Oleh: Tengku Azhar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Tafsir Ayat
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-Qur’an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkan-Nya Al-Qur’an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abui Awwam, dari Qatadah, dari Abui Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
أنزلت صُحُف إبراهيم في أول ليلة من رمضان. وأنزلت التوراة لسِتٍّ مَضَين من رمضان، والإنجيل لثلاث عَشَرَةَ خلت من رمضان وأنزل الله القرآن لأربع وعشرين خلت من رمضان
“Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadhan, dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadhan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur`an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.”
Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Qur’an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul ‘Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam penuh kemuliaan.” (QS. Al-Qadar: 1)
Setelah itu Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya.
Adapun firman Allah:
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur’an, membenarkannya, dan mengikutinya.
Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil serta halal dan haram.
Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar, dari Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi dan Sa’id (yakni Al-Maqbari), dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- ia pernah mengatakan, “Janganlah kalian katakana Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi katakanlah bulan Ramadan.” (Kedudukan hadits ini diperselisihkan oleh para ulama hadits)
Kemudian firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.
Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, member makan seorang miskin untuk sedap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu, dalam firman selanjurnya disebutkan:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر
Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, tetapi puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi sehat. Hal ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan memperingan kalian sebagai rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala buat kalian.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini:
Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka ddak diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadhan masuk, sedangkan dia telah berada dalam perjalanannya.
Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Muhalla, dari sejumlah shahabat dan tabi’in. Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan Ramadhan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kedua: Segolongan shahabat dan tabi’in lainnya berpendapat, wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya:
“maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang dikatakan oleh jumhur shahabat dan tabi’in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu keharusan.
Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bulan Ramadhan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat berkata, “Di antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa.” Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:
“Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah sendiri dan Abdullah
ibnu Rawwahah.”
Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena berdasarkan perbuatan Nabi seperti yang disebutkan di atas tadi.
Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah hadis dari Rasulullah yang menceritakan bahwa beliau pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:
“Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya.”
Di dalam hadits lain disebutkan:
“Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.”
Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadits Aisyah yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa dalam perjalanan?” Rasulullah menjawab:
“Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan berbuka, berbukalah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah lebih utama.
Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengatakan:
“Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.”
Wallahu A’lamu bish Shawab