Mu’jam Maqoyis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979) jilid 5, hlm. 71.
[43] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam.., jilid 5, hlm. 3782.
[44] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam.., jilid 5, hlm. 3792.
[45] Pendapat tentang akad Uang Elektronik antara pemegang dan penerbit adalah sharf ini dipilih oleh:
- Ustadz Dr. Ahmad Sarwat, Lc, MA. Beliau menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Suud LIPIA, Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab, S-2 di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta – Ulumul Quran dan ulumul hadits, S-3 di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta – Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT). Pendiri dan pengelola dari rumahfiqih.com.
- Ustadz Hendra Wijaya, Lc., MH. Beliau menyelesaikan pendidikan magister (S2) dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Anggota Komisi C Bidang Muamalat & Ahwal Syakhshiyah Dewan Syariah Wahdah Islamiyah Periode 2016-2021. Selain itu beliau adalah Dosen STIBA Makassar.
[46] Ahmad Sarwat, Halal Haram e-Money Dalam Timbangan Hukum Syariah Kontemporer,… 28-29.
[47] Yusuf Bin Abdullah al-Syubaili adalah pengajar di al-Ma’had al-‘Ali Li al-Qaḍa . Dewan fatwa situs Islam Way (“Profil Yusuf Albdullah al-Syubaili” https://ar.islamway.net/scholar/325/profile diakses 12 Desember 2020).
[48] Islam Way, “Fatwa Mufaṣṣalah fi al-Biṭaqat al-Madfu’ah Musbiqaa” https://ar.islamway.net/fatwa/34033 diakses 12 Desember 2020
[49] Sa’di Abu Habib, Al-Qamus al-Fiqhiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) cet. ke-2, hlm. 210.
[50] Muhammad At-Tuwaijiri, Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy…, jilid 3, hlm. 489.
[51] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam…, cet. IV, jilid 5, hlm. 3660.
[52] Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyyah al-Dharurat al-Syar’iyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985) cet. V, hlm. 68-72.