Oleh: Dr. Adian Husaini (Direktur Attaqwa College Depok)
Tulisan ini diambil dari website pribadi DR. Adian Husaini: Peluang Pesantren Tinggi di Era Disrupsi
Pada Hari Ahad, 9 Februari 2020, saya mendapat kesempatan mengisi Kuliah Umum di Ma’had Aly (Pesantren Tinggi) An-Nur, Sukoharjo. Pendidikan di Pesantren Tinggi ini sudah berlangsung sejak tahun 1997. Ilmu yang didalami adalah Dirasah Islamiyah (Studi Islam), dengan kekhususan studi Fiqih dan Ushul Fiqih.
Tidak ada gelar akademik untuk lulusannya. Program belajarnya selama 7 semester (3,5 tahun). Calon mahasantri dikenakan biaya uang masuk Rp 5 juta dan SPP Rp 1 juta per bulan. Biaya Rp 1 juta itu sudah termasuk makan tiga kali sehari, operasional pendidikan, asrama, dan sebagainya.
Tentu, ini terbilang sangat murah. “Usul saya, tahun depan naikkan lima juta Rupiah sebulan,” saya sampaikan candaan saat Kuliah Umum tersebut. Ratusan mahasantri dan pimpinan An-Nur tampak tertawa dan tersenyum mendengar usul saya.
Memang, sejatinya, belajar agama itu sebenarnya tidak murah harganya. Harusnya, membayar lima juta sebulan itu murah. Tapi, yang tidak mampu bayar, silakan bayar semampunya. Jangan menganggap remeh belajar ilmu-ilmu agama. Menanamkan iman dan akhlak mulia adalah pekerjaan berat.
Di Pesantren Tinggi An-Nur inilah mahasantri dididik akhlaknya, ibadahnya, juga keilmuan agamanya (ulumuddin). Para alumni An-Nur sudah banyak yang terbukti kiprahnya di tengah masyarakat. Ibaratnya, kualitasnya bukan janji, tapi sudah terbukti.
Pesantren Tinggi An-Nur adalah contoh kegigihan Perguruan Tinggi Islam yang sanggup bertahan di tengah dominasi paham sekulerisme dan materialisme. Bahwa, ilmu-ilmu agama di tingkat Perguruan Tinggi dianggap oleh banyak orang sebagai “ilmu kelas rendah”, karena dianggap tidak menjanjikan lapangan kerja yang menghasilkan banyak uang. Meskipun begitu, An-Nur tetap bertahan dan bahkan tampak semakin berkembang.
Baca Juga: Santri Dalam Pusaran Globalisasi
Peluang Pesantren Tinggi
Kepada sejumlah dosen dan ratusan mahasantri Pesantren Tinggi An-Nur saya tampilkan realitas kondisi dunia Perguruan Tinggi secara global dan juga nasional. Sebuah artikel yang ditulis oleh mantan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof. Satryo memprihatinkan kondisi Perguruan Tinggi kita yang sedang dimarginalkan fungsinya.
Dalam artikelnya berjudul: “Marginalisasi Perguruan Tinggi”, Prof. Satryo menulis: “Memang PTN dan PTS terkesan menyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pendidikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN hanyalah formalitas persekolahan tingkat tinggi (maksudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah persekolahan tingkat tinggi dengan memperlakukan mahasiswa sebagai komoditas.”
Dalam bukunya yang berjudul, “Disruption” (2018), Rhenald Kasali menulis, bahwa di tengah badai perubahan disrupsi, inovasi yang rutin (sustaining innovation) saja tidaklah cukup. Yang diperlukan adalah ‘disruptive innovation’. “Kita lebih baik menggunakan disruption untuk pembaruan ketimbang melakukan tindakan sia-sia,” begitu saran Rhenald Kasali, mengomentari kasus bangkrutnya Nokia.
Lalu, bagaimana dengan para akademisi di Perguruan Tinggi? Jika kuliah para akademisi terkemuka dan kelas dunia sudah bisa diakses gratis melalui internet, bagaimana nasib para akademisi lain? Bagaimana nasib kampus-kampus yang ada?
“Jangan-jangan kampus besar nanti hanya akan menjadi semacam event organizer yang berperan menayangkan kuliah dari profesor-profesor dan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Lalu, kita akan menjadi apa? Tentu dengan cepat saya mengatakan, bukan pekerjaan yang hilang, melainkan job-nya yang berubah,” tulis Rhenald.
Menurut Rhenald, guru dan dosen adalah profesi yang akan selalu dibutuhkan. Namun, job-nya tak lagi sama dengan guru atau dosen yang selama ini kita kenal. Guru dan dosen hadir untuk memberi panduan untuk mendapat sikap mental baru dan mengedepankan “deep understanding”.
Tahun 2017, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menerbitkan buku berjudul “Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidi
kan Tinggi Indonesia”. Disebutkan dalam buku ini: “Dalam menghadapi era disruptif seperti saat sekarang ini, apalagi di masa depan, diperlukan perubahan berpikir yang mendasar dan bukannya perubahan yang di pinggir-pinggir (changing from the edge). Tanpa kerja ekstra keras, berpikir ke depan yang bercorak out of the box, penentuan tata urutan waktu yang jelas, perguruan tinggi Indonesia akan terus berada di buritan peradaban keilmuan.”
Menurut buku ini, Massive Open Online Courses (MOOCs) yang gratis dan sejenisnya akan makin luas dan mengubah permintaan jenis dan metode pembelajaran. MOOCs mengubah pola pembelajaran di Perguruan Tinggi secara mendasar. MOOCs memungkinkan seseorang belajar sendiri; mencari informasi sendiri; menentukan sendiri apa yang dipelajari; sesuai jadwalnya sendiri.
Sebagai konsumen pengetahuan, ia tidak harus mendaftar pada satu sumber satu Perguruan Tinggi saja. Ia bisa memilih sumber belajar yang makin banyak dan tidak terbatas pada komunitas, kota, dan bahkan negara sendiri. Sebab, MOOCs meruntuhkan batas-batas tempat belajar. MOOCs juga tidak membatasi umur seseorang untuk belajar. Bahkan memungkinkan belajar sepanjang hayat (life-long learning).
*
Di tengah badai disrupsi, justru Pesantren Tinggi – seperti Pesantren Tinggi An-Nur Sukoharjo – memiliki peluang besar untuk tetap eksis dan bahkan tampil ke depan. Sebab, memang tradisi Pesantren lebih menekankan penanaman adab dan akhlak dalam proses pendidikannya; bukan mengandalkan ‘jualan’ gelar dan ijazah.
Di tengah kekacauan pemikiran dan akhlak, maka Pesantren Tinggi menjadi jawaban yang tepat untuk menjawab tantangan zaman. Tentu saja, perlu disertai dengan sejumlah penyesuaian kurikulum pendidikannya, sesuai dengan tuntutan era disrupsi.
Dalam kuliah umum itu, saya menyarankan, agar Pesantren Tinggi An-Nur memberikan bekal kepada para mahasantrinya ilmu-ilmu dan ketrampilan yang diperlukan di era kini, seperti: Wawasan sejarah yang benar, pemikiran-pemikiran kontemporer, Teknologi Informasi, kemandirian, dan ketrampilan komunikasi lisan dan tulisan.
Dengan itu, insyaAllah, Pesantren Tinggi An-Nur – juga Pesantren Tinggi lainnya — berpeluang besar menjadi Perguruan Tinggi terbaik di wilayah Solo dan sekitarnya. Semoga Allah SWT membimbing dan memudahkan jalan kita semua untuk meraih kesuksesan dunia akhirat. (Solo, 10 Februari 2020).
Untuk Mendengarkan Audio Silahkan Klik tombol Play: