Sebutan ‘Pulau Seribu Masjid’ bermula dari kunjungan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Effendi Zarkasih di tahun 1970, ketika meresmikan Masjid Jami Cakranegara.
Sebutan ‘Pulau Seribu Masjid’ juga diperkuat dengan hasil penelitian salah satu Putra Sasak bernama Taufan Hidjaz yang kini merupakan seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
Menurut data, terdapat 3.767 masjid besar dan 5.184 masjid kecil yang tersebar dalam 518 desa di Lombok. Jadi, jangan heran jika kita dengan begitu mudahnya menemukan tempat ibadah umat Muslim di Lombok.
Meskipun sebagian masyarakat Indonesia ketika mendengar nama Lombok, yang akan terdetik dalam benaknya adalah suasana pantai yang eksotis, Gunung Rinjani yang indah, atau bahkan cerita dari Mandalika yang menjadi tuan rumah hajatan MotoGP beberapa waktu lalu.
First Impression
Pada bulan ramadhan ini, saya ditugaskan di desa yang bernama Rempek. Sebuah desa yang terletak di Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Kira-kira tiga jam perjalanan dari Bandar Udara Internasional Lombok Zainuddin Abdul Madjid.
Desa Rempek dan Rempek Darussalam adalah dua desa yang mulanya merupakan satu kesatuan, lalu mekar satu sama lain disebabkan teritorial yang luas.
Sepanjang perjalanan menuju desa tempat tugas, dengan sangat mudah ditemukan masjid ataupun mushalla, jaraknya tidak jauh, mungkin hanya berjarak ratusan meter antara satu masjid dengan yang lainnya.
Bayangkan pada dua desa tersebut saja, terdapat setidaknya 24 masjid, belum lagi mushalla kecil. Ya, sesuai dengan julukan seribu masjid yang disandang.
Banyak hal unik dan menakjubkan saya temukan di tempat ini.
Kehangatan Berbalut Kesederhanaan
Tak cukup terkenal dengan julukan ‘pulau seribu masjid’, Lombok juga terkenal dengan masjidnya yang ikonik.
Sebut saja Masjid Islamic center yang memukau, Masjid Agung Praya dengan kubahnya yang cantik, ataupun Masjid Raya Nurul Bilad dengan kemegahannya.
Tapi di sisi lain, tak sedikit pula masjid yang berdiri dalam keterbatasan. Mulai dari akses menuju masjid yang sulit, penerangan yang minim, hingga bangunan masjid bukan merupakan bangunan permanen. Terlebih banyak masjid yang saya temui merupakan bangunan darurat pasca gempa Lombok pada 2018 silam.
Hebatnya, ini tidak menyurutkan semangat warga setempat dalam menjalankan ibadah. Justru yang saya dapat adalah semangat dan antusias mereka yang luar biasa.
Seperti yang saya dapatkan ketika mengunjungi Masjid Darul Istiqomah, masjid yang terletak di Dusun Soloh Atas, Desa Rempek.
Segala keterbatasan itu tidak menghalangi antusias mereka untuk beribadah. Masjid ini terasa penuh sesak ketika shalat jamaah, terlebih ketika shalat isya yang selanjutnya diteruskan dengan shalat tarawih.
Jangan tanyakan jika diadakan kajian umum. Mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak hingga seluruh anggota keluarga pun melangkahkan kaki mereka untuk menghadiri majlis yang mulia tersebut.
Lanjut lagi, lantunan indah ayat suci Al-Qur’an yang senantiasa mengalir dari speaker masjid oleh orang yang bertadarrus, pun saya dapati di tempat ini.
Tak tanggung-tanggung, lantunan ayat suci yang biasanya baru berhenti terdengar menjelang waktu sahur tiba.
Masya Allah, bagi saya yang bukan orang tempatan, pemandangan ini sungguh menakjubkan sekaligus tamparan buat saya dan kita semua yang hidup dalam kondisi cukup nyaman dibanding mereka.
Masjid-masjid kita nyaman, akses mudah, fasilitas lengkap, full AC, karpet bagus, dan seterusnya.
Tapi terkadang semua kenyamanan tersebut belum cukup untuk menggerakan kaki melangkah menyambut panggilan Allah. Padahal di ujung sana ada saudara kita yang hidup dalam kesederhanaan bisa melakukannya.
Da’i SADARO Lombok
Shofian Fadil Ihsani